Sabtu, 19 September 2015

MENGIKIS ROH AGAMAWI DARI GEREJA TUHAN






(Dapatkan buku saya ini selengkapnya, gratis, dalam bentuk pdf dan anda akan diberkati dengan pewahyuan-pewahyuan untuk pemulihan gereja Kristus, dalam persiapan kita menyongsong Tuhan Yesus yang akan segera datang. Buku ini akan menyingkapkan hal-hal keliru yang umum terjadi di dalam gereja-gereja kita selama ini, meluruskannya kembali ke dalam Injil, dan pada akhirnya menguatkan iman kita akan keselamatan di dalam Yesus Kristus. Sangat diharapkan agar saudara pembaca bersedia membagikan buku ini, baik secara online maupun dalam bentuk copy fisik (print) sebanyak-banyaknya, lebih lagi kepada para pendeta, penginjil-penginjil dan pengajar firman Tuhan, yang saudara kenal, untuk mendorong kebangunan rohani di akhir zaman ini di Indonesia maupun seluruh dunia. Tuhan Yesus segera datang. Ia mengasihi kita. Amin.)
Klik:





PENDAHULUAN

Kita sudah tahu bahwa kita beroleh selamat karena kasih karunia oleh iman, bukan karena hasil upaya dan kerja keras kita. Allah telah mengaruniakan kepada kita Yesus Kristus, Anak-Nya yang tunggal, sebagai korban penebusan dosa kita, supaya barangsiapa yang percaya kepada Yesus tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. 

Selanjutnya, haruslah kita tinggal setia dan bertekun dalam kasih karunia itu, dengan suatu cara kehidupan yang baru, yakni sebagai anak-anak Allah, di bawah penggembalaan Yesus sendiri. Kehidupan di dalam kasih karunia adalah
kehidupan yang berfokus kepada Yesus Kristus, menjadikan Dia sebagai yang terutama di atas segala-galanya. Dengan demikian, hidup kita bukannya kita lagi, melainkan Dia yang hidup di dalam kita. Hidup seperti ini adalah hidup yang menghasilkan buah Roh, karena hidup kita dituntun oleh Roh.

Sayangnya, meski terlihat mudah –sebab semuanya adalah kasih karunia-, pada faktanya mayoritas kita, orang-orang yang telah lahir baru, bahkan mayoritas pelayan-pelayan di gereja, termasuk mayoritas gembala sidang atau pendeta, tidak benar-benar hidup di dalam naungan kasih karunia itu, meskipun kita menyebut-nyebut istilah kasih karunia itu di setiap ibadah kita.

Sebagian besar kita, baik sebagai individu maupun gereja lokal, hidup di dalam pengajaran yang salah. Rata-rata gereja lokal tidak mengerti kasih karunia Allah, sehingga kekristenan mereka hidup di dalam atmosfer Taurat, agamawi. Bahkan bukan hanya atmosfer Taurat, melainkan juga di bawah naungan atmosfer mistik Timur, panteistik. Gembala sidang yang mengagulkan diri, diktatorisme dalam gereja, khotbah-khotbah yang diilhami cinta uang yang terselubung, persaingan, sinisme, seremonialisme, egoisme kalangan pelayan gereja, kemunafikan, pengkultusan gembala, tembok-tembok pemisah antar gereja, kekerasan hati, keangkuhan rohani, intimidasi terhadap iman jemaat, pewahyuan palsu, munculnya kembali ritual-ritual imamat Musa di dalam gereja, bahkan praktek sihir, dan masih banyak lagi rupa-rupa kesesatan.

Di lain tempat, mungkin bukan kesesatan sedemikian, melainkan kesuam-suaman, ajaran-ajaran liberal, pembiaran cara hidup jemaat yang cemar, fokus kepada berkat dan berkat, lenyapnya takut akan Tuhan, kompromi dengan cara-cara dunia, dan lain sebagainya. Di belahan dunia Barat, gereja semakin merosot dan lenyap. Bangsa-bangsa dan pemerintahan di wilayah itu semakin tenggelam dalam ateisme dan anti gereja, sedangkan di pihak gereja sendiri semakin tersesat dari pengenalan akan Gembalanya. Sekarang ini, gereja di Barat yang semakin minoritas itu telah pula dimasuki ajaran-ajaran yang mendukung perkawinan homoseksual, seks luar nikah, dan lain sebagainya.
Ini adalah keadaan-keadaan yang sangat menyedihkan dari gereja Tuhan di akhir zaman ini. Demikian terjadi dalam kehidupan jemaat secara individu, demikian pula berlangsung secara organisasi gereja lokal.

Sangat sedih untuk mengingat kebenaran firman ini, bahwa banyak yang terpanggil, tapi hanya sedikit yang akan terpilih. Semua terjadi karena beberapa faktor saja, ketidakkenalan atau kebutaan akan Kebenaran Perjanjian Baru Tuhan. Iblis memakai segala celah yang ada untuk mendatangkan perpecahan, menghancurkan dan mencuri gereja-gereja dari hadapan Gembalanya.

Ringkasnya, mayoritas gereja Tuhan dimana-mana semakin merosot mutunya, dan semakin jauh melenceng dari kebenaran Perjanjian Baru Allah. Sementara itu, hari kedatangan Tuhan sudah semakin dekat. Gereja benar-benar tidak siap menyongsong Hari Pengangkatan yang sudah di depan mata.

Buku ini ditulis, untuk mendorong kepulihan gereja Tuhan, sejauh manapun buku ini bisa beredar, supaya sekiranya suara Tuhan dalam buku sederhana ini rela didengar dengan rendah hati, supaya gereja kembali ke dalam pondasi Perjanjian Baru Tuhan secara teguh dalam pemahaman yang lebih terang dan jelas, sehingga bisa lepas dari rupa-rupa angin pengajaran yang agamawi dan menyesatkan. 

Jadi buku ini sebenarnya lebih ditujukan kepada kalangan pengerja di ladang Tuhan, baik untuk para pemimpin sidang, penatua-penatua, penginjil-penginjil maupun pengajar-pengajar. 

Kiranya buku yang kecil ini bisa turut ambil bagian dalam kegerakan akhir zaman itu, seberapa kecil pun daya jangkau buku ini. Bagi kemuliaan Allah kita, Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Maranatha. Amen.










1.       KEMBALI MEMAHAMI LATAR BELAKANG HADIRNYA INJIL TUHAN

Saudara, para pengerja di ladang-Nya yang dikasih oleh Tuhan Yesus,

Kita adalah anak-anak Perjanjian Baru Allah, atau yang disebut Injil. Dengan demikian, pedoman iman dan kerohanian kita ialah Injil Allah, bukan lagi Taurat atau Perjanjian Lama. Sayangnya, di sinilah salah satu kesalahan dasar gereja-gereja Kristen di seluruh dunia, lebih-lebih lagi di Indonesia, dimana hampir semua kita tidak konsisten dalam hal ini. Baik dalam hal falsafah keorganisasian gereja kita, maupun rupa-rupa pengajaran yang kita berikan melalui mimbar, masih sangat kentara aroma atmosfir Tauratnya. 

Dalam hal keorganisasian misalnya, hampir seluruh gereja terjebak ke dalam roh-roh agamawi yang legalistik. Mayoritas orang Kristen percaya pada yang namanya otoritas imam-imam dalam gereja. Dimana-mana, dengan mudah kita temukan orang Kristen akan berkata bahwa: “Seremoni ini atau itu hanya boleh dipimpin Pendeta”, misalnya. Jika bukan oleh pendeta, maka upacara tersebut akan dianggap tidak sah, bahkan sesat. Adapun pendeta, adalah seseorang yang tamat Sekolah Teologi, atau yang telah mengikuti praktek magang atau percobaan selama sekian tahun di gereja, sampai akhirnya secara resmi ditabalkan oleh pucuk pimpinan sebagai pendeta. Penabalan oleh manusia bergelar “Pimpinan Sinode” atau “Gembala Pembina” ini menjadi momentum dimana ia kemudian dianggap sudah berbeda status rohaninya dengan jemaat biasa. Ia kini telah menjadi imam, dan hanya ia yang berhak memimpin seremoni-seremoni tertentu di dalam gereja. Inilah roh agama itu, yang menguasai hampir seluruh gereja resmi Kristen di seluruh dunia. Dan kesalahan fatal ini terdapat di dasar sekali, bagian dari pondasi organisasi-organisasi gereja, yaitu apa yang lazim disebut sebagai AD/ART Gereja bersangkutan.   

Sudah pondasinya bercampur atmosfir Taurat, hampir semua khotbah yang disampaikan dari mimbar juga bernuansa atmosfir Taurat. (Maksudnya atmosfir Taurat bukan berarti kembali ke Taurat secara harfiah, melainkan aromanya, atau pola pikirnya). Semakin sedikit saja gereja Tuhan yang sepenuhnya berdiri di atas pondasi kebenaran Injil. 

Keselamatan yang dijanjikan Taurat bukan didasarkan kepada iman, melainkan kepada perbuatan taat atau saleh. Dengan demikian, semua orang yang berada di bawah Taurat bukanlah orang yang sudah selamat, melainkan orang yang yang sedang mengejar keselamatan. Perhatikanlah itu dengan sungguh-sungguh. Di masa Perjanjian Lama, tidak ada orang yang dapat berkata: saya sudah selamat. Sebab ia masih hidup dan masih harus terus bertekun memenuhi seluruh persyaratan Taurat tanpa boleh tergelincir, sampai ia mati. Mereka adalah orang-orang yang berjuang mengejar keselamatan, tapi selama mereka masih bernyawa, mereka bukanlah orang selamat.

Inilah atmosfir Taurat, pola pikir agama, yaitu fokus rohani kita mengacu kepada perbuatan-perbuatan manusia. Dan di atas atmosfir seperti inilah kebanyakan khotbah diperdengarkan dari atas mimbar, bukan hanya oleh gereja-gereja yang liberal atau dekat pada nilai sekuler, tetapi juga gereja-gereja yang sekalipun mengajarkan kekudusan, atmosfir ajarannya tetap Taurat. 

Untuk itu, kita harus memahami kembali latar belakang kenapa Injil Yesus diberitakan, agar kita kembali mengenali dasar bangunan gereja kita yang seharusnya, sekiranya setelah itu tersingkap, kita semua boleh bertobat dan membenahi diri. 
Alkitab berkata bahwa Allah kita adalah maha kudus. Kudus artinya tidak boleh ada dosa di hadapan-Nya. Adapun Taurat Musa, ialah gambaran tuntutan-Nya akan kekudusan itu. Dan itu sangat sukar dikerjakan secara sempurna oleh manusia. Alhasil, tak ada manusia yang pernah bisa sempurna mengerjakannya. Sebab Taurat diberikan justru untuk menyadarkan bahwa manusia tidak mungkin sanggup menghasilkan keselamatan.  Taurat menyebutkan jangan begini jangan begitu, lakukan ini lakukan itu. Melanggar salah satu saja yang terkecil berarti dosa. 

Satu saja dosa terjadi, maka kita telah disebut orang berdosa. Dan Alkitab berkata: ”upah dosa ialah maut” (lihat Roma 6 :23a), bukan: “upah banyak dosa ialah maut”. Artinya, upah tiap-tiap dosa ialah maut. Sejuta dosa adalah dosa, seribu dosa adalah dosa, sepuluh dosa adalah dosa, dan……satu dosa juga adalah dosa. Maut artinya kematian kekal, di dalam neraka. Ringkasnya, satu dosa saja anda punya, anda pasti berakhir di neraka.
 
Siapakah manusia yang hidup di kolong langit ini yang belum pernah berbuat dosa? Tidak ada. Semua orang telah berbuat dosa. Jadi ada sebuah fakta yang mengerikan, bahwa semua manusia, SEMUA, SEMUA, akan binasa di dalam neraka, karena dosanya masing-masing.
 
Itulah sebabnya penulis Kitab Pengkhotbah berkata bahwa segala sesuatu di kolong langit ini yang dilakukan maupun dimiliki manusia adalah SIA-SIA. Tak satupun capaian kita di dunia ini yang menyelamatkan.

Seluruh manusia hidup di dunia ini sebatas umurnya, berapa puluh tahun pun itu, lalu setelah itu binasa karena masalah dosa. Jadi tak peduli siapa kita, entah kita orang kaya, orang hebat, orang terkenal, penguasa kota, jenderal, pejabat negara, orang-orang terhormat dan mulia, pahlawan-pahlawan bangsa, orang-orang super baik, pendeta, ketua sinode pusat, diaken, ataukah kita orang miskin, melarat, gembel, preman jalanan, penjahat kambuhan, jemaat biasa, kita semua pasti akan berakhir di neraka ketika mati dalam keadaan berdosa. Tak perlu seribu dosa. Cukup satu!

Tidak ada yang pantas berada di sorga. Tidak ada sama sekali. Betapa kita ini seluruhnya adalah orang-orang malang. Tak ada satu pun yang dapat kita banggakan. Dan betapa bodohnya jika masih ada yang bersikap membanggakan dirinya di hadapan orang lain, entah di dunia sekuler entah di dalam gereja. Dia jauh lebih bodoh daripada orang gagal. Orang yang bangga diri, lebih lagi di dalam gereja karena jabatannya, lebih konyol dari seorang yang berjalan gagah di atas panggung melagakkan bintang penghargaan di dadanya, sementara ia tidak sadar bahwa celananya di belakang sobek besar. Ia lupa bahwa ia tak lebih dari orang celaka, yang hanya beroleh belas kasihan, sama seperti kepada yang lain. 

Yesus berkata lebih mudah unta masuk lobang jarum daripada kita berhasil masuk ke sorga. Unta jelas mustahil masuk ke lobang jarum. Dikatakan-Nya, lebih mustahil lagi kita sanggup masuk ke sorga.  Semua gagal untuk selamat. Semua! Termasuk anda, Pembaca! Termasuk saya!
 
Inilah fakta alam roh yang sangat mengerikan itu. Taurat Musa tidak pula mampu mengatasi masalah gawat darurat ini, malah justru mempertegas ketidakberdayaan kita.

Dan inilah latar belakang kenapa Injil diberikan kepada dunia. Allah melihat fakta itu dan Ia tidak rela kehilangan kita. Karena begitu besar kasih Allah akan kita, manusia di dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus, supaya barang siapa yang percaya kepada Anak-Nya itu, tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Jadi sungguh, kita adalah orang-orang yang memperoleh belas kasihan Allah. Oleh karenanya, tak ada seorang pun di antara kita boleh bersikap seperti lebih gagah daripada yang lain karena alasan apapun. Jika ada, dia pasti akan direndahkan pada waktuya nanti, sebab Allah paling membenci sikap semacam itu. Sebaliknya, kita harus senantiasa bergandengan berlutut dan mengucap syukur kepada-Nya. Kenapa? Sebab Yesus telah rela mati bagi kita untuk menanggung segala penghukuman kita, sehingga oleh kematian-Nya itu, kita telah dimerdekakan dari penghukuman, ketika kita percaya kepada-Nya.

Maka, saat kita mengabarkan Injil kasih karunia Allah, kita harus terus menerus dan berulang-ulang menyingkapkan kepada jemaat dan kepada diri kita sendiri sebagai pengkhotbah fakta alam roh bahwa kita mestinya binasa di neraka kalau bukan karena karya pengorbanan Yesus, supaya kita semua senantiasa bisa meruntuhkan diri dan mengucap syukur di hadapan Allah. Masalah sosial apapun yang kita alami di hidup sehari-hari, kita semua akan menjadi sangat malu untuk mengeluh, jika kita semua tak henti-henti mengingat latar belakang hadirnya Injil itu. 

1 Tesalonika 5 : 18
Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.

Mengucap syukur dalam segala hal kepada Tuhan, itulah salah satu “kewajiban” terbesar kita. Tapi bagaimana seorang pendeta dan jemaat bisa mengucap syukur dalam segala hal jika dia tidak tahu mengapa ia harus melakukannya? Hanya jika kita tidak lupa sedetikpun bahwa sesungguhnya kita adalah manusia celaka yang seharusnya berakhir di neraka, lalu oleh karena pengorbanan Yesus di kayu salib kita beroleh pengampunan, -hanya orang seperti inilah yang akan tetap bersyukur sekalipun dia tengah kehilangan dunia.
 
Juga tanpa singkapan itu, seluruh khotbah kasih karunia justru dapat membuat jemaat menjadi manja dan besar kepala. Dengan cepat ia akan merasa bangga akan dirinya, sangat nyaman, dan pada saatnya akan berani melakukan dosa tanpa merasa bersalah.

Orang yang tetap menyadari bahwa dirinya sesungguhnya manusia celaka kalau bukan karena pengampunan dan penebusan oleh kematian Yesus, -dia akan tetap menyangkal dirinya di hadapan Tuhan dan meremukkan harga dirinya dengan sungguh-sungguh, dalam ucapan penuh syukur. Hanya orang-orang seperti inilah yang sangat bergetar ketika mendengar Yesus tersalib bagi dia. Hanya orang seperti ini yang dapat menaati dengan kasih yang tulus murni bahkan rela menyerahkan nyawanya bagi nama Yesus. Dan orang-orang seperti inilah yang coba dibangun oleh para rasul melalui surat-surat mereka.

Dahulu, di masa rasul-rasul, seperti itulah pola pekabaran Injil. Mereka menyingkapkan kepada jemaat-jemaat fakta alam roh bahwa semua orang tidak dapat lolos dari maut, apapun yang telah dicapainya di dunia ini. Setelah jemaat menyadari ketidakmampuan mereka untuk selamat, barulah kepada mereka diberitakan Yesus Kristus, yang sangat mengasihi dan telah menebus dosa-dosa mereka. Hasilnya, jemaat di masa para rasul benar-benar hidup dalam pengucapan syukur serta berpegang teguh pada iman dan ketekunan total dalam mengikut Yesus. Mereka rela kehilangan apa saja, asalkan tidak terpisah hatinya dari Kristus Yesus. 

Ringkasnya, Perjanjian Baru berisi dua bagian besar: 1. Fakta bahwa tak satupun manusia dapat meluputkan dirinya sendiri dari kebinasaan neraka karena dosa   –sebagai latar belakang; 2. Yesus adalah solusi satu-satunya dari persoalan besar itu. Yesus adalah Kabar Gembira itu. Yang pertama ialah persoalan, yang kedua adalah jawaban satu-satunya. Dan perintah-Nya ialah supaya kita tinggal atau berakar dalam Injil-Nya itu.

Jika demikian, sudah saatnya sekarang setiap gereja dibersihkan dari pola pikir Taurat, yang berfokus pada penuntutan perbuatan-perbuatan amal ibadah, yang hanya melahirkan rasa gagah manusia, serta kesombongan rohani.










2.       DUA KUTUB KESALAHAN

Matius 16 : 6
Yesus berkata kepada mereka: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap ragi orang Farisi dan Saduki”

Ragi adalah zat yang dipakai untuk melapukkan. Jika kita mengoleskan ragi ke ubi, maka ubi itu akan berubah menjadi lapuk, lembek dan akhirnya busuk berjamur. Jadi ragi dalam pengertian rohani ialah sesuatu yang membuat ibadah dan pelayanan-pelayanan kita menjadi busuk dan berjamur di hadapan Allah.

Disebut ragi Farisi bukanlah berarti ragi ini berasal dari orang-orang Farisi. Disebut begitu karena pada saat itu, kelompok Farisilah yang mewakili ragi jenis ini. Begitu pula dengan ragi Saduki.

Intisari doktrin Farisi ialah kesalehan dan ketaatan pada seluruh hukum Musa bahkan pula kepada hukum-hukum tradisi atau tak tertulis yang turun temurun, supaya beroleh selamat. Pola doktrin ini melahirkan roh kompetisi akan “karir rohani”. Capaian akan perbuatan dan keterlibatan dalam pelayanan, serta kedudukan yang elite di mata jemaat, adalah  apa yang dikejar tiap-tiap orang yang isi kepalanya dicemari ragi ini. Ini melahirkan kebanggaan rohani, sekaligus memandang rendah orang Kristen yang tidak hidup seperti disiplin rohani mereka. Inilah ragi itu: kebanggaan diri.

Intisari ajaran Saduki ialah antusiasme terhadap kemajuan zaman termasuk gairah kepada filsafat-filsafat kesuksesan di dunia, serta ketidakpercayaan pada penghukuman api neraka. Orang-orang Saduki fokus kepada kemakmuran dan kekayaan, pro sekulerisme dan mereka bersahabat dekat dengan pejabat-pejabat Romawi. Mereka adalah orang-orang paling elite di kalangan imam Yahudi di masa dulu. Mereka tidak pernah bicara tentang kehidupan kekal, lebih lagi tentang neraka, dan hanya fokus pada kesuksesan di dunia ini. 

Aroma ragi Farisi ialah menyemburkan roh agamawi, ketidakpastian keselamatan kepada pengikut-pengikutnya, sedangkan aroma ragi Saduki menyemburkan kenyamanan, kompromi dengan dunia dan ketidakpedulian pada kehendak Bapa. Tuhan menamainya suam-suam kuku, atau “Jemaat Laodikia”. Dan kesamaan dari kedua ragi ini ialah kebanggaan diri, entah karena karena wibawa di dalam jemaat, entah karena hal-hal yang telah diperoleh dalam dunia.

Karena itu, meski dalam penjabaran ajaran keduanya berbeda, tapi karena dasarnya sama, yakni berpusat pada diri sendiri, tentulah kedua ajaran ini berasal dari laboratorium yang sama, iblis. Sebab kita tahu, iblis jatuh akibat hatinya dipenuhi oleh kebanggaan diri. Salah satu atau sekaligus kedua ragi ini kerap mencemari kerohanian banyak sekali orang Kristen.

KUTUB PERBUATAN (Ragi Farisi, Jemaat Efesus)
Wahyu 2 : 1-4
"Tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Efesus: Inilah firman dari Dia, yang memegang ketujuh bintang itu di tangan kanan-Nya dan berjalan di antara ketujuh kaki dian emas itu.  Aku tahu segala pekerjaanmu: baik jerih payahmu maupun ketekunanmu. Aku tahu, bahwa engkau tidak dapat sabar terhadap orang-orang jahat, bahwa engkau telah mencobai mereka yang menyebut dirinya rasul, tetapi yang sebenarnya tidak demikian, bahwa engkau telah mendapati mereka pendusta. Dan engkau tetap sabar dan menderita oleh karena nama-Ku; dan engkau tidak mengenal lelah.
Namun demikian Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula.

Inilah yang disebut kutub legalisme itu, atau yang sering juga disebut orang dengan roh agamawi atau ragi Farisi. Intisari dari segala ajaran ini adalah: “perbuatan kita”. Ragi ini membuat semua pelayanan dan ketekunan ibadah kita secara roh tidak memancar dari luapan cinta yang hangat akan Tuhan Yesus. Jika kita ada di ragi ini, bertobatlah dengan sungguh-sungguh, karena kitalah yang dimaksud dalam Matius 7 : 21-23:

Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"

Jika kita berdiri di kutub pengajaran yang satu ini, maka fokus kehidupan rohani kita ialah “perbuatan saleh”, bukan penebusan Yesus Kristus. Gaya hidup kita berlaku seolah-olah malaikat kudus di hadapan pendosa menjijikkan. Tampil sangat rohani, dan pula menyukai gelar-gelar rohaniah. Berita salib Yesus sama sekali tidak menggetarkan hati orang Kristen Farisi, sekalipun berita salib itu sesekali disebut-sebut juga. Pola rohani ini ialah warisan dari pola pikir yang terbentuk oleh Taurat. Di atas sudah kita singkapkan, bahwa atmosfir Taurat ialah: kita bukanlah orang yang sudah selamat, melainkan orang yang yang sedang mengejar keselamatan

Pola yang sama jugalah yang terdapat dalam seluruh agama di dunia ini, sebagai upaya manusia mencari perkenanan Tuhan. Karena semua agama berpola pada hal ini, itulah sebabnya ia dinamakan pola atau paham AGAMAWI.

Di dalam buku ini kita akan sering menyebutkan istilah agamawi. Paham agamawi ialah kepercayaan, keyakinan atau anggapan secara sadar maupun tanpa disadari, bahwa keselamatan manusia ialah hasil dari perbuatan salehnya

Jiwa yang  agamawi menyukai jabatan-jabatan rohani, kasta-kasta rohani, gelar-gelar gerejawi, struktur-struktur, karena dalam jabatan dan gelar itu terdapat kemuliaan dan wibawa. Roh agamawi juga melahirkan sikap-sikap tertentu khususnya kesombongan rohani, rasa puas diri karena telah menjadi “Hamba Tuhan”, pembedaan kedudukan rohani di dalam gereja –kaum hamba Tuhan di satu pihak dan jemaat biasa di pihak lainnya, dimana yang pertama berkuasa secara roh atas yang kedua-, ketertutupan, fanatisme, pengultusan pemimpin dan sinisme pada pihak luar.

Dari isi kecaman keras Tuhan Yesus pada orang Farisi, dimana Ia berkata bahwa mereka munafik, seperti kuburan yang luarnya tampak bersih dan dilabur putih, tapi dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai kotoran, kita akhirnya bisa mengenal ragi Farisi. Pola rohani ini ialah menjadikan ketaatan menjalankan berbagai ritual, memenuhi jadwal ibadah, aturan-aturan gereja, perintah pendeta, dan segala ibadah lahiriah sebagai patokan dalam menilai seseorang takut Tuhan atau bukan, sudah selamat atau belum, sudah berkenan di mata Allah atau belum.

Pandangan kita pada orang-orang kristen di luar kelompok kita ialah memandang rendah atau mencibir karena mereka tidak menjalankan kehidupan rohani seperti kita. Jadi kepada orang-orang kristen di luar kelompok kita sendiri, sikap hati kita adalah SINISME, bukan KASIH. Meski sebagai orang Kristen kita berusaha mengeluarkan KASIH atas mereka, tetap saja yang keluar dari dalam kita adalah SINISME. Sebab memang itulah pohon yang bertumbuh di dalam kita.

Pohon SINISME berbeda dengan KASIH. Buah dari SINISME ialah cibiran, sorot mata merendahkan, penuduhan, penghakiman, merasa diri lebih baik.

Akan hal diri kita sendiri, karena kita merasa telah memenuhi segala yang diperintahkan, karena telah melayani di gereja, telah berbuat baik, telah hidup kudus dan menghindarkan dosa, telah bertekun dalam ibadah bahkan banyak-banyak berpuasa, telah tekun membayar perpuluhan, telah mendoakan orang-orang, telah berkhotbah, telah pergi menginjil, telah menyembuhkan orang sakit, telah bernubuat, telah memimpin kelompok, telah menduduki suatu posisi: pendeta, atau pengerja penuh waktu, atau pimpinan kelompok jemaat, atau diaken, yang telah berjasa, telah disebut Hamba-Nya, maka kita percaya bahwa kita sudah berkenan di mata Allah, sudah selamat. 

Tentang lahir baru, kita umumnya berkata bahwa itu tidak terjadi seketika, melainkan hasil sebuah proses, dan hanya bisa dicapai ketika orang telah memenuhi semua persyaratan. Tanpa sadar, kita berpikir bahwa selamat berbeda dengan lahir baru. Kita berkata selamat adalah karunia, tetapi lahir baru adalah perjuangan. Sesat sekali!

Jika orang bertanya pada kita: kalau begitu, apakah artinya kasih karunia yang diwujudkan melalui salib Yesus? Kita akan berkata kira-kira begini: tentu saja tanpa kasih karunia, tidak mungkin seorang pun akan selamat. Keselamatan itu adalah kasih karunia, yang sampai pada kita melalui kesalehan hidup. (Akhirnya kembali lagi pada doktrin Perbuatan).

Jadi sekalipun di bibir kita tetap menyebut-nyebut istilah kasih karunia, tetapi secara roh, kita tidak percaya bahwa itu dikaruniakan dengan cuma-cuma. Iman kita tidak tertuju kepada kasih karunia itu, tetapi kepada perbuatan-perbuatan yang harus kita penuhi untuk mencapainya.

Sekarang, bagaimana anda bisa mengharapkan buah Roh keluar dari jemaat yang dasar-dasar rohaninya seperti itu? Sekalipun ia puluhan tahun telah terlibat dalam pelayanan, anda tidak akan menemukan buah yang manis dan sedap dari kepribadiannya.  

Suatu hari saya bertemu dengan satu tulisan dari kutub ini yang cukup menjangkau banyak pembaca di internet. Secara umum, tujuan tulisan itu baik, yaitu mengajak seluruh pembaca untuk menjadi pelaku-pelaku firman, untuk menghasilkan buah Roh, dengan sekuat tenaga dan segenap pikiran. Tetapi ada satu kalimat yang segera menyingkapkan roh Farisi dari ajarannya yang penuh kutipan ayat-ayat Alkitab itu, ketika dia menulis:
“Dapatkah anda mengatakan bahwa karena anda telah membuat keputusan untuk mengikut Kristus di dalam sebuah KKR, maka itu berarti bahwa anda sudah lahir baru? Apakah itu pernyataan yang alkitabiah?”

Saya sangat terkejut membaca kalimat itu. Pernyataan seperti ini jelas akan membuat setiap orang yang baru saja bertobat akan kembali merasa tertuduh. Banyak dari antara kita mungkin setuju dengan pernyataan itu, sebagai pertanda bahwa ragi itu juga ada di dalam kita. Tapi tidakkah anda tahu? Pernyataan itu adalah penyangkalan salib Yesus! Ingatlah selalu, peristiwa salib Yesus adalah pengampunan dan penyelesaian seluruh dosa kita, sehingga ketika kita berbalik kepada-Nya, entah di sebuah KKR entah di tepi hutan, kita telah menerima pengampunan sempurna itu. 

Mengurangi kemutlakan penebusan Yesus di kayu salib sebagai satu-satunya pengampunan segala dosa dan sumber satu-satunya keselamatan, dengan alasan apapun, sesungguh-sungguhnya adalah penyangkalan akan Dia.

II Petrus 2 : 1
Sebagaimana nabi-nabi palsu dahulu tampil di tengah-tengah umat Allah, demikian pula di antara kamu akan ada guru-guru palsu. Mereka akan memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan, bahkan mereka akan menyangkal Penguasa yang telah menebus mereka dan dengan jalan demikan segera mendatangkan kebinasaan atas diri mereka.

Penulis terkenal yang saya kutip itu menganut paham bahwa lahir baru adalah sebuah hasil perjuangan, sebuah proses panjang, capaian dari jerih lelah, bukan sebuah karunia. Kita harus berjuang untuk lahir baru, demikian kira-kira intinya. Nanti saya akan bicara tentang lahir baru, sebab di antara kita ada begitu banyak kesimpangsiuran tentang pengertian lahir baru ini, dimana sebagian besar berpijak pada Kutub Perbuatan, pada seremonialisme (upacara lahiriah), yang akan mendatangkan kebinasaan bagi kita jika kita tidak segera berbalik dari sana. 

Jika anda bertemu dengan orang-orang yang telah dibutakan ajaran ini, anda akan menemukan mereka terlihat sangat tekun, saleh, tunduk penuh pada pemimpin rohaninya, tetapi bersikap pencibir pada orang-orang berdosa. Jika anda berbicara mengenai salib Yesus, mereka tidak akan terharu. Mereka sudah tidak bisa meneteskan air mata syukur saat mendengar kabar salib itu. Jiwa mereka seperti tertutupi selubung. Mereka telah menjadi Jemaat Efesus!

Orang-orang inilah yang pada hari terakhir nanti akan terkejut karena ditinggalkan, lalu berseru kepada Yesus: “Tuhan, Tuhan! Bukankah kami telah bernubuat demi nama-Mu? Telah mengusir setan demi nama-Mu? Telah melakukan mujizat demi nama-Mu? Telah berkorban banyak waktu, harta, uang, pikiran dan tenaga demi nama-Mu? Bukankah kami telah tekun beribadah? Bukankah kami telah berkhotbah? Bukankah kami telah memberi diri dibaptis? Bukankah kami telah berbahasa roh? Bukankah kami telah tekun melayani di gereja? Telah patuh dan taat membayar perpuluhan sesuai ajaran-Mu? Telah melakukan ini dan itu demi nama-Mu? Bukankah kami adalah hamba Tuhan? Pelayan-pelayan Tuhan? Mengapa kami sendiri ditinggalkan? Apa kesalahan kami..!?” Tetapi Tuhan akan menjawab mereka: “Aku tidak pernah mengenal kamu. Enyahlah kamu sekalian pembuat kejahatan!”

Jelas itu sangat getir dan menyedihkan. Kejahatan apa yang telah mereka lakukan? Bukankah jemaat-jemaat Efesus ini telah hidup begitu saleh? 

Mereka memang tidak berbuat jahat pada manusia. Tapi mereka berbuat jahat pada Tuhan, yakni tanpa sadar telah menyangkal atau menganggap kecil pengorbanan salib-Nya yang maha dasyat itu, yang menjadi sumber satu-satunya keselamatan anak manusia di kolong langit ini. Mereka meninggalkan kasih mula-mula kepada Bapa. 

Kasih yang mula-mula ialah ketika dulu sebagai orang berdosa kita bertobat kepada Kristus Yesus, dan percaya bahwa kita telah selamat, serta hati kita dipenuhi damai dari Roh Kudus, yang begitu melegakan dan mengharukan, yang membuat kita begitu bersukacita sambil bersimbah air mata. Inilah kasih mula-mula itu. Mereka, penganut ragi Farisi ini, tidak lagi merasakannya.

Sekarang, ceklah diri anda, apakah ragi ini ada di dalam anda. Jika ada, anda ada dalam bahaya, meskipun anda merasa telah hidup dalam disiplin rohani, kekudusan serta pelayanan sepenuh hidup-mati.



KUTUB ANTINOMIAN (Ragi Saduki, Jemaat Laodikia)
Di kutub yang berseberangan dengan Selamat karena Perbuatan,  ialah ajaran yang mengandung aroma ragi Saduki, yaitu kutub kasih karunia antinomianisme, yang sepertinya kini secara popular disebut juga hyper grace.

Dari studi sejarah Alkitab, kita mengenali mazhab Saduki ialah kelompok yang banyak dipengaruhi oleh filsafat-filsafat Yunani yang modern dan popular di zamannya. Mereka adalah golongan Yahudi paling elite, yang turun temurun menduduki jabatan Imam Besar dan kelompok imam tertinggi. Mereka ini sangat makmur, mesra dengan pejabat-pejabat Romawi, terbuka pada filsafat Helenisme, pendukung Herodes Agung serta tidak menyukai perubahan radikal. Mereka sangat nyaman dan tidak ingin status quo itu berhenti. Itulah sebabnya kaum Saduki dan Imam Besar adalah kelompok yang paling terganggu dengan popularitas Yohanes Pembaptis di masanya, dan lebih lagi oleh popularitas Yesus. Kaum Saduki takut kekuasaan Romawi –yang mereka nikmati- berakhir oleh gerakan rakyat. Tentu itu akan mengguncang posisi mereka yang sudah sangat nyaman dan kaya oleh penjajahan itu. Itulah sebabnya setiap tokoh yang dicintai rakyat banyak, dianggap sebagai ancaman politik oleh kaum Saduki. 


Intinya, ragi Saduki ialah ajaran-ajaran kristen yang berdamai dengan dunia ini, yang telah bercampur dengan berbagai filsafat, menurut aliran masing-masing, entah filsafat modern, entah filsafat mistik peninggalan nenek moyang, --dan di pertemuan-pertemuan ibadah mereka yang dibicarakan adalah berkat berkelimpahan terus menerus. Ada motif cinta uang dan mengejar kekayaan, seperti yang diimpikan kaum Saduki di masala lalu. Karena itu, kutub ini ialah mereka yang disebut oleh Tuhan kita sebagai suam-suam kuku, atau jemaat Laodikia. 


Beberapa filsafat manusia yang paling banyak menjerumuskan gereja Tuhan ke dalam jurang ragi Saduki atau antinomianisme ini ialah materialisme, takdir, ajaran nenek moyang, nikolatianisme, dan yang paling besar memakan korban ialah nikolatianisme.


Nikolatianisme atau yang disebut ajaran pengikut-pengikut Nikolaus (lihat Wahyu 2), berpangkal pada sosok Nikolaus. Nikolaus yang dimaksud disini ialah Nikolaus dari Antiokia, satu dari tujuh diaken yang diangkat para rasul di Yerusalem (lihat Kisah 6 : 5). Dia adalah satu-satunya diaken dari bangsa Yunani penganut agama Yahudi. Itulah sebabnya Kisah Para Rasul 6 : 5 menerangkan dengan jelas tentang dia yaitu “seorang penganut agama Yahudi”,  istilah untuk orang asing yang menjadi “mualaf” Yahudi. Ia terpilih tentu karena ia seorang yang menonjol. 


Sejak jemaat Yerusalem di zaman akhir para rasul tercerai berai oleh aniaya dan pertikaian politik, jemaat-jemaat di Yerusalem pergi ke seluruh dunia dan mengabarkan Injil. Jika yang lain umumnya memulai penginjilan dengan menjangkau lebih dulu orang-orang Yahudi yang ada di dalam kota, maka sebagai orang berdarah Yunani, sudah pasti Nikolaus langsung fokus menjangkau suku-suku bangsanya sendiri.

Bagaimana akhirnya Nikolaus menjadi seorang penyesat, sejak kapan dan apa yang diajarkannya, tidak dijelaskan mendetail dalam kitab Wahyu. Hanya dikatakan bahwa Tuhan Yesus membenci ajarannya, serta dikesankan bahwa ajarannya itu telah tersebar luas di banyak kota. Tapi dari catatan sejarah, diketahui bahwa ia mengajarkan sinkretisme –perdamaian dengan cara hidup dunia- dan fokus pada kemakmuran.

Banyak tokoh gereja purba yang pernah menyinggung ajaran Nikolaus atau Nikolatianisme dalam tulisan mereka. Iranaeus (120-202) menulis tentang jemaat Nikolaus sebagai orang-orang Kristen  "yang tidak mengekang kesenangan daging mereka". Hippolytus (lahir tahun 170, wafat tahun 235) menulis bahwa Nikolaus terbiasa menanamkan pemahaman dalam ajarannya tentang kesamaan antara hidup dan makanan, sementara Tertullian (150-225) menulis bahwa ajaran Nikolatian adalah hidup untuk nafsu dan kemewahan. Inti ajaran mereka adalah berkutat di seputar berkat dan berkat materi di dunia.

Sebagai seorang yang pandai menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tampaknya Nikolaus telah memakai metode berkat kemakmuran ini untuk menarik minat orang-orang Yunani kepada Kristus. Untuk sekedar diketahui, saat itu bangsa Yunani adalah pemimpin kemajuan zaman dan peradaban tinggi, melalui kebudayaan Helenisme mereka yang masyur, yang diadopsi Romawi. Di samping kaya dengan legenda dewa-dewa, bangsa Yunani sangat berminat pada filsafat, politik, karir, bisnis dan kemakmuran, seni, hiburan, kemewahan-kemewahan dan kemegahan kota. Mereka bangsa yang antusias, gembira dan berselera tinggi. Itulah sebabnya Nikolaus, mungkin demi keberhasilan penginjilannya, ditambah juga tentu oleh romantisme asal usul bangsanya, telah berkompromi dengan tradisi-tradisi, nilai-nilai, serta filsafat-filsafat kafir Yunani asalkan mereka bersedia menjadi Kristen. Kompromisme dengan kebudayaan kafir dan pengejaran keberhasilan dunia inilah yang Tuhan Yesus maksudkan di Kitab Wahyu ketika Ia berkata: 


Wahyu 2 : 6
Tetapi ini yang ada padamu, yaitu engkau membenci segala perbuatan pengikut-pengikut Nikolaus, yang juga Kubenci.

Ringkasnya, Nikolaus dapat dinamai bapak teologi kemakmuran dunia kristen. Nikolaus memberitakan “Yesus” yang ada untuk membantu mereka mengejar segala cita-cita dan impian di dunia ini, asalkan mereka mau menjadi jemaat. Ajaran yang menyenangkan ini sepanjang zaman terbukti sangat menarik minat sehingga cepat sekali bertumbuh menjadi gereja raksasa. Hasilnya jelas, persembahan yang melimpah-limpah bagi kemakmuran para pemimpin gereja. 


Sungguh beralasan kiranya kenapa Tuhan menyingkapkan hal itu di kitab Wahyu, padahal kita tahu bahwa Wahyu adalah kitab yang menyingkapkan akhir zaman. Sebab ternyata, di akhir zaman inilah ajaran pengikut-pengikut Nikolaus itu mencapai puncak popularitasnya.


Itu tentang nikolatianisme yang begitu mewabah di seluruh dunia. Bagaimana dasar ajaran mereka tentang keselamatan?
Mereka mengajarkan kasih karunia Yesus, sama seperti kita. Tapi kasih karunia yang mereka ajarkan ialah antinomianisme. Mereka menuduh bahwa kasih karunia yang masih menuntut ketaatan pada firman bukanlah kasih karunia. Jadi mereka tidak terlalu masalah dengan perceraian, menikahi orang cerai, makan darah, rupa-rupa percabulan tersembunyi, kehidupan yang duniawi, bahkan di gereja-gereja Barat hari ini: homoseksualitas. Seolah-olah Tuhan Yesus telah membolehkan orang berbuat dosa, karena telah mati di kayu salib. 


Mereka percaya bahwa keselamatan itu sepenuhnya karena Kristus telah mati untuk menebus dosa kita. Tentu sampai di titik ini mereka benar, sebagaimana kita mengajarkan hal yang sama. Tetapi lanjutan mereka ialah: jadi karena itu, sekali kita menerima Kristus, selamanya kita selamat. Sekali selamat tetap selamat. Inilah racun itu. 


PELURUSAN


Saudara kekasih dalam Yesus Kristus, kita sudah melihat dua jurang kesesatan di kiri kanan Jalan Lurus itu, yang demikian luas menjangkau gereja sedunia. Kita tidak boleh keluar dari Jalan Lurus itu, supaya kita tidak jatuh ke salah satu jurang. Sekarang kita akan menyingkapkan kebenaran Kristus yang sesungguhnya. 


Kutub ragi Farisi maupun ragi Saduki secara garis besar terlihat berbeda jauh, khususnya dalam mengimani keselamatan. Tetapi karena kedua kesalahan ini berasal dari sumber ilham yang sama, dan mengalir dari wadah yang sama yaitu ego atau kebanggaan diri manusia, maka acap terjadi di dalam satu orang terdapat kedua ragi itu sekaligus.

Dari sisi kebenaran, apa yang benar dari kaum legalistik ialah kekudusan hidup dan ketaatan pada firman. Apa yang benar dari kaum antinomian ialah bahwa kita sudah selamat ketika percaya pada Yesus, bahwa kita telah diampuni, bahwa keselamatan kita telah selesai oleh salib Yesus. 


Sekarang kita akan melihat letak kesalahannya, supaya kita dan jemaat yang ada pada kita bisa terhindar dari kedua ragi ini.


Kesalahan saudara kita yang menganut ragi Farisi ialah karena mereka menyangkal kasih karunia keselamatan, entah mereka sadari itu atau tidak. Arah ajaran mereka berbeda dari Injil. Arah mereka ialah: dari Kekudusan hidup ke Selamat –dari kanan ke kiri. Padahal arah Injil ialah: dari Selamat ke Hidup kudus –dari kiri ke kanan. 


Sebaliknya, kesalahan saudara kita dari penganut ragi Saduki terletak pada kekeliruan mereka memahami letak keselamatan kekal itu. Menurut mereka, keselamatan kekal itu melekat di dalam diri kita, sehingga karena kata “kekal” artinya selama-lamanya, maka kita tidak bisa lagi kehilangan itu. Padahal yang sesungguhnya ialah keselamatan kekal itu melekat di dalam Yesus. Jadi, tendensi mereka adalah: Yesus yang mengikuti kita kemanapun kita pergi. Padahal yang Injil ajarkan: kita yang mengikuti Yesus. Arah antinomian ialah dari Yesus menuju Peraihan Dunia, sedangkan arah Injil: berbalik dari pengejaran dunia menuju Yesus. Kaum antinomian "lupa" bahwa seseorang masih bisa keluar dari kasih karunia. Jadi mereka tidak mengangap penting KEPUTUSAN manusia untuk tetap tinggal setia di dalamnya. Mereka mengabaikan adanya KEHENDAK BEBAS manusia. Itulah sebabnya, panggilan Injil berikutnya setelah datang pada kasih karunia Yesus Kristus,  ialah tinggal setia di dalam-Nya. 


Apa yang Injil ajarkan? Ini: barangsiapa berbalik kepada Yesus Kristus, ia telah menerima keselamatan kekal itu; telah menjadi ciptaan baru. Kelahiran baru itu bukan hasil perbuatannya, bukan hasil proses jerih lelah, melainkan anugerah cuma-cuma dari Allah, seketika ia berbalik untuk pertama kalinya pada Yesus karena iman akan kasih karunia-Nya. Setelah itu, ia akan digembalakan langsung oleh Tuhan di dalam kasih karunia itu, hidup di dalam kehendak Bapa. Kita belajar taat dengan menyangkal segala kedagingan dan kebanggaan diri (ego) kita. Harga diri itu harus runtuh, harus menjadi debu, dan kita fokus pada wajah Kristus Yesus di dalam Roh.


Dengan menyadari bahwa kita telah diselamatkan, telah diampuni, dikasihi dan disertai senantiasa, kita kuat dan teguh dalam damai sejahtera Allah serta bisa menelanjangi segala dakwaan atau tuduhan musuh. Di dalam kita ada iman tak tergoyahkan bahwa kita sudah selamat, karena penebusan Yesus. Demikian pula kita tetap mengingat penuh bahwa kita sendiri hanyalah orang malang yang menerima belas kasihan, orang yang tidak layak kalau bukan karena dilayakkan, orang yang mestinya terkutuk karena dosa tapi diampuni. Dengan kesadaran ini, kita malu untuk merasa bangga diri karena alasan apapun di hadapan manusia, entah karena hebatnya pelayanan, entah karena capaian di dunia.
Kita melakukan segala perintah Tuhan, membawa persembahan ke ladang-Nya, melayani umat-Nya, pergi memberitakan Injil, dan sebagainya, bukan lagi berlandaskan pikiran supaya kita beroleh perkenanan, tapi karena kita sudah beroleh perkenanan-Nya dan bersukacita, dan motivasinya berasal dari luapan kasih kita kepada Allah. Kita tidak membantah kehendak-Nya. Sebaliknya, kita mengalir di dalamnya. Roh Kudus mengurapi hati kita dengan kasih yang lemah lembut dan rendah hati, ketika pemahaman rohani kita berdiri di atas Injil-Nya. 


Jadi perlu untuk menegaskan lagi iman kita: kita yakin penuh bahwa kita telah selamat, bukan karena kita senantiasa sempurna dalam amal ibadah, tapi karena Yesus telah menebus segala dosa kita. Salib Yesus itu jaminan kita, dengan catatan, kita teguh percaya dan tidak dicemarkan doktrin perbuatan yang hanya melahirkan sejentik keraguan akan keabsolutan salib Yesus.

Di dalam Kristus, kita yakin teguh bahwa bila kita mati entah kapan, kita akan berada di sorga. Dan itu pasti. Itulah iman kita. Hanya saja, apabila kaum antinomian percaya bahwa keselamatan itu tidak mungkin hilang apapun yang mereka lakukan di sisa hidupnya, Alkitab mengajarkan bahwa kita masih bisa berakhir dalam kegagalan. Apa yang bisa menggagalkannya? Kesesatan, juga pemberontakan dosa yang dipertahankan, yaitu apa yang disebut keluar dari kasih karunia.


Ibrani 12 : 15
Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang mnimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang.

Siapakah yang keluar dari kasih karunia itu?

Galatia 5 : 4
Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia.

Dari ayat itu jelas, kita telah keluar dari kasih karunia, ketika kita mengharapkan kebenaran dan keselamatan, oleh kesalehan-kesalehan dan pelayanan kita, apa yang sejak tadi kita sebut sebagai ragi Farisi atau doktrin selamat oleh perbuatan. Sedikitkah yang menganut doktrin agamawi ini di gereja kita? Sangat-sangat bamyak! 

Siapa lagi yang telah keluar dari kasih karunia itu? Yakni mereka yang tetap melakukan dosa dan bertahan tinggal di dalamnya dengan merasa benar.

1 Yohanes 3 : 6
Karena itu setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi; setiap orang yang tetap berbuat dosa, tidak melihat dan tidak mengenal Dia.

Karena itu, kita harus menjaga iman kita tetap murni di atas kebenaran Injil Kasih Karunia, serta menjalani hidup yang berfokus kepada Kristus, agar keinginan berbuat dosa itu yaitu melanggar firman Allah, padam dengan sendirinya.
Adapun kita, setiap detik harus sadar di dalam hati kita, bahwa kita hanyalah hamba-hamba yang tidak berguna, yang tidak layak dipuji atau merasa bangga diri. Segala kemuliaan akan kita persembahkan kepada Dia, dan di dalam Injil-Nya yang ajaib itu kita bersukacita senantiasa. Kita berfokus pada wajah-Nya, bukan lagi pada diri kita sendiri. Kita adalah NOL, sehingga tujuan hidup dan harta kita satu-satunya adalah YESUS, YESUS dan YESUS.








3.       SEMPURNA SEPERTI BAPA
Matius  5 : 48
Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.

Ini adalah sebuah keharusan, apabila kita ingin bertemu dengan Bapa pada akhir nanti. 
Tapi jika kita berada di bawah pengaruh ragi agamawi, kita pasti keliru memahami ayat di atas, dan akan menganggapnya sebagai bukti bahwa kita bukanlah orang yang sudah selamat, melainkan orang yang yang sedang mengejar keselamatan. Kita membuat hukum ini sebagai sesuatu yang harus dicapai melalui perbuatan-perbuatan jerih lelah. Kita kerap berkhotbah: “Mari kita terus bertekun, sampai kita mencapai titik sempurna seperti Bapa, supaya mahkota keselamatan itu kita peroleh.” Ini terdengar rendah hati, padahal sesungguhnya kesombongan roh, sebab doktrin ini bernafaskan atmosfir “Selamat oleh Perbuatan”. Letak kesesatannya adalah kata “supaya”.


Kita tidak mungkin bisa sempurna dengan segala perbuatan kita. Kenapa? Sebab kita mengejar “kesempurnaan seperti Bapa” dengan kekuatan diri kita. Maksud saya, yang kita kira harus sempurna itu adalah diri atau ego manusia kita. Karena itu mustahil, ada rasa frustasi di kedalaman jiwa kita lalu “sadar” bahwa kita belum selamat. Ketika kita mendengar orang lain percaya bahwa ia sudah selamat, kita akan mencibir di dalam hati dan tertawa: “aku saja yang sudah berlelah melayani puluhan tahun begini tidak sanggup bilang begitu, gimana kamu bisa yakin?”
Ketika kita mencibir sedemikian, lihatlah bahwa ternyata kita tidak seirama dengan ayat berikut ini dan banyak ayat lainnya.

Roma  10:13
Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.

Tanpa sadar, kita menolak pernyataan Alkitab, karena memang akal pikiran yang dicemari ragi Farisi pada dasarnya tidak sanggup menerima anugerah cuma-cuma dari atas salib. Mulutnya bisa menerima, tetapi hatinya tidak.

Saudara, anda tidak akan pernah bisa membuat dirimu sempurna. Jadi lupakan dirimu. Runtuhkan itu. Diri itu untuk kita runtuhkan berkeping-keping, bukan untuk kita usahakan berubah sempurna. Tuhan tidak mengajarkan kita hidup dengan kebaikan diri kita sendiri, tapi hidup menuruti tuntunan Roh. Yang kita harus kerjakan ialah mengosongkan kedirian kita dari hati ini, sehingga ruangan hati kita dapat dipenuhi oleh Roh Kudus.
Sesungguhnya, ketika kita lahir baru, kita telah disempurnakan.
 
Untuk memahaminya, kita harus mengerti apa yang dimaksud dengan sempurna itu. Sempurna artinya tanpa cela, tanpa aib, tanpa kesalahan. Itu artinya kudus, tanpa dosa.
 
Jadi tolong jangan tafsirkan “sempurna seperti Bapa” artinya diri kita harus maha segala-galanya dulu seperti Bapa, tak boleh lagi lupa, tak boleh lagi khilaf, tak pernah lagi sekalipun terlambat ke kantor, dan sebagainya, baru kita layak di hadapan-Nya. Bukan itu. Yesus mati di kayu salib bukan supaya kita dijadikan mahakuasa seperti Bapa, tapi untuk membuat kita kudus di hadapan Bapa. Jadi sempurna seperti Bapa artinya kudus seperti Bapa, tidak bercacat cela, tidak ada dosa tersembunyi lagi. 


Sesungguhnya, ketika kita percaya kepada Yesus Kristus, yaitu percaya bahwa Dialah sumber keselamatan kita satu-satunya yang telah dikaruniakan Allah kepada kita, dan karenanya datang menyerahkan diri kepada-Nya, roh kita seketika itu sudah lahir baru dan diubahkan menjadi roh yang sempurna, yang kudus, yang tanpa noda dosa, seperti Bapa. 


Efesus 1 : 13
Di dalam Dia kamu juga –karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu- di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu.

Di dalam roh yang sempurna itu tidak ada lagi kehendak dosa, dan bahkan ia tidak bisa berbuat dosa. Dengan demikian, kesempurnaan itu bukan hasil pekerjaan jerih lelah kita, tapi kasih karunia-Nya, yang dianugerahkan kepada kita, ketika kita percaya.

I Yohanes 3 : 9
Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.

Tetapi sekali lagi, kita tidak hanya terdiri dari roh, melainkan juga jiwa dan daging. Jiwa itulah yang menjalankan perikehidupan sehari-hari, yang mengambil keputusan tentang apa yang akan dikerjakan, didengarkan, dan sebagainya. Daging dan roh memberi aspirasi kehendak ke dalam jiwa. Jiwa, atau hati dan pikiran, memutuskan mendengar dan mengerjakan kehendak siapa.
 
Ketika kita lahir baru, daging tidak turut dilahirkan kembali. Kita masih memakai daging yang lama, yakni yang berasal dari benih ayah ibu kita, yang kita warisi dari Adam. Artinya, meski oleh kelahiran baru roh kita tidak lagi memiliki kehendak dosa, daging kita masih tetap dengan segala kehendaknya yang semula, yakni segala kecemaran dan kebanggaan diri. 


Ada godaan yang tak henti-henti dari daging kita, baik untuk melakukan hal-hal cemar, maupun untuk membanggakan diri akan sesuatu. Ada godaan untuk merasa berjasa, merasa besar, merasa lebih penting, menyimpan orientasi uang dalam pelayanan, menyimpan sakit hati, dan lain-lain. Semua itu berasal dari daging, yang masuk ke dalam hati untuk diperjuangkan.


Seorang percaya yang mengikuti aspirasi dagingnya, mendukakan Roh. Tapi ketika jiwa tersebut mendengarkan Roh, ia menjaga kesempurnaannya. Oleh karena itu, setiap orang dari kita masih harus rela bertekun dalam keselamatan yang telah dikaruniakan itu. Kata kuncinya adalah “telah”.

Semoga anda sudah mengerti letak perbedaannya antara kebenaran Injil dengan roh agamawi yang kerap kita anut. Roh agamawi berkata: “Mari kita terus bertekun, sampai kita mencapai titik sempurna seperti Bapa, supaya mahkota keselamatan itu kita peroleh”. Sementara Injil Kebenaran berkata: “Mari kita bertekun
dalam kekudusan dan keselamatan yang telah dikaruniakan itu. Kedua-duanya menghasilkan ketekunan, tapi yang pertama tersesat dan akan ditolak, yang kedua berdiri dalam kebenaran kasih karunia Allah.


I Yohanes 3 : 3
Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci.

 “Menyucikan diri” maksudnya menghindarkan hati kita dimasuki motif dosa yang dari daging. Itulah “Jalan Sempit” itu, yakni menyangkal diri untuk senantiasa bisa menjadi bejana bagi kasih Bapa. Itulah arti yang sebenarnya dari ajaran Tuhan Yesus, haruslah kamu sempurna, yakni dengan menolak hati kita dimasuki aspirasi atau motif daging, dalam setiap hal yang kita lakukan. Caranya ialah dengan menyangkal diri kita ini, terus menerus, dan senantiasa berfokus kepada salib Yesus. Fokus ini sangat vital. Dan itu pekerjaan 24 jam satu hari, seumur hidup kita.

Bagaimana kalau suatu hari kita terpeleset oleh motif daging? Jika itu terjadi, maka kesempurnaan kita yang telah dikaruniakan itu menjadi bercacat cela. Apakah ada solusinya? Tentu saja ada, yakni darah Yesus. Itu sudah lebih dulu diampuni di atas salib. Segeralah berbalik kepada-Nya, akui dosa itu di hadapan-Nya untuk menerima ampunan yang sudah ada itu dan kembalilah hidup di dalam iman akan kasih karunia, oleh tuntunan Roh-Nya yang lemah lembut.


Jika kita tersandung dalam dosa daging, apa yang akan dilakukan oleh Roh? Keluar secepat kilat seperti yang sering diajarkan oleh para pengajar agamawi yang tidak memahami kasih karunia Allah? Tidak. Ia akan tetap bersyafaat di dalam kita dalam keluhan kepada Bapa untuk kita. 


Roma 8 : 26
Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.

Tuhan Yesus bersabar dalam kasih setia-Nya menggembalakan kita, dan akan mengupayakan pertobatan kita ketika kita menyimpan sebuah dosa, dengan segala jalan yang pantas Ia lakukan sebagai Gembala kita. Mulai dari teguran lembut, sampai rotan ketika kita mengeraskan hati, akan Ia berikan. Kenapa? Sebab Ia sangat mengasihi kita, dan Ia tahu, satu dosa saja yang tersembunyi, cukup mengakhiri kita di neraka. Ia tahu bahwa kita harus sempurna seperti Bapa. Jadi, satu-satunya yang Ia minta adalah hati yang tidak dikeraskan. Dia butuh hati ini terbuka bagi-Nya.


Itulah sebabnya selama di bumi ini, kita masih dibawah penggembalaan-Nya, karena kita masih tinggal dalam tubuh yang lemah, serta iman yang masih mungkin disesatkan musuh, yang sewaktu-waktu dapat saja menciderai kesempurnaan yang telah Ia karuniakan itu.  


Jadi selalu ada penyesalan demi penyesalan di dalam lembaran diari hidup kita selama mengikut Tuhan. Dan manusia di sekitar kita mungkin memiliki daftar rekaman atau catatan akan segala ketersandungan kita pada dosa. Tetapi ketahuilah, ketika setiap kali kita tersandung, kita berbalik lagi pada Yesus, maka catatan semacam itu tidak akan ditemukan di sorga. Catatan hidup kita di sorga bersih dari noda. Iblis dan manusia hafal akan dosa-dosa kita, tetapi oleh darah Yesus, Allah tidak pernah mengingatnya.


Ibrani 8 : 12
Sebab Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka”.

Apakah hanya kita yang pernah tersandung? Apakah para rasul tidak pernah mengalaminya? Mari kita lihat sebuah kasus. Suatu hari, ketika sedang berkumpul dengan jemaat di Antiokhia, Kefas (Petrus) bersikap munafik karena segan pada orang-orang yang disebut “kalangan Yakobus” yang baru datang. Saat itu, Petrus dan Paulus sedang makan bersama dengan jemaat Yunani yang tidak bersunat. Lalu ketika Petrus mendengar bahwa ada “kalangan Yakobus” datang, Petrus menjauh dari jemaat Yunani itu, diikuti jemaat beretnis Yahudi lainnya yang ada disitu. Mereka takut jika nanti mereka dikecam. Dan karena perilakunya yang munafik itu, Paulus sangat marah dan menegur Petrus dengan keras. (Baca Galatia 2).

Apakah Petrus menyadari kesalahannya itu? Saya percaya dia menyadarinya. Dan dia pasti menyesal di dalam hatinya. Tapi jika kita membuka kedua surat Petrus di dalam Perjanjian Baru, ia tidak pernah mengungkit kisah itu. Ia tidak mengungkitnya bukanlah bukti bahwa ia tidak pernah menyesali sesuatu. Ia hanya tidak perlu dilemahkan oleh kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan di hari-hari lalu. Sebab ketika setiap kesalahan telah diselesaikan dengan darah Yesus, maka itu benar-benar terhapus dari ingatan Allah kita.

Jadi, banyak hal yang bisa kita peroleh dari sini. Pertama, selama mengikut Tuhan, kita semua berpotensi melakukan sebuah kesalahan, entah kesalahan kecil ataupun fatal. Karena itu pula Yesus tidak membiarkan kita sendirian. Ia tetap menggembalakan kita ke dalam kehendak Bapa-Nya, yaitu kasih.

Kedua, janganlah karena fakta ini, bahwa masing-masing kita masih mungkin melakukan kesalahan, jadi alasan bagi kita untuk saling menghakimi dan mengejek. Marilah kita menegur di dalam kasih karunia, paling tidak berdoa untuk saudara kita yang sedang dalam kesalahan.

Ketiga, jangan kita merasa dikejar-kejar ketakutan dan jangan mendengar dakwaan setan, seolah-olah kesalahan itu bukti bahwa kita belum sempurna, dan belum berhasil meraih keselamatan, lalu kita jatuh ke atmosfir Taurat seperti yang berulang saya sebutkan di atas. Roh Kudus mengasihimu, dan salah satu pekerjaan Roh Kudus diutus ke dalam hatimu ialah untuk menggembalakanmu. Roh Kudus tidak marah-marah ketika anda tersandung. Apakah ada yang Ia rasakan? Tentu saja ada, yaitu perasaan dukacita. Tapi karena Ia mengasihimu, Roh Kudus justru akan berusaha mengangkatmu bangun dan  mengingatkanmu akan kasih Bapa yang menyempurnakan, serta salib pengampunan Yesus Kristus yang menyelamatkanmu. Kita hanya perlu mengakui kesalahan itu dan menyesalinya, seperti seorang anak kesayangan kepada Bapa kebanggaannya.

Amsal 24 : 16
Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali, tetapi orang fasik akan roboh dalam bencana.

Jadi jika terjadi perbuatan dosa oleh saudara kita, janganlah segera menghakiminya. Itu hanya bukti bahwa ia adalah domba gembalaan Kristus, yang ada waktunya untuk dinasehati, ditegur, bahkan dihajar oleh-Nya. Kasih Tuhan tidak pernah meninggalkan dia. Tetapi memang, jika dia mati dalam keadaan mengeraskan hati seperti itu, menolak berdamai dengan kasih karunia Allah, ia mati dalam keadaan bercacat di hadapan Allah. Dan snda sudah tahu, upah tiap dosa ialah maut.

Jadi ketika anda mendengar suara kebenaran-Nya yang menegur kesalahanmu dengan lembut, janganlah keraskan hatimu. Milikilah hati yang lembut, setinggi apapun jabatanmu di gereja, seperti Raja Daud yang rela untuk ditegur. Itu saat Gembalamu menunjukkan sisi kebapaan dari kasih-Nya. Segeralah akui dosa anda itu di hadapan Yesus dan anda akan dipulihkan dan dikuduskan kembali sepenuhnya, sempurna seperti sedia kala. 


Sebab Yesus itulah yang memancarkan terang dan pengudusan. Itulah sebabnya dikatakan, setiap orang yang berseru kepada Yesus, diselamatkan. Sebab Yesus itulah pengampunan dari Allah, yaitu pengampunan yang sempurna, dan juga pengudusan dari setiap noda dosa. 


Kita sempurna bukan karena kita tidak pernah lagi berbuat salah atau tersandung dosa sejak kita lahir baru, tapi karena disempurnakan oleh kasih karunia-Nya lalu diawasi pula setiap detik di bawah penggembalaan-Nya, dan diampuni. Tentu Ia menghendaki supaya kita semakin hari semakin dewasa dan kuat, tidak mudah lagi jatuh apa lagi karena penyebab-penyebab kecil.


Tentang pengangkatan kita kelak, banyak orang telah menambah-nambahkan prasyaratnya. Tetapi firman Tuhan telah jelas berkata bahwa “tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan”. Bukan soal apakah orang itu sudah dewasa rohani dan sudah lama melayani atau petobat baru yang belum memahami banyak hal dan masih sering jatuh bangun, tapi soal apakah orang beriman itu ditemukan kudus atau tidak pada hari itu, dalam iman yang benar di dalam kasih karunia-Nya. 


Betap besar kasih-Nya akan kita. Maka marilah kita juga belajar menjadi kuat, tidak lemah dan tidak mudah tersandung lagi. Semakin kita mengasihi Tuhan semakin kita kuat, sebab kasih Tuhan yang kita rasakan itulah kekuatan kita mengalahkan segala kehendak daging.






4.       PONDASI YANG BENAR DARI PERJANJIAN BARU


Suatu malam, saya digelisahkan di dalam pikiran tentang doktrin keselamatan, usai membaca tulisan-tulisan mereka yang berada di kutub antinomian (anti ketaatan), yang disebut orang hyper grace. Mereka meremehkan hukum kekal Allah akan berbagai hal karena kasih karunia. Bahkan mereka, entah mereka sadar atau tidak, menganggap ketaatan pada perintah Yesus Kristus adalah sebuah perbuatan agamawi juga. Jadi sekalipun tidak mereka sebut terus terang,  doktrin mereka mengijinkan orang makan darah, mengijinkan orang aborsi, bercerai, menikahi orang cerai, mencari uang dengan cara yang dilarang, tidak menegur kecemaran-kecemaran tersembunyi, melakukan dosa ini dan itu, semata-mata dengan alasan kasih karunia Allah. Apa yang Tuhan Yesus sendiri larang, tidak lagi terlarang bagi mereka. Sebab mereka percaya bahwa mereka tidak mungkin binasa lagi. Sekali bertobat, selamanya kudus.

Beberapa waktu sebelumnya, saya baru juga membaca tulisan-tulisan mereka yang dari kutub legalistik. Mereka terus menerus berbicara mengenai ketaatan, kekudusan hidup, dan pertobatan total. Amen, hal-hal sejauh itu seturut dengan kebenaran firman  yang  kita imani. Tetapi ada ekor-ekor ajaran mereka yang berkata begini: anda bukan anak Allah sebelum anda sempurna mengerjakan semua itu, anda orang yang mati dan tidak berharga di hadapan Allah. Anda belum berada dalam keselamatan. Jika anda ingin memperoleh anugerah keselamatan itu, anda harus mengerjakan semua itu sepenuh ketaatan pada Yesus Kristus, dan lain sebagainya.

Pernyataan-pernyataan itu begitu mengintimidasi iman, menebarkan hawa ketakutan dari atmosfir Taurat  –saya sendiri bisa merasakan betapa kuatnya serangan hawa intimidatif  itu dan cukup dibuat kecut- lebih lagi mereka mengklaim bahwa perkataan-perkataan mereka berasal dari Roh Kudus, disertai pula nubuatan dari orang-orang yang mengaku nabi.

Banyak nama besar yang berada di dalam atmosfir hyper grace, sama banyaknya dengan nama-nama besar yang bermukim di atmosfir Taurat. Hati-hati, sebab boleh jadi koleksi buku-buku rohani dan renungan anda ditulis orang-orang dari salah satu kesesatan itu. Jika ada yang mengajarkan bahwa kita tidak mungkin lagi binasa dengan cara apapun kita hidup, itu hyper grace. Jika ada yang mengajarkan bahwa jemaat belum selamat meski percaya kepada Yesus, melainkan harus melakukan ini dan itu dulu baru sah sebagai orang selamat, itu atmosfir Taurat. Mereka pada dasarnya berkata keselamatan berasal dari pebuatan. Atmosfir ini sangat banyak menelan jemat-jemaat kudus di seluruh dunia.

Kedua doktrin yang baku serang ini, menari-nari dan saling berdebat di pikiran saya malam itu, dan seperti saya katakan di atas, saya menjadi gelisah. Jadi saya berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan kita, Yesus Kristus, supaya Ia menjauhkan saya dari segala kesesatan, dan supaya Ia menerangi saya dengan doktrin-Nya sendiri. Beberapa menit kemudian, saya merasakan dorongan yang kuat dari Roh Tuhan untuk membaca Efesus 2. Di pasal itulah Paulus menyatakan pernyataan maha penting ini:


Efesus 2:8-9
Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.

Ini adalah ayat emas yang menjadi dasar iman kita untuk percaya bahwa kita sudah selamat di dalam Yesus Kristus. Firman ini haruslah berakar kuat di dalam iman kita.

Tetapi bukan itu yang Roh Kudus inginkan untuk saya baca malam itu. “Ayat yang persis di bawahnya,” suara itu terus menerus mendorong-dorong di hati saya. Saya jadi penasaran, memangnya apa isi ayat yang persis di bawahnya? Soalnya saya dan kebanyakan orang jarang memperhatikannya. Jadi, saya mengambil Alkitab saya dan membukanya:

Efesus 2 : 10
Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.  

Membaca ayat itu, mendadak sirna seluruh perdebatan di pikiran saya. Ada terang benderang  yang meneranginya. Tuhan memenuhi saya dengan hikmat-Nya malam itu. Di dalam roh, saya seperti mendengar suara: Lihat, Aku mengajarkan ayat 8-9 lebih dulu supaya kamu kokoh di dalamnya. Barulah setelah kamu kokoh disitu, Aku menuliskan ayat 10.

Mari  kita pelajari ayat 10 itu:

Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik.

Jadi lihat, natur kita, atau tujuan yang Allah gariskan kenapa Ia menciptakan kita, ialah untuk melakukan pekerjaan baik. Kita tahu apa-apa itu pekerjaan baik,  yaitu segala  yang Allah perintahkan di dalam doktrin “kasihilah Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap kekuatanmu dan kasihilah sesamamu manusia seperti mengasihi dirimu sendiri.” Oleh kelahiran baru, ini telah menjadi natur kita, yang alamiah, yang memancar dari Roh di dalam kita, mengalir keluar melalui hidup kita. Natur ini akan mengalir dengan sendirinya, ketika kita tidak menghalanginya dengan tembok harga diri, ego, rasa bangga diri. Jadi tembok-tembok kemegahan diri ini yang harus kita runtuhkan. Jika itu runtuh, dengan sendirinya aliran Terang Roh itu –-yaitu KASIH-- akan mengalir keluar.


Khotbah di Atas Bukit

Doktrin ‘kasih’ ini secara panjang lebar menjadi intisari khotbah Tuhan Yesus dari apa yang kita kenal sebagai “Khotbah di Atas Bukit” yang terdapat di dalam Matius 5 – 7. Khotbah ini merupakan salah satu perikop yang paling terkenal sepanjang zaman gereja. Ironisnya, kebanyakan ajaran sesat di kalangan gereja timbul setelah merenungkan khotbah masyur ini dan mengambil kesimpulan yang salah.  

Di bagian penutup khotbah-Nya tersebut, Yesus berkata:

Matius 7 : 21
Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam kerajaan sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga

Penutup khotbah inilah yang banyak disalahpahami orang-orang, khususnya dari golongan legalistik atau agamawi. Mereka menganggap ayat itu adalah bukti dari doktrin mereka bahwa kita selamat oleh perbuatan. Sepintas lalu, seperti ada benarnya. Sepintas ayat tersebut memang seperti bermakna: hanya dengan melakukan kehendak-kehendak Bapalah maka keselamatan itu akan diberikan kepada kita.

Akan tetapi klaim mereka itu tidak benar. Ayat itu tidak muncul secara terpisah. Pernyataan Tuhan tersebut ialah penutup dari batang tubuh “Khotbah di Atas Bukit”. Jadi setelah Yesus menyampaikan seluruh materi khotbah-Nya,  Ia menutupnya dengan ayat tadi. Dan intisari khotbah itu ialah kasih. Jadi inilah kehendak Allah, yaitu KASIH, atau dalam Efesus 2 : 10 di atas disebut: pekerjaan baik.

Selama ini banyak orang menuduh Paulus mengajarkan hal berbeda dari Tuhan Yesus. Itu tidak benar. Apa yang Paulus ajarkan adalah dari Tuhan Yesus sendiri. Silakan anda bandingkan “Khotbah di Atas Bukit” langsung dari Tuhan Yesus dengan ajaran-ajaran Paulus tentang kasih. Kita akan bandingkan beberapa di bawah ini:

Khotbah di Atas Bukit (KAB): Siapa menyimpan marah pada saudaranya sama dengan membunuh.
I Korintus 13 (IKor13): Kasih itu tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain

KAB       : Jika pipi kananmu ditampar, berilah juga pipi kirimu
Ikor13   : kasih itu sabar (mengampuni)

KAB       : Siapa memandang perempuan (yang bukan istrinya) dan menginginkannya, sudah berzinah dengan dia
Ikor13   : Kasih itu tidak melakukan yang tidak sopan

KAB       : Jika tangan kananmu  memberi, janganlah diketahui tangan kirimu
Ikor13   : Kasih itu tidak memegahkan diri

KAB       : Kumpulkanlah harta di sorga, bukan di bumi
IKor13  : Kasih itu murah hati. Ia tidak mencari keuntungan sendiri.

KAB       : Janganlah menghakimi. Keluarkan dulu balok di matamu, sebelum mengeluarkan selumbar di mata orang lain
IKor13  : Kasih itu menutupi segala sesuatu. Kasih itu menutupi banyak dosa.

Dan lain sebagainya.

Saudara, saya berdoa kiranya setelah membaca artikel ini, anda akan menemukan bahwa ternyata seluruh ayat Alkitab itu berasal dari satu sumber yang sama, mengajarkan hal yang sama, saling berkaitan satu sama lain. 

Jadi penutup Khotbah di Atas Bukit, dimana Tuhan Yesus berkata bahwa tidak semua orang yang beribadah kepada-Nya akan masuk ke sorga, melainkan hanya orang yang melakukan kehendak Bapa-Nya, bukanlah berarti orang diselamatkan karena hasil perbuatannya, seperti yang ditafsirkan oleh penganut ragi Farisi, melainkan berbicara tentang buah yang benar dari hasil mempertuhankan Yesus. Setiap orang yang mengaku percaya bahwa Yesus adalah Tuhannya, tetapi buahnya bukan kasih, berarti orang tersebut tidak benar sedang mempertuhankan Yesus.

Yesus adalah pokok anggur yang benar. Jika Yesus ada di dalam saudara, saudara pasti menghasilkan buah yang manis dan sedap –yaitu kasih. Jika buahnya tidak seperti itu, berarti tidak benar Yesus yang bekerja di dalam anda. Ada roh lain yang bekerja di dalam anda, dan kebanyakan adalah ego manusia anda: manusia lama, yang diprovokasi si jahat. Itulah arti dari ayat tersebut.

Ayat Matius 7 : 21 adalah penegasan Tuhan Yesus, bahwa orang percaya asli pasti hidup di dalam kasih Bapa, sedangkan orang percaya palsu tidak. “Kehendak Bapa-Ku” yang Tuhan maksudkan disitu ialah SUPAYA KITA HIDUP DALAM KASIH.

Bandingkanlah itu dengan Yohanes 15 : 17

Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.

Justru Matius 7 : 22-23 secara tegas mengatakan bahwa mereka yang nantinya ditolak itu adalah kaum Farisi rohani itu sendiri, yang berpikir bahwa dia berhak memperoleh mahkota keselamatan itu karena telah berbuat banyak dengan penuh ketaatan; mereka yang berpikir kita selamat karena telah berjerih lelah melakukan banyak perbuatan.

Kita kembali ke Efesus 2 : 10. Selanjutnya, kita akan pelajari kutipan berikutnya:

Yang dipersiapkan Allah sebelumnya.

Apa yang Ia persiapkan itu? Tentu saja tugas-tugas tersebut,  yakni pekerjaan baik. Jadi Allah, sebelum Ia menciptakan kita, telah membayangkan terlebih dahulu keadaan umat manusia itu kelak, kira-kira begini visi-Nya itu: “Mereka akan saling mengasihi satu sama lain. Mereka akan saling mengampuni, saling menolong, saling memberkati, saling menopang, saling menguatkan, di dalam iman akan Aku, di dalam naungan kasih karunia-Ku. Aku akan menjadi Bapa mereka, dan mereka akan menjadi anak-anak-Ku”. Bukankah itu yang diajarkan oleh seluruh rasul dalam surat-surat mereka?

Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.  

Di penutup ayat ini, kembali Paulus menegaskan bahwa itulah kehendak Allah. Ia mau artinya Ia berkehendak. Jadi kehendak Allah ialah supaya kita hidup di dalam kasih tersebut, yang memampukan kita menghasilkan buah-buah pekerjaan baik. 


Rincian dari perbuatan-perbuatan mengasihi itu misalnya mengampuni, tidak menuntut penghukuman atas orang yang bersalah, melupakan kesalahan orang lain; murah hati atau berbelas kasihan pada mereka yang berkekurangan, yang terlantar, yang terbuang, yang dipandang sebelah mata; tidak menganggap diri lebih besar dari siapapun –termasuk dari orang-orang kecil, melainkan merendahkan diri, menyangkal diri, memperlakukan  jemaat yang kita bimbing sebagai saudara sama saudara dan bukan sebagai “domba-domba saya”; tidak menghakimi atau sombong rohani; berbuat baik; tidak menjahati siapapun, tidak mengambil milik orang lain, tidak memanfaatkan ketundukan atau rasa hormat orang lain untuk kepentingan pribadi kita; tidak bersukacita atas kecelakaan yang menimpa orang yang melawan kita; turut menangis bersama orang yang menangis; dan lain sebagainya.

Kita harus menjaga hati kita tetap suci dari segala motif yang tidak benar, dalam hal apapun yang kita kerjakan. Sebab kekudusan itu terletak di dalam hati, bukan di kulit luar. Kita bisa menghasilkan semua, ketika kasih Bapa berkuasa di hati kita.

Jadi, setelah hati anda dipenuhi kasih Bapa, maka kasihilah istrimu, anak-anakmu, saudara-saudaramu menurut kelahiran, saudaramu menurut iman, para tetanggamu, semua orang. Coba toleh kepada orang yang ada di sebelahmu sekarang ini, siapapun dia: kasihilah dia di dalam hatimu. Yesus mati di Golgota untuknya juga, sekiranya ia mau datang kepada-Nya. Nyatakanlah kasih itu melalui sikap dan perkataan, melalui kelemahlembutan dan kerendahan hati, juga melalui perbuatan fisik pada waktunya perlu. Beritakanlah Injil.

Perhatikanlah, Efesus 2 ayat 8-9 duluan ditulis daripada ayat 10. Itu artinya, iman anda harus kokoh dulu pada pemahaman kasih karunia itu, sebelum anda berbicara tentang pelaku firman. Jika anda sudah berbicara perbuatan baik, kasih, kekudusan dan saleh pada jemaat, padahal anda buta dengan kasih karunia, anda berdiri di pondasi yang salah. Anda hanya akan menghasilkan Jemaat Efesus.

Orang-orang Saksi Yehowa, kaum Buddha, dogma Paus Katolik Roma yang sekarang, agama-agama palsu termasuk Islam dan gereja-gereja sesat berdiri di atas pondasi itu. Mereka mengajarkan umatnya menjadi orang-orang baik, lantas berkata: Itulah yang akan membuat kamu akan dianugerahi keselamatan oleh Tuhan. Doktrin Selamat oleh Perbuatan.


Sola Gracia

Sekali lagi, sebelum kita masuk ke dalam topik “menjadi pelaku firman” atau “setia kepada Yesus”, terlebih dahulu kita harus memastikan bahwa kaki rohani kita berdiri di atas pondasi yang benar. Sola gracia! Hanya oleh kasih karunia, yang kita dapatkan ketika kita percaya pada Yesus Kristus, maka kita beroleh keselamatan. Keselamatan itu bukan hasil jerih payah kita.

Jika satu dosa saja cukup untuk membuat kita berakhir di dalam neraka, bagaimana kita bisa berpikir kita bisa menghasilkan keselamatan lewat perbuatan?

Karena itu, sejak semula Allah telah menetapkan diri-Nya akan datang menebus dosa manusia, sehingga Ia bisa mengadakan Perjanjian Baru dengan kita, supaya barangsiapa mau menerima kasih karunia-Nya itu, ia diselamatkan dan menjadi anak-Nya. Visi sejak semula itu digenapi-Nya dua ribu tahun lalu, di dalam Yesus Kristus. Yesus telah mati satu kali di atas kayu salib untuk mengampuni segala dosa kita, manusia celaka ini. Dan oleh karena perbuatan-Nya itu, kita beroleh pengampunan dan keselamatan, ketika kita percaya kepada-Nya. Anda sudah diampuni!

Orang-orang legalistik terlalu memandang remeh dengan kata “percaya”.  Itulah sebabnya mereka kurang tertarik memperhatikannya dan terus menerus pikirannya berfokus kepada rupa-rupa perbuatan yang harus dilakukan. Akan tetapi orang yang berpengalaman di dunia roh, tahu betapa dasyatnya arti “percaya” itu.

Sihir, hipnotisme, ilmu tenung, dan segala macam pekerjaan supranatural si jahat, bisa masuk ke dalam jiwa seseorang ketika orang itu mau percaya. Seorang peramal biasanya memulai pekerjaannya dengan memesona pasiennya terlebih dahulu, supaya ia percaya. Setelah orang itu percaya, terbukalah pintu selebar-lebarnya bagi si peramal untuk memasukkan kutuk ke dalam hidupnya. Peramal itu biasanya akan berkata: “kamu akan begini dan begitu!”. Karena pintu jiwa sudah terbuka oleh percaya, maka isi ramalan tersebut akan terpatri kuat di dalam jiwa orang itu. Kemanapun dia pergi, ia membawa-bawa “kutuk” ramalan itu.

Jadi, hati percaya adalah pintu masuk bagi segala kuat kuasa di alam roh ke dalam hidup manusia. Demikianlah kasih karunia keselamatan dari Allah di dalam Yesus Kristus akan masuk secepat kilat ke dalam jiwa seseorang dan orang itu dimeteraikan, ketika orang itu percaya. Sungguh betapa mutlaknya arti percaya itu.

Efesus 1 : 13
Di dalam Dia kamu juga—karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu—didalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu.

Semua orang, ketika dia percaya dan berbalik pada Yesus Kristus, detik itu juga dia sudah beroleh keselamatan. Jangan bimbang untuk menginjili orang-orang sekarat, orang-orang yang sepertinya akan dijemput maut. Mereka akan diselamatkan ketika mereka percaya dan berseru kepada Yesus Kristus, dalam pertobatan yang sungguh.

Roma 10 : 13
Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.

Yesus telah membayar lunas semua dosamu. Semua kelemahanmu. Semua ketidaksempurnaanmu. Semua ketidaklayakanmu di hadapan Allah, Bapa-Nya. Semuanya sudah dibayar lunas, dengan darah yang mahal! Anda telah dikasihi. Anda tinggal menerima saja dengan iman, dengan berseru kepada nama-Nya oleh hati yang hancur, berbalik dari duniamu yang cemar, kepada Dia, Yesus Kristus.

Hai orang-orang Kristen Farisi! Bukankah anda sendiri pada awalnya berdiri di atas pondasi yang benar itu? Ingatlah ketika anda bertobat pertama kali, anda menangis mencucurkan air mata, dan mengucapkan doa pertobatan kepada Yesus Kristus yang telah mati bagimu itu. Tidakkah saat itu anda merasakan damai sejahtera yang luar biasa dari Roh Kudus di dalam dadamu? Tidakkah saat itu anda percaya bahwa anda sekarang sudah selamat? Itulah kasihmu yang mula-mula akan Allah, yang membuat anda pulang dengan begitu sukacita. Lalu mengapa kini setelah anda aktif melayani di gereja, anda malah mempercayai injil yang lain, yang berasal dari atmosfir Taurat? Mengapa anda sekarang menambahkan syarat dengan mengajarkan bahwa orang harus berbuat begini begitu dulu baru bisa beroleh keselamatan itu? Apakah darah Anak Allah Yang Maha Tinggi menurutmu tidak cukup menjadi pembasuh segala dosa manusia? Betapa dalamnya engkau telah jatuh. Kembalilah kepada kasih yang mula-mula itu!


Sola Fide
(Apa Yang Dimaksud Percaya Yesus)

Tapi memang benar, kebanyakan orang kristen di akhir zaman ini tidak sungguh-sungguh percaya kepada Yesus, kegenapan kasih karunia Bapa.

Jika kita masuk ke rumah-rumah orang Kristen, pastilah kita akan melihat hiasan-hiasan dinding berupa gambar Yesus, salib, atau kutipan ayat-ayat emas Alkitab. Semua orang Kristen berdoa kepada Yesus, pergi beribadah, merayakan Natal. Mereka mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan mereka. Ya, mereka percaya bahwa Yesus adalah Tuhan mereka, dan berdoa kepada-Nya. Bahkan banyak yang aktif di gereja, entah sebagai pejabat ataupun pelayan biasa. Tetapi apa yang kami temukan di lapangan adalah sebuah ironi. Ternyata semua itu hanyalah sebuah agama. Mereka memang menyebut Yesus itu Tuhan, Si Penebus Dosa, Juruselamat. Tetapi ketika kami tanyakan: “Kalau begitu, apakah anda sudah percaya bahwa anda sudah selamat?”, hampir seratus persen mereka berkata Tidak yakin, Tidak Tahu, atau Hanya Tuhan Yang Tahu. Alasannya, karena mereka orang berdosa dan masih sedikit sekali melakukan firman. “Mengikuti perintah-perintah Tuhan itu membutuhkan kekuatan besar, sedangkan saya masih lemah dan banyak pergumulan”, ucap mereka. Jiwa mereka dikuasai doktrin agamawi. Sungguh ironis!

Kesalahan fatal ini terjadi karena mereka tidak mendengar berita Injil itu dengan jelas. Mereka tidak memahaminya dengan benar, sehingga di dalam mereka tidak ada iman. Yesus masih sekedar pengetahuan agama bagi mereka, dan itu tentu saja tidak akan membuatnya selamat. Anda tidak mungkin beroleh kasih karunia keselamatan itu jika anda tidak mengimaninya. Dan iman hanya timbul dari pendengaran akan Firman Kristus, yaitu Injil.

Mereka berpikir bahwa mereka akan selamat kalau mereka sudah hidup baik-baik, menjadi orang-orang saleh. Dan menurut mereka, ciri-ciri orang saleh itu selalu rajin ke gereja, tekun beribadah, banyak hafal ayat-ayat Alkitab, aktif dalam aktivitas gereja, potongannya selalu rapi, pandai berdoa, kalau bicara selalu akrab dengan istilah-istilah rohani seperti “syalom, haleluyah, puji Tuhan, gloria,” dan lain sebagainya. Sungguh menyedihkan, ajaran dari atmosfir Taurat atau doktrin Selamat karena Perbuatan ini ternyata didorongkan dari mimbar-mimbar gereja yang mereka ikuti. Itu pertanda bahwa para pemimpin gereja pun ternyata menganut doktrin sesat ini.

Pola “iman” mereka tergambar seperti doa ini: “Tuhan Yesus, mampukanlah aku untuk mengerjakan semua perintah-Mu, supaya aku selamat.” Ia fokus pada perbuatannya sendiri supaya selamat, meski ia berdoa kepada Si Penebus Dosa. Adapun mereka yang telah merasa termasuk kalangan saleh, dengan percaya diri ia merasa bahwa ia sudah layak di hadapan Allah. Inilah agama, roh dari semua agama di dunia ini.  Nyatalah firman yang berkata: banyak yang terpanggil, tapi hanya sedikit yang terpilih.

Di tempat lain, di gereja-gereja yang menamakan diri gereja lahir baru, mereka merasa sudah selamat karena sudah melakukan perintah-perintah Tuhan, karena mereka sudah saleh, mereka sudah tidak merokok, sudah memantangkan alkohol, tak lagi makan darah, sudah dibaptis dengan cara yang benar, sudah membayar perpuluhan, sudah anti musik dunia, sudah tekun dalam segala jadwal ibadah gereja, sudah melayani di gereja, dan lain sebagainya. Mereka tidak bergaul dengan orang Kristen tidak lahir baru, dengan orang yang mengaku Kristen tapi masih merokok, “dengan orang-orang rendahan calon penghuni neraka itu”. Tetapi mereka tidak pernah tahu, bahwa mereka sendiri sama tersesatnya dengan orang-orang Kristen yang merasa berdosa itu –sama-sama berdiri di atas pondasi agamawi-- malah lebih buruk sebab mereka menyimpan kesombongan rohani.

Orang-orang agamawi atau manusia rohani palsu ini berjuang keras meyakinkan Yesus bahwa mereka sudah menaati seluruh firman-Nya. Perjuangan mereka adalah: supaya Allah percaya pada saya, berkenan pada saya, dan menghitung saya layak masuk sorga. Dengan pikiran itu, mereka merasa sedang merendahkan diri di hadapan Allah. Tak mereka sadari, itu justru menghina Yesus Kristus. Mereka tidak sadar bahwa yang tersalib di bukit Golgota itu adalah Allah sendiri, yaitu Allah Yang Maha Tinggi, Pencipta Langit dan Bumi, di dalam daging manusia-Nya.

Galatia 3 : 12
Tapi dasar hukum Taurat bukanlah iman, melainkan siapa yang melakukannya akan hidup karenanya.

Galatia 5 : 4
Kamu lepas dari Kristus jikalau kamu mengharapkan kebenaran dari hukum Taurat (=doktrin selamat karena perbuatan –pen.); kamu hidup di luar kasih karunia.

Jadi, apakah yang dimaksud dengan percaya pada Yesus? Apakah percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, menjadi orang Kristen yang tekun mengerjakan jadwal-jadwal tugas gerejawi, tidak dapat disebut iman? Tentu saja itu bukan iman. Yang disebut iman kepada Yesus adalah percaya akan kasih karunia keselamatan di dalam Dia, yaitu satu-satunya sumber keselamatannya. Jika anda percaya bahwa Yesus telah mengampuni semua dosamu sehingga di dalam Dia, anda sudah selamat, itulah yang disebut percaya kepada Yesus. Yesus datang untuk membawa keselamatan kekal. Yesus itulah keselamatan. Jadi secara pribadi, anda harus percaya pada apa yang TELAH DIKERJAKAN Yesus Kristus, bahwa Ia telah menebus segala dosamu dan telah menyelamatkanmu. Itulah yang disebut iman dalam Yesus!

Galatia 2 : 16a
Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus.


Jadi dengar, manusia hanya akan selamat jika dia percaya Yesus Kristus telah menebus seluruh dosanya dan menyelamatkannya, sehingga oleh iman itu dia memutuskan menyerahkan hidupnya kepada Yesus. Semua itu benar-benar kasih karunia Allah semata, bukan buah dari kesalehan atau perbuatan baiknya. Satu-satunya yang diminta dari kita ialah memutuskan untuk percaya!

Orang yang teguh berdiri di atas pondasi Perjanjian Baru yang benar, yaitu kasih karunia Allah, yang dimeteraikan dengan darah Anak Domba-Nya, beroleh sukacita karena mata roh mereka telah terbuka. Mereka telah mengerti siapa dan sebesar apa arti Yesus bagi hidupnya, dan mereka bersungguh-sugguh berpegangan pada-Nya. Dan orang yang bertekun dalam iman ini, dari hidup mereka akan mengalir buah Roh dengan sendirinya. Sebab mereka sadar, tak ada satupun alasan baginya lagi untuk membanggakan diri dalam hal apapun. Hatinya hanya tertuju kepada Tuhan yang telah rela dibunuh untuknya. Tentang kebaikan atau harga dirinya sendiri, ia melupakannya.

Dan orang seperti itu masih sangat sedikit. Mereka hanya ada beberapa dalam setiap gereja. Sesungguhnya sebagian besar orang Kristen akan tertinggal pada Hari Pengangkatan jemaat Kristus. Betapa pentingnya Injil ini diberitakan sekarang, selagi masih ada waktu tersisa!


Bukan “Supaya”, Tapi “Karena Sudah”

Alangkah menyedihkan, banyak sekali orang Kristen dengan begitu mudahnya mencibir pengajaran kasih karunia Allah. “Murahan sekali kekristenan itu kalau seperti itu,” banyak yang berkomentar begitu. “Saya tidak percaya agama saya semurahan itu! Saya cinta agama saya!”, ujar mereka berapi-api. Berhubung dewasa ini ada pula yang dinamai Hyper Grace, dengan lekas penganut-penganut agama Kristen ini menyebut setiap pengajaran kasih karunia Allah pastilah Hyper Grace. Bagi mereka, agama Kristen itu adalah keteraturan, peraturan-peraturan rohani untuk dijalankan. Ada liturgi-liturgi yang harus dipatuhi, ada lambang-lambang, ada gelar-gelar, ada prosedur-prosedur, ada birokrasi yang harus diikuti, ada hirarki-hirarki di dalam jemaat, ada yang menduduki posisi imam, dan jemaat-jemaat wajib tunduk pada imam-imam itu, Pendeta.

Semua orang wajib tunduk pada seluruh tatanan keteraturan itu, bertekun di dalamnya, taat memenuhi kewajiban sebagai jemaat termasuk membayar perpuluhan atau iuran, aktif menghadiri seluruh acara yang telah disusun gereja, dan lain sebagainya, barulah mereka layak disebut sebagai orang-orang yang akan memperoleh keselamatan dari Yesus. Meski mereka menyebut-nyebut kasih karunia di lidahnya, tetapi dalam tindakan, mereka mengingkarinya, sebab dasar rohani mereka tetap saja: “Kita ini orang yang sedang bertekun untuk meraih hadiah keselamatan”. 

Secara rohani, mereka mengimani bahwa mereka sama seperti bangsa Israel yang sedang dalam perjalanan menuju “Tanah Perjanjian”, dibawah pimpinan Musa. Jadi di dalam roh masing-masing, mereka mempromosikan pendeta mereka sebagai sosok Musa. Anda tahu, Musa adalah sosok perantara di antara Allah dan umat Israel.

Adapun ajaran-ajaran yang diperdengarkan kepada jemaat, baik di mimbar-mimbar Minggu maupun di persekutuan-persekutuan lingkungan adalah berpola seperti ini: “Taatilah firman supaya Allah berkenan kepadamu.”

Dari jalur ini, ajaran kesuksesan atau kemakmuran begitu mendapat lahan subur. Sangat lazim pengkhotbah akan memulai khotbahnya dengan tantangan menggoda: “Siapa yang mau diberkati melimpah, angkat tangan!” Semua jemaat tentu akan angkat tangan. Rangkaian selanjutnya adalah apa-apa yang harus dilakukan jemaat SUPAYA mereka benar-benar diberkati melimpah ruah. “Siapa menabur sedikit akan memetik sedikit! Tabur lebih banyak, supaya anda mendapat lebih banyak! Berikan yang terbaik! Supaya anda diberikan berlipat kali ganda! Tiga puluh, enam puluh, seratus kali ganda!”

Ketika ada jemaat yang konseling, menceritakan segala kesusahan hidupnya, jurus SUPAYA ini kembali dipakai. “Layanilah Tuhan, supaya Ia memberkatimu, menolongmu, memulihkanmu.”

Kasihilah Allah supaya Ia mengasihimu; hiduplah kudus supaya Ia berkenan kepadamu; bertobatlah supaya Ia mengampunimu; lakukanlah firman supaya Ia menyukaimu, supaya kamu layak di hadapan-Nya; berkatilah orang supaya engkau diberkati-Nya. Supaya, supaya, supaya!

Inilah dasar kerohanian mayoritas umat Kristen, baik di gereja-gereja lama, maupun di aliran-aliran yang mengaku lahir baru, baik di kalangan umum Lutheran, maupun di mayoritas Pentakosta-Karismatik. Semua mapan dalam pondasi agamawi ini. Inilah agama itu, agama Kristen. Dan memang, semua agama termasuk Islam, seperti ini: upaya manusia mencari perkenanan Allah.

Betapa dalamnya kita semua telah jatuh! Meski kita tampak saleh, kita hanyalah Jemaat Efesus!

Apa yang membuat kita jatuh adalah ketidakhati-hatian kita saat mempelajari Perjanjian Lama. Memang ketika kita mempelajari Perjanjian Lama, kita menemukan semuanya berpola seperti itu. Di lain pihak, kita sedikit sekali memikirkan Yesus. Kita kurang mengenali Dia.

Tidakkah anda tahu? Seluruh Perjanjian Lama berbicara tentang Yesus! Yesus adalah kegenapan dari segala pengharapan dan nubuatan yang ada di dalamnya. Di dalam Dia, Allah telah membaharui perjanjian-Nya, sehingga kita benar-benar, sesungguh-sungguhnya, tidak lagi hidup di dalam tuntunan Taurat itu, atau di dalam atmosfirnya, di dalam polanya.

Galatia 3 : 23-35
Sebelum iman itu datang kita berada di bawah pengawalan hukum Taurat, dan dikurung sampai iman itu telah dinyatakan. Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman. Sekarang iman itu telah datang, karena itu kita tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun.

Anda tidak boleh lupa sedikitpun bahwa Yesus bukanlah nabi. Ia adalah Allah Pencipta itu sendiri! Dialah itu AKULAH AKU, Yahweh, Yehowah, YHWH! Jadi tidak ada pekerjaan yang lebih besar dilakukan Allah lebih dari apa yang dilakukan-Nya di kayu salib. Peristiwa di Bukit Golgota, itulah KARYA TERBESAR yang telah dilakukan Allah Yang Maha Tinggi. Allah menciptakan segala sesuatu memang karya yang sangat besar. Tapi Allah rela datang dalam rupa ciptaan-Nya sendiri bahkan rela mati dibunuh dengan cara begitu hina bagi mereka, ini adalah hal yang sangat-sangat ajaib! Seajaib-ajaibnya!!! 
Alangkah besarnya kasih Allah! Begitu besarnya! Sebesar-besarnya!

Bagaimana kita dapat menganggap Injil (Kabar Baik) yang maha dasyat ini sebagai hanya salah satu dari topik khotbah kita? Lihatlah, akibatnya kita menganggap ringan salib Golgota itu --tidak sebesar yang seharusnya yaitu sebesar-besarnya-- lalu menyeret jemaat masuk ke dalam roh-roh agama yang ditiupkan kerajaan iblis. Iblislah yang bekerja siang dan malam mencuri pemahaman kita akan kasih karunia Allah. Iblis meniupkan ke dalam gereja kita konsep-konsepan, wibawa-wibawaan, lalu akhirnya kita semua kaget pada Hari Terakhir, ketika kita menemukan diri kita ditolak, sebagai Lima Gadis Bodoh. Bangunlah! Bukalah matamu hai gereja Tuhan!

Di dalam Yesus Kristus, kita telah memperoleh semua yang dijanjikan Allah! Anda tahu bahwa ada janji-janji Allah kepada Abraham, Ishak dan Yakub. Anda tidak perlu menagih-nagih semua itu lagi kepada Allah. Semua itu telah Ia curahkan di dalam Yesus. Cukup anda percaya penuh pada kasih karunia Yesus, maka anda telah mendapatkan semuanya.

Jadi di dalam iman akan Kristus, kita mengasihi Tuhan bukan supaya kita dikasihi-Nya, tapi karena kita sudah dikasihi-Nya. Kita menjadi pelaku firman, bukan lagi supaya kita selamat, tapi karena kita sudah selamat. Kita hidup kudus bukan lagi supaya kita menjadi kudus, tapi karena kita sudah dikuduskan. Kita memberkati orang lain bukan supaya kita diberkati lagi, tapi karena kita sudah diberkati. Dan bahkan kita bertobat dari segala dosa bukan supaya kita diampuni, tapi karena kita sudah diampuni!

Kita melakukan semuanya untuk Tuhan bukan supaya kita menjadi anak-anak Allah, tapi karena kita telah menjadi anak-anak Allah. Status anak Allah itu kita peroleh lebih dulu sebagai kasih karunia oleh iman, lalu kita menghasilkan buah yang seturut dengan status kita itu.

Garis bawahilah itu, sebab di akhir zaman ini, banyak pengajar yang melenceng dalam menjelaskan Yohanes 1:12 yang berkata: Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya. Menurut mereka, dengan iman dalam Yesus, kita belum menjadi anak Allah tetapi hanya memperoleh modal. Jadi kuasa supaya menjadi anak-anak Allah dalam ayat itu ditafsirkan hanya modal untuk bisa kita pergunakan supaya kita berhasil menjadi anak-anak Allah. Dengan kata lain, menjadi anak Allah tetaplah hasil kegigihan kita juga. Tafsiran itu sangat berbahaya, sebab jelas sekali menentang ajaran kasih karunia Allah yang diajarkan rasul-rasul, termasuk dengan ayat di bawah ini:

Galatia 3 : 26
Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus.

Lebih jauh lagi, dalam terjemahan King James Version maupun New KJV, Yohanes 1 : 12 tidak terdapat kata “supaya”, melainkan justru tersirat “otomatis menjadi anak-anak Allah”. New KJV menulis:
But as many as received Him, to them He gave the right to become children of God, to those who believe in His name.

Tertulis disitu He gave, bukan He gives. He gave artinya Dia telah memberi. Dia sudah menyediakan lebih dulu status itu. Jadi anda otomatis menjadi anak-anak Allah ketika anda menerima dan percaya kepada Yesus. KJV dan New KJV selaras dengan Galatia 3 : 26 di atas.

Jadi iman bukanlah modal untuk bisa anda pakai supaya berhasil menjadi anak Allah, melainkan oleh iman itu, anda memang telah menjadi anak Allah. Tetapi anda sudah tahu bahwa iman bukanlah sekedar percaya bahwa Yesus itu Tuhan yang asli, tetapi percaya bahwa di dalam Dia, anda sudah diselamatkan.

Saya ingin kembali mengingatkan anda, bahwa Allah tidak punya cara lain untuk mengampuni dosa manusia, kecuali melalui satu cara saja: kematian Yesus di kayu salib. Jangan kira karena anda minta-minta ampun maka Allah mengampunimu. Bukan, bukan, bukan. Supaya anda jangan berpikir bahwa pengampunan-Nya itu adalah hasil lobimu, hasil pendekatanmu kepada-Nya. Anda beroleh pengampunan itu karena anda memang telah diampuni lebih dulu!

Kapan Yesus mati untuk mengampuni segala dosa manusia termasuk segala dosamu? Dua ribu tahun lalu. Kapan anda lahir, atau kapan anda jatuh dalam dosa? Paling lama hanya puluhan tahun lalu saja. Anda tahu artinya itu? Artinya ialah: anda bahkan sudah diampuni jauuuuuuuh sebelum anda lahir. Jadi pertobatan bukan lagi untuk memohon pengampunan dari Allah seperti di Perjanjian Lama, tetapi dalam rangka menerima pengampunan yang telah lebih dulu Ia berikan itu. Hanya tentu, jika anda tidak mau bertobat, artinya anda tidak mau menerima ampunan-Nya itu.

Jadi penyangkalan akan kasih karunia dan menuduhnya murahan dengan alasan bodoh semacam: “Oh, jadi kalau saya sudah terima Yesus, saya bebas dong berzinah, karena saya sudah diampuni!”, adalah pikiran dari iblis yang hanya akan membuahkan kebinasaan. Jangan terima pikiran itu. Itu bagian dari propaganda iblis untuk menutup hatimu dari pemahaman kasih karunia Allah. Jelas sekali jawabannya tidak boleh. Sebab jika anda berzinah, berarti Yesus tidak ada di dalam anda. Tetapi barangsiapa ditinggali oleh Roh Yesus, dia akan dibawa ke dalam hubungan yang intim dengan Diri-Nya. Kasih yang lemah lembut serta takut akan Tuhan akan memenuhi hatinya. Dan kalaupun suatu hari dia tersandung karena kelemahan, dia haruslah bertobat dari dosa itu, meninggalkannya, berbalik lagi kepada Yesus yang telah mengampuninya.


Tentang Menghasilkan Buah Roh

Sekarang kita akan singkapkan juga pemahaman yang salah dari banyak gereja di Indonesia mengenai buah Roh. Kesalahan itu lagi-lagi berasal dari akar ajaran yang salah, yakni akar agamawi. Sekali lagi saya nyatakan bahwa ini bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk menyingkapkan tangan-tangan iblis, musuh kita itu, yang selama ini terus menerus membodohi untuk mencoba mengambil alih gereja-gereja kita. Jadi penyingkapan ini akan menjadi berkat bagi kita sekalian, supaya kita mengenali kembali ajaran Tuhan kita yang sesungguhnya.

Setelah kita belajar banyak tentang kasih karunia, dan menyadari bahwa ternyata semua hanya karena anugerah-Nya, tentu ada juga pertanyaan, misalnya: “Bagaimana kalau saya tidak mengasihi padahal saya sudah dikasihi-Nya lebih dulu?”  Jawabannya tentu: “Berarti anda ranting yang tidak berbuah.”

Kita tahu, di mata Tuhan, betapa mutlaknya menghasilkan buah itu, yakni yang kita kenal sebagai buah Roh. Khotbah di Atas Bukit di Matius 5 - 7 seperti yang telah kita ulas, sepenuhnya berbicara tentang buah Roh. Dan kita sudah tahu bahwa mereka yang tidak menghasilkan buah itu akan ditolak-Nya. Demikian pentingnya menghasilkan buah Roh, sehingga topik ini berulang-ulang diserukan di gereja.

Namun diakui atau tidak, banyak sekali pendeta yang merasa putus asa dan tak tahu lagi bagaimana harus menggembalakan jemaat supaya menghasilkan buah Roh. Segala macam pendekatan sudah dilakukan. Di banyak kesempatan, kita sudah mengenyangkan hati jemaat dengan segala janji akan berkat melimpah dari Tuhan; di suatu waktu kita mengubah polanya dengan menghardik kebebalan hati mereka; membuat slogan-slogan tentang berbuah, dan lain sebagainya. Semata-mata maksud kita supaya mereka menghasilkan buah Roh. Ironisnya, kita tetap saja menemukan jemaat suka bertengkar satu sama lain, saling menipu atau memanfaatkan, watak mereka tidak disukai para tetangga di luar sana, keras, fanatik, angkuh, munafik, dan lain sebagainya. Oleh semua itu, ada kalanya kita mengeluh kelelahan di hadapan Tuhan:“Sudah belasan tahun mereka jadi pelayan di gereja ini, tapi tabiatnya begitu-begitu saja, sama sekali tidak memancarkan buah Roh,” bisik kita.

Dengarlah, kesalahan sebenarnya bukan pada jemaat, melainkan pada pondasi yang kita anut. Pondasi ajaran-ajaran kita belum sepenuhnya Injil yang murni, melainkan masih soal berkat di bumi, atau yang lain. Hanya sesekali saja kita bicara tentang Injil, kemudian di kebanyakan hari, kita jatuh lagi ke dalam atmosfir selamat oleh perbuatan. Bagaimanapun, kita tidak dapat membuat jemaat menghasilkan buah Roh dengan berteriak-teriak ke telinga mereka: “Hasilkan buah Roh!” Sama sekali tidak dapat.

Pertama-tama, fokus ajarannya haruslah dikembalikan sepenuhnya kepada Injil Kristus. Ini tidak boleh dijadikan hanya salah satu tema khotbah, melainkan harus menjadi sentral SETIAP khotbah. Sebab inilah Perjanjian Baru Allah, yakni Injil Keselamatan.

Buah Roh itu adalah buah Injil, yang berasal dari Roh Kudus; itu bukan dihasilkan manusia. Maka buah Roh itu hanya akan memancar keluar jika si jemaat berakar kuat di dalam Injil. Maksudnya, dia harus terus menerus menyadari bahwa dia telah selamat semata-mata hanya karena pengorbanan Yesus Kristus saja, sedangkan dia –bagaimanapun besarnya di bumi ini—  tak lebih dari sampah yang mestinya dibuang ke dalam api, kalau bukan karena kasih Tuhan yang dinyatakan di Golgota.

Ringkasnya, buah Roh bukan berasal dari manusia. Buah Roh adalah kepribadian Yesus. Jika anda bertemu muka dengan Tuhan, anda akan merasakan seluruh buah Roh dari pancaran pribadi-Nya. Anda akan merasakan pancaran kasih, kedamaian, kerendahan hati, kelemahlembutan, sukacita, kebaikan, kesabaran, dan sebagainya. Jadi buah Roh itu adalah kepribadian Yesus sendiri.

Sekarang, oleh kelahiran baru, pribadi Yesus itu telah masuk dan tinggal di dalam kita semua. Bagaimana caranya agar pribadi Yesus itu tetap memancar keluar dan dirasakan oleh orang-orang yang bertemu dengan kita? Hanya ketika kita berfokus kepada Injil Yesus, dimana kita –oleh pemahaman Injil itu-- membuang segala mahkota kebanggaan diri (ego), meruntuhkan segala wibawa dan perasaan telah menjadi seseorang dalam gereja atau di masyarakat. Saat tembok wibawa dan harga diri ini menutupi hati kita, maka kepribadian Yesus tidak bisa memancar keluar dengan bebas. Sebaliknya, ketika tembok diri ini runtuh, pribadi-Nyaa itu pun memancar keluar tanpa penghalang lagi. Ini dia.

Jadi jika anda dan  jemaat anda berakar dalam kesadaran ini, dan rela menyangkal diri terus menerus, maka dalam hitungan beberapa waktu saja, anda akan menemukan jemaat yang anda bimbing memancarkan buah Roh yang melimpah-limpah: kasih, kerendahan hati, kelemahlembutan, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kesetiaan pada Tuhan, kemurahan hati, kebaikan hati, penguasaan diri, belas kasihan, cinta yang meluap-luap akan Yesus Kristus, serta keterpanggilan mengerjakan Amanat Agung: pekabaran Injil.

Terapkanlah kebenaran ini dalam mengajar jemaat, sehingga mulai sekarang anda tidak lagi meneriaki mereka: “Hasilkan buah Roh!!!”, melainkan: “Izinkan buah Roh memancar dengan meruntuhkan tembok diri anda.” Caranya, anda terus menerus mengingatkan mereka tentang Injil, dan apa yang terjadi pada kita semua andai Yesus tidak pernah mau disalibkan.


Rahasia Surat Para Rasul
Saudara,
Sekarang saya akan bagikan kepada anda sebuah rahasia besar yang disingkapkan Roh Kudus. Suatu rahasia yang perlu anda ketahui dari surat-surat para rasul kepada jemaat-jemaat.

Perhatikanlah, mereka menulis di atas kesadaran bahwa jemaat-jemaat itu adalah anak-anak Allah. Para rasul tahu bahwa ada banyak kelemahan, kekurangan dan ketidakbenaran di dalam jemaat, dan itulah salah satu tujuan mereka menulis surat, yaitu untuk menyadarkan mereka. Tetapi perhatikan, seburuk apapun jemaat yang mereka tulisi itu, para rasul tidak menulisnya dengan nada seolah-olah mereka belum menjadi anak-anak Allah.

Dari semua surat Rasul Paulus, kita tahu ada beberapa jemaat yang sangat dicelanya, misalnya Jemaat Korintus dan Galatia. Jemaat Korintus dicela karena ada perselisihan di dalamnya, juga percabulan yang bahkan sangat memalukan. Sebaliknya, jemaat Galatia terperosok ke dalam jurang legalisme: mengejar keselamatan lewat perbuatan. Jemaat Korintus ini seperti mewakili gereja-gereja zaman kita yang duniawi dan jauh dari kekudusan, sedangkan Jemaat Galatia ini seperti mewakili gereja-gereja yang saleh dan kudus tapi dalam atmosfir Taurat atau Doktrin Perbuatan.

Paulus menegur dosa jemaat-jemaat tersebut. Tetapi perhatikanlah, ia tidak keluar dari pondasi yang benar. Masih saja ia berkata kepada jemaat Korintus:

I Korintus 1 : 30
Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita.

Padahal jemaat Korintus ini masih belum sempurna, masih banyak yang harus diperbaiki!

Dan  kepada jemaat Galatia yang tengah tersesat, lagi galau oleh rupa-rupa ajaran ‘injil’ perbuatan, ia masih saja berkata:

Galatia 3 : 26
Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus.

Perhatikanlah, surat-surat Paulus tidak beralur seperti ini: “Kamu harus bekerja keras untuk hidup menuruti seluruh perintah Allah, barulah setelah itu kamu menjadi anak-anak Allah.” Sekalipun ini terlihat mengajarkan kekudusan, ketaatan dan ketundukan penuh, tetapi pondasinya sesat, jiwa agamawi, atmosfir Taurat. Rasul Paulus justru meneguhkan iman jemaat, supaya mereka jangan lagi larut dalam rupa-rupa kesesatan.

Ironisnya, para pendeta dan pengajar di gereja-gereja kita di akhir zaman ini kerap sekali memakai jurus “doktrin perbuatan” ini dalam mengajar jemaat, dan  tanpa mereka sadari, apa yang mereka hasilkan ialah  keruntuhan iman jemaat. Jurus ini berupa pertanyaan intimidatif. Misalnya begini: 
“Tuhan berkata bahwa kita harus memberi kepada orang yang berkekurangan. Coba jawab, apakah kamu sudah menaati dengan sempurna firman ini?”


Pernyataan semacam ini memang sepintas terlihat pro perintah Tuhan, terlihat saleh, tapi sesungguhnya adalah intimidasi terhadap iman. Mana ada yang akan berani berkata: “Sudah”.  Masing-masing mereka akan teringat kesalahannya pada si A atau si B soal itu. Jadi seluruh jemaat tentu akan tertunduk. Sebab ada ekor dari pertanyaan tadi di dalam alam renung masing-masing, yaitu dakwaan kepada diri sendiri: “Ah, rupanya aku belum menyenangkan hati Tuhan. Bagaimana aku merasa diriku sudah selamat? Ah, Tuhan…tolonglah aku supaya aku bisa selamat…berikan aku kekuatan untuk mengerjakan perintah-perintahMu..” Imannya yang masih kecil akan keselamatan di dalam Yesus seketika runtuh. Ia mulai “menyadari” bahwa ia masih sangat memalukan di hadapan Tuhan, dan mulai terperosok ke dalam racun doktrin perbuatan, yang membuatnya benar-benar tercerabut dari kasih karunia.


Saudara, ada berapa banyak pendeta atau pengajar yang seperti itu? Mereka berkhotbah kemana-mana, untuk mengatakan: “Alkitab berkata bahwa kita harus mempersembahkan yang terbaik pada Tuhan! Apa kamu sudah melakukannya? Apakah recehan harga lima ribu perak itu memang pecahan yang terbaik di dompetmu? Padahal disitu ada pecahan seratus ribu? Bagaimana kamu merasa sudah anak Tuhan?”


“Allah menyuruh kita mengunjungi anak-anak yatim dan janda-janda miskin. Apa kamu sudah melakukannya? Hebat sekali kamu merasa sudah selamat!”  


Kita pikir suara-suara semacam itu berasal dari Tuhan. Padahal dampak dari suara-suara itu adalah lahirnya perasaan tertuduh, lenyapnya iman–berganti kepala yang tertunduk. Bukankah Injil itu pohon yang baik? Buah Injil itu sesungguhnya adalah perasaan merdeka, kelegaan, sukacita, rasa syukur, iman yang makin teguh, penyangkalan diri. Oleh karena itu, suara-suara tadi jelaslah berbeda dengan Injil.


Selidikilah surat-surat para rasul, apakah ada di antara mereka yang menulis dengan pola mengintimidasi iman semacam itu?


Anda akan menemukan alur surat-surat Paulus dan rasul lainnya adalah seperti ini: “Kamu ini adalah anak-anak Allah karena kasih karunia di dalam Yesus Kristus yang telah kamu terima oleh iman. Kamu telah ditebus, telah diampuni, telah diselamatkan. Keluarlah dari cara hidup yang cemar dan mengejar dunia, supaya kamu tidak dibinasakan olehnya, melainkan hiduplah di dalam kasih akan Dia yang membuahkan damai sejahtera, sukacita serta ketaatan pada firman-Nya. Jadi mari kita memberi, mari mengasihi, mari mengunjungi anak-anak yatim, supaya mereka juga mempermuliakan Bapa kita.”


Rasul-rasul ini mengingatkan pembaca bahwa mereka adalah anak-anak Allah yang telah ditebus dari kematian kekal. Mereka mengingatkan supaya kita hati-hati terhadap segala tipu daya musuh.

Jadi Paulus dan para rasul lainnya mengajarkan ketaatan dan mendorong perbuatan mulia, setelah lebih dulu menyadarkan kita bahwa kita benar anak-anak Allah. Ibaratnya, mereka mengingatkan: “Kamu ini benar-benar Pak Lurah! Kamu sudah diangkat oleh Bupati! Ada SK-nya! Mengapa kamu berperilaku seolah-olah kamu ini staf honorer..?” Come on! Buka matamu, kawan-kawanku para pendeta dan para pengajar!

Setiap khotbah kita kepada orang-orang percaya, dimana aroma khotbah tersebut seperti memperlakukan jemaat belum lagi orang yang sudah selamat dan dikenan Tuhan meski mereka telah percaya akan kasih karunia Yesus, melainkan terkesan masih kita anggap sebagai orang-orang yang masih harus berjuang meraih keselamatan, maka sekalipun nats khotbah tersebut  kita ambil dari Injil atau surat-surat para rasul, sekalipun tujuan khotbah kita itu adalah ajakan untuk hidup kudus dan menjadi pelaku firman, sesungguhnya ajaran kita itu berdiri di dalam atmosfir Taurat.

Kita diajar hidup kudus dan menghasilkan buah Roh, bukanlah supaya kita berpikir bahwa kita selamat karenanya, tapi supaya terlihat jelas kepada semua orang bahwa kita sungguh-sungguh hidup di dalam kasih Kristus itu. Kita tidak sedang dikejar-kejar target untuk memenuhi persyaratan. Ibarat sedang duduk di sebuah kursi, perjuangan kita hanyalah untuk tetap bertahan duduk di kursi itu, menghalau segala godaan di pikiran kita untuk beranjak ke sudut sana.

Jika kasih Bapa memenuhi hati anda, dari hati anda pasti tidak mungkin muncul motif-motif dosa. Kasih Bapa itu mendorong orang untuk setia kepada-Nya. Kasih Bapa itu kudus, darah Yesus menguduskan.

Inilah yang dikerjakan iblis selama ribuan tahun terhadap gereja Kristus. Ia mengintimidasi jemaat supaya mereka tidak percaya bahwa mereka adalah anak-anak Allah di dalam Kristus, melainkan orang-orang yang masih harus berjuang untuk memperoleh keselamatan. Siapa yang roh-roh pencuri iman ini pakai untuk menebar intimidasi itu? Orang-orang yang berdiri di mimbar: Pengkhotbah! Apakah anda salah satu orangnya? Bertobatlah, saudaraku! Sekarang saatnya kita bangkit menghalau segala tipuan si jahat dari gereja kita!

Memang sebagian gereja tetap menyebut jemaat adalah anak-anak Allah. Tetapi lemah, terlalu sedikit porsinya, sehingga status sebagai anak-anak Allah barulah sebuah pengetahuan teologis dan belum menjadi sebuah kesadaran yang masuk ke dalam hati. Ada ratusan tema yang kita khotbahkan, dan kasih karunia ini, hanyalah salah satu satu dari tema itu. Bahkan tema ini di mulut kita tidak lebih penting dari tema perpuluhan! Kita mengkhotbahkan perpuluhan dan Hukum Berkat seribu kali, tapi mengajarkan Injil kasih karunia kepada jemaat hanya satu kali, atau malah tidak pernah. Padahal oh padahal, inilah pondasi Perjanjian Baru Allah kita!

Coba perhatikan Alkitab, pernahkan anda membaca ada ayat dalam surat-surat para rasul yang menyebutkan bahwa anda belum selamat di dalam Yesus? Bahkan ketika para rasul itu menegur dosa kita, yang mereka maksudkan ialah supaya kita bangkit dari kebodohan oleh dosa itu. “Itu tidak pantas bagimu, karena kamu ini anaknya Allah Yang Maha Tinggi”, begitu kira-kira atmosfir teguran mereka.

Mengapa zaman sekarang banyak pendeta yang terkurung dalam atmosfir Taurat? Karena mereka sendiri buta!

Sungguh hari ini, ada begitu banyak anak-anak Allah yang masih buta akan kebenaran ini. Jumlahnya sangat mengkuatirkan. Sangat sedikit orang yang memahami Injil Allah, sangat sedikit yang berdiri di atas batu karang ini. Padahal waktu sudah semakin menipis! Mari bangkit, saudara! Mari kembali secara total ke dalam Injil Tuhan kita!





5.       KLERIKALISME DAN “TEOKRASI”


Saudaraku kekasih dalam Yesus Kristus,


Salah satu aspek yang paling dikehendaki Tuhan untuk berubah ialah organisasi gereja kita. Sebab, begitu banyaknya jemaat Kristen di dunia ini, lebih-lebih di Indonesia, yang berjalan tidak di atas pondasi Injil Kasih Karunia. Anda harus tahu, begitu Roh Injil, yaitu Roh Yesus, tak lagi berkuasa penuh di dalam kumpulan gereja, maka roh agama akan menguat dan mengambil alih tempat itu.


Lewat banyak orang yang Tuhan izinkan mendapat penglihatan mengenai sorga atau neraka, ada satu hal yang sangat-sangat mengejutkan yang diperlihatkan Tuhan: begitu banyaknya pendeta atau gembala sidang berakhir di neraka, bahkan termasuk itu pendeta-pendeta besar dan terkenal. Ada begitu banyak kesaksian yang telah dipublikasikan, dan kesaksian-kesaksian itu tentunya bisa anda peroleh cukup mudah. Di bawah ini kita akan mengutip dua saja: 


Kesaksian Carmelo Brenes yang diizinkan melihat neraka, diterbitkan di situs terkenal www.spiritlessons.com:
“Aku bahkan
melihat pendeta-pendeta, penginjil-penginjil, orang-orang percaya dan para misionaris. Mereka semua ada disana (neraka) untuk alasan yang berbeda.”


Kesaksian Elisabeth Widyawati Herman dari Semarang, yang telah keliling Indonesia menyampaikan kesaksiannya, dan yang banyak dipublikasikan di internet:
“Aku melihat sel-sel lainnya sama seperti itu, isinya ada pria dan wanita. Di tiap sel ada satu orang disiksa oleh 5 iblis. Saat aku menyusuri lorong dan memperhatikan orang-orang di dalamnya, ada gambaran besar muncul di hadapanku. Ada seorang Penginjil yang sangat hebat urapannya, bisa menyembuhkan orang, tetapi setelah itu tanpa sepengetahuan orang lain ia pergi ke tempat pelacuran. Ada juga hamba Tuhan yang menyiksa istrinya, mencuri uang persembahan gereja, sombong membanggakan dirinya, nonton film porno, punya istri atau suami simpanan, atau selingkuh. Selain penginjil ada juga worship leader, singer, pelayan mimbar, diaken, pemain musik gereja baik pria maupun wanita, semua terlihat di gambar tersebut.” 

Mengapa hal mengerikan itu terjadi? Jelas karena ada yang salah. Kita tidak boleh lupa, bahwa satu dosa saja ada pada siapapun termasuk kita, dia akan berakhir di neraka. Tak peduli setinggi apa kedudukannya di dalam sinode gereja. Sementara itu organisasi gerejal lokal kita dimana-mana dibangun di atas pondasinya yang salah, seperti yang kita bahas pada bab-bab sebelumnya.


Ada begitu banyak kerusakan di dalam gereja, -sehingga hampir seluruh organisasi gereja itu tercela di mata Allah seperti tergambar di Kitab Wahyu -, yaitu masuk dan bekerjanya kekuasaan-kekuasaan serta wibawa manusia. Ada atmosfir agama di dalam khotbah-khotbah, di dalam pola kerja struktur, memperlakukan gereja sebagai perusahaan keluarga sang pendeta, dimana keluarga ini menjadi owner atau “pemilik saham”, sehingga segala “pemasukan” pun dianggap sebagai miliknya; belum lagi ajaran-ajaran yang salah. 


Ini tidak boleh ada. Ini akan mengantar setiap pendeta berakhir di neraka, sebab sekali lagi, kita semua haruslah ditemukan sempurna tanpa cacat cela. 


Tulisan ini tidak dimaksud untuk menertawakan gereja atau para pendeta, tetapi untuk membuka mata kita bersama sehingga kita bisa melihat cakar-cakar iblis yang selama ini telah bekerja secara rahasia di gereja kita tanpa kita sadari. Setelah mata kita terbuka, maka kita tentu akan menghalau keluar roh-roh penipuan itu dan kembali kepada Injil Tuhan kita yang menyelamatkan.


Setiap pendeta harus kembali ke pondasi dasar, yaitu Injil, bahwa ia layak di mata Tuhan bukan karena ia telah menjadi Hamba Tuhan, atau karena apa yang telah ia kerjakan atau capai –supaya ia sedikitpun, sedikitpun,  tidak merasa berjasa di hadapan Allah Yang Maha Tinggi-, melainkan karena belas kasihan Allah kepadanya, sama kepada yang lain. Mata kita harus senantiasa tertuju kepada Tuhan, Dia yang telah mati untuk segala dosa kita.


Wibawa yang bekerja di dalam gereja haruslah wibawa Bapa semata-mata. Semua orang harus tunduk hormat kepada wibawa Bapa itu. Para pendeta atau siapapun kita yang disebut gembala sidang, harus mengarahkan jemaat kepada wibawa Bapa itu, kepada kasih-Nya. Kita harus menunjuk kepada Bapa, bukan kepada diri kita. Kita tidak boleh berpikir bahwa wibawa Bapa itu bekerja di dalam diri kita sehingga diri kitalah perwujudan dari wibawa Bapa. Inilah kesalahan fatal itu. Yang benar ialah, kita harus berkata: “Disini ada hadirat Bapa kita” Jadi, kita sendiri harus menghitung diri kita sama dengan jemaat, tidak boleh beda, dan kita sendiri haruslah orang pertama yang tunduk kepada wibawa Bapa itu, supaya nyata bahwa kita hanyalah hamba, yang menjadi contoh bagi jemaat lainnya.


Dalam Kisah Para Rasul 5, ada kisah Ananias dan isterinya Safira. Keduanya mati setelah Petrus,   --oleh urapan Roh--, menelanjangi dusta mereka. Jika peristiwa itu terjadi di depan mata jemaat yang hatinya masih ada akar agamawi, pasti akan gemetar kepada wibawa Petrus dan menganggapnya perwujudan dari wibawa Allah. Selepas peristiwa itu, kita pasti sangat kikuk kepada Petrus. Tapi renungkanlah apa yang Petrus katakan: “Mengapa kamu berdua bersepakat untuk mencobai Roh Tuhan?” Petrus tidak berkata: “Mengapa kamu berdusta kepadaku? Apa kamu tidak sadar bahwa saya ini Hamba Tuhan?” Petrus menunjuk kepada Roh Bapa yang HADIR DISITU, bukan kepada wibawanya sebagai perwakilan Tuhan. Jadi, Petrus sendiri menghitung dirinya sama dengan jemaat, yang sama-sama tidak boleh mencobai Tuhan.


Paham agamawi yang paling kuat menyeret organisasi gereja-gereja lokal di Indonesia keluar dari naungan kasih karunia Tuhan ialah paham yang saya sebut “Klerikalisme.” Saya tidak tahu apa gejala ini dinamai orang lain, itulah sebabnya saya sebut saja klerikalisme, atau bisa juga kita sebut formalisme. Klerikalisme berasal dari kata klerikal, yang artinya kaum pendeta.


Definisi klerikalisme yang saya maksud ialah paham yang menganggap pimpinan resmi/formal gereja, atau orang-orang yang bergelar pendeta, ialah WAKIL TUHAN bagi jemaat. Intisari roh klerikalisme ini adalah “Apa kata pendeta, itulah yang dari Tuhan”. Sebagai efek sampingnya, jika ada perbedaan pendapat antara pendeta dengan jemaat, maka yang dianggap bersalah pastilah si jemaat, karena “sesungguhnya” telah menentang Tuhan sendiri, yang berbicara melalui pendeta.


Kalaupun terbukti si pendeta yang salah, segera juga akan keluar pernyataan semacam ini: “Paling tidak kamu harus tunjukkan rasa seganmu kepada saya sebagai Hamba Tuhan!”. Pernyataan ini sama persis dengan perkataan Raja Saul ketika kesalahannya ditegur Samuel di depan jemaat Israel, untuk melindungi wibawanya. 


1 Samuel 15 : 30a
Tetapi kata Saul: “Aku telah berdosa; tetapi tunjukkanlah juga hormatmu kepadaku sekarang di depan para tua-tua bangsaku dan di depan orang Israel.”

Membangun wibawa atau harga diri pendeta adalah apa yang akan membuat kita –para pendeta--  terlempar pada akhirnya ke dalam maut karena satu dosa saja, meninggikan diri. Sebab wibawa manusia adalah musuh besar Injil, karena Injil sendiri mendorong penyangkalan dan peruntuhan diri terus menerus.

Jadi klerikalisme ini sama sekali tidak memiliki landasan dalam Alkitab –kecuali penafsiran teologis semata-, dan sepertinya berakar pada ajaran feodalisme mistik Timur yang masuk ke dalam gereja melalui warisan budaya, sejak terbenamnya gereja ke dalam semangat strukturalisme yang agamawi. Kita tahu, dalam segala kebudayaan, ada pihak-pihak yang wibawanya disakralkan, yaitu para raja dan imam. Di dalam budaya Batak misalnya ada posisi Hulahula, yang wibawanya disakralkan. Dalam budaya India, ada golongan Brahmana, yang wibawanya juga disakralkan. Doktrin relijius sekuler ini terdapat di segala bangsa. Sebab ia bersumber dari jiwa manusia yang pada dasarnya memang haus akan penghormatan.

Maafkan saya bila kutipan sejarah berikut ini kurang lengkap betul. 
Tentu ada peristiwa-peristiwa pendahuluan yang memulai, tapi peristiwa terbesar yang memicu mewabahnya semangat klerikalisme gereja ini ialah keruntuhan Kerajaan Romawi Barat akibat serbuan bangsa barbar, sekitar abad V. Setelah itu, tiba-tiba semua orang menyadari bahwa rakyat Romawi Barat yang amat luas itu, yang meliputi hampir seluruh Eropa ditambah wilayah-wilayah Afrika Utara, telah terjerumus pada situasi Tanpa Pemerintahan. Pejabat-pejabat sipil termasuk para kepala daerah, tentunya kehilangan legitimasi dari rakyat, karena faktanya mereka tak lagi memiliki kaisar. Di zaman yang sama, buku De Civitate Dei karangan Santo Agustinus yang menelurkan gagasan Teokrasi (Pemerintahan Allah) sebagai pengganti pemerintahan sekuler yang gelap, menjalar kemana-mana di kalangan pemimpin gereja. Agustinus kelak termasyur sebagai bapak penggagas paham Teokrasi yang sampai hari ini masih diajarkan di kampus-kampus fakultas hukum. 


Ajaran Teokrasi Santo Agustinus serta situasi politik Romawi Barat yang tanpa pemerintahan itulah yang mengilhami Uskup Leo I berinisiatif melakukan konsolidasi gereja. Ia mengkampanyekan gagasan penyatuan gereja menjadi satu organisasi yang sentralistik, yang akan memerintah kehidupan sosial rakyat, langsung dari dalam gereja. Sampai saat itu, gereja-gereja memang masih cenderung sebagai gereja lokal atau gereja kota yang otonom, yang dipimpin oleh seorang uskup. Hubungan antar gereja diikat oleh kasih persaudaraan dan doktrin ortodoksi yang sama, di bawah perlindungan Kaisar, khususnya sejak Kaisar Theodosius pada tahun 380 mengeluarkan sebuah maklumat, De Fide Catolica, yang menyatakan Katolik sebagai agama resmi negara.


Dipengaruhi oleh buku dan situasi yang sama, gagasan penyatuan organisasi itu diterima luas oleh para uskup se-dunia Kristen, paling tidak di belahan Barat Eropa. Maka  dilakukanlah strukturalisasi besar-besaran dimana Pemerintahan Gereja yang baru terbentuk itu menyepakati Uskup Roma sebagai Pimpinan Tertinggi, yang disebut Paus, yang artinya Bapa, atau Gembala dari Gereja Allah se-dunia. Beranjak dari situlah mulai terbangun organisasi raksasa Gereja Katolik Roma, yang pada periode-periode berikutnya makin kokoh seiring dengan membesarnya jemaat di seluruh dunia, seperti yang kita warisi sekarang.


Dan setelah dimulainya Pemerintahan Pemimpin Gereja –yang disebut Teokrasi itu-, yang ditandai dengan penataan struktur jabatan gereja termasuk tentu saja tata kepangkatan, sistem-sistem, liturgi-liturgi tata ibadah, peraturan-peraturan kehidupan sosial untuk diikuti jemaat, dan sebagainya, maka terjerumuslah Gereja itu pelan-pelan ke dalam apa yang saya sebut tadi roh klerikalisme. Periode ini sampai bangkitnya Gerakan Protestan seribu tahun kemudian, dinamai oleh para sejarahwan gereja sebagai Zaman Kegelapan Gereja. Di zaman ini pulalah bermasukan tradisi-tradisi dan dongeng-dongeng yang menyimpang ke dalam Gereja Katolik, sebagaimana kemudian membangkitkan keberanian seorang Martin Luther untuk memimpin upaya restorasi.


Apa Yang Salah Dengan Teokrasi?


Santo Agustinus bermaksud baik ketika ia mengusulkan Teokrasi kepada gereja sedunia, yaitu untuk membebaskan umat Allah dari kekuasaan kafir untuk sepenuhnya dipimpin kekuasaan Allah. Tapi kenapa Teokrasi justru menjadi sumber kesesatan terbesar Gereja dari zaman ke zaman hingga hari ini? Bukankah Teokrasi artinya pemerintahan oleh Allah sebagaimana yang dimaksudkan Agustinus? Penyebabnya ialah karena Teokrasi ini pada faktanya dijalankan, digenggam, dan dikuasai oleh wibawa manusia.


Garisbawahilah ini: setiap doktrin yang memupuk atau memacu pertumbuhan wibawa manusia, adalah doktrin yang salah, meski terlihat baik dan mulia. Ini berasal dari iblis, sebab iblislah yang pada mulanya jatuh karena rasa bangga diri. Doktrin ini berbeda dengan Injil, sebab Injil mengajar kita semua untuk menghormati (memberi) sekaligus meruntuhkan diri, bukan berjuang untuk dihormati (menerima). 


Teokrasi menjadi perlindungan yang sangat-sangat nyaman bagi ego kita, para petinggi gereja, sehingga kita merasa tetap benar –karena hak kita untuk memerintah di gereja berhubung kita telah ditabalkan oleh hamba-hamba Tuhan atasan-- ketika sesungguhnya kita berbuat salah. Perlahan-lahan, doktrin ini membangun kesadaran si pendeta akan “hak dan kemuliaan” kedudukannya selaku mandataris kedaulatan Allah menjalankan Teokrasi itu, yang akan mempengaruhi egonya. Kombinasi dari ketundukan jemaat dan wibawa sakral si pendeta, tepat pada waktunya, akan menciptakan sosok yang tak mungkin salah” (kultus) di dalam gereja. Inilah yang terjadi pada gereja Katolik sejak munculnya ajaran Teokrasi itu, yang menjalar pula kepada gereja-gereja baru yang ikut-ikutan mempercayainya. Inilah awal dari kejatuhan setiap hamba Tuhan. Mereka menikmati atmosfir yang salah itu.


Sejak ada Teokrasi, bukan lagi hanya ada satu pihak di hadapan Tuhan yaitu Jemaat sebagaimana yang diajarkan Perjanjian Baru, tetapi Gembala Sidang dan Jemaat. Buahnya, gereja-gereja lokal terjerumus ke dalam dosa pengkultusan gembala sidang, formalitas agama, roh persaingan, kerajaan keluarga sang pendeta dan bukan Kerajaan Allah, serta paham agamawi lainnya. 


Berikut saya berikan contoh kasus sehari-hari untuk menggambarkan betapa kuatnya gereja di Indonesia dicengkeram oleh roh agamawi bernama klerikalisme yang ditimbulkan Teokrasi:


Seorang ibu yang menjadi sahabat saya bernama Ibu Erni tinggal di Gorontalo, menuliskan kutipan berikut dalam sebuah kesaksiannya di internet: Pernah ada pelayanan di kolom (lingkungan) kami, saya ditegur dan mau diusir oleh penatua, karena saya mendokan orang sakit. Dia katakan bahwa seorang jemaat biasa tidak boleh mendoakan orang sakit. Kesaksian-kesaksian seperti itu banyak sekali terjadi di semua gereja. 


Semua kesalahan klerikalisme yang mengagul-agulkan teokrasi sebagai alasan ini juga telah menyebabkan gereja-gereja Tuhan terjebak di dalam keterpisahan satu sama lain. Ada tembok-tembok yang menahan bekerjanya roh persaudaraan –dan tembok itu ialah wibawa manusia si pendeta. Kumpulan manusia di dalam tembok masing-masing gereja lokal itu tidak lagi terdiri dari sekumpulan domba tebusan Kristus Yesus yang ego dan harga dirinya telah disalibkan karena pemahaman akan Injil. Yang ada di dalamnya sekarang ialah kedaulatan manusia, pemerintahan manusia, sistem manusia, kerajaan manusia, kepentingan-kepentingan manusia.  


Anda bisa berkata tidak semuanya seperti itu, tapi tolong carikan di kotamu sendiri gereja yang tidak seperti itu. Jika masih ada yang murni, terpujilah Tuhan kita yang berfirman: Banyak yang terpanggil, sedikit yang terpilih.


Benarkah Musa Teladan Mereka?


Apabila ditanya, para pengusung paham teokrasi yang agamawi ini kerap menjadikan Musa sebagai alasan pembenar. Menurut mereka, Musa mempaktekkan apa yang mereka praktekkan. Tapi benarkah Musa mempraktekkan hal yang sama? Mari kita bandingkan beberapa hal pokok:


Persepuluhan: Di zaman Musa, hak siapakah persepuluhan itu? Bani Lewi. Musa sang pemimpin justru sama sekali tidak mendapat bagian. Bagaimana dengan gereja teokrasi, hak siapakah perpuluhan itu? Gembala sidang. 


Penerus: Kepada siapakah Musa menyerahkan tampuk kepemimpinan sebagai penggantinya? Kepada Yosua bin Nun. Apakah dia keluarga Musa? Bukan. Malah Yosua berasal dari suku Efraim, beda suku dengan Musa. Taurat bahkan tidak menulis apa-apa soal kedua anak Musa, yaitu Gersom dan Eliezer, sebagai petunjuk bahwa Musa tidak memberi mereka jabatan apapun di dalam kepemimpinan atas Israel.


Kepada siapakah gembala sidang penganut teokrasi menyerahkan tampuk kepemimpinannya? Kepada anak atau keluarganya


Dari kedua segi ini saja, terlihat sekali bahwa Musa tidak menyimpan motif kepentingan diri dan keluarga sedikit pun, sekalipun ia punya istri dan anak-anak. Musa benar-benar menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah dalam segala hal, dengan penyangkalan diri yang luar biasa. Musa seperti tidak memiliki kehidupan pribadi lagi. Ia telah menyalibkan dirinya. Penyerahan dirinya yang total itu mengingatkan kita pada sosok Paulus.


Juga, dalam hal kepemimpinan, Musa sangat dekat dengan tua-tua Israel. Tua-tua itu tidak ia perlakukan sebagai bawahan-bawahannya, melainkan rekannya dalam memimpin jemaat Israel.


Musa juga mendengarkan nasehat dari orang lain. Tercatat misalnya bahwa ia mendengar nasehat dari Yitro, mertuanya, untuk mengubah pola pengorganisasian jemaat Israel dari one man show menjadi delegatif. Awalnya Musa mengendalikan semuanya -one man show-  sebagaimana umumnya pendeta-pendeta penganut teokrasi. Lalu Yitro menasehati Musa agar menunjuk pemimpin-pemimpin jemaat dan menyerahkan penuh tugas-tugas kepemimpinan itu kepada mereka, kecuali untuk perkara yang pokok-pokok saja, dan Musa mendengarnya. 


Akan tetapi di gereja-gereja teokrasi klerikal, terdapat fakta yang menyedihkan, dimana gembala sidang umumnya mengendalikan semua urusan, lebih-lebih yang menyangkut keuangan. Pendeta-pendeta ini jauh berbeda dengan Musa.
Satu hal yang mencengangkan, Musa hampir-hampir tidak pernah mengeluarkan keputusan apapun jika Roh Kudus tidak berbicara kepadanya. Musa selalu bertanya kepada Allah segala urusan, dan ia tidak akan melakukan apa-apa jika Roh Kudus tidak memperdengarkan suara-Nya. 


Sebaliknya, para  pendeta penganut teokrasi tidak lagi mencari dan mematuhi suara Roh Kudus melainkan mengikuti pikirannya sendiri yang ia pikir datang dari Tuhan karena jabatannya.  Banyak sekali pendeta dari penganut paham ini berkata mendengar suara Roh Kudus untuk melakukan begini-begitu, padahal sesungguhnya mereka hanya mendengar suara ambisi atau obsesinya saja. Beda dengan Musa, yang mendengar Roh Kudus berbicara dengan “tatap muka”. 


Dan yang paling menggetarkan hati akan sosok Musa, ia dinamai oleh Akitab sebagai orang yang paling lemah lembut hatinya, lebih daripada semua manusia yang ada di muka bumi. Bagaimana dengan pendeta-pendeta penganut teokrasi? Faktanya mereka kebanyakan arogan dan menonjol-nonjolkan wibawa kekuasaannya.


Sekarang anda telah melihat bahwa paham teokrasi yang selama ini diterapkan oleh banyak gereja di Indonesia tidak benar-benar berakar dari kepemimpinan Musa. Musa tidak pernah mengultuskan dirinya, sama sekali tidak memikirkan kehidupan pribadinya lagi, melainkan senantiasa menyangkalnya dan berserah penuh pada Allah. 


Sudah begitu, Allah telah membaharui perjanjian-Nya oleh darah dan kematian Yesus Kristus di kayu salib. Kita tidak lagi berada di bawah atmosfir Taurat, melainkan sebuah Perjanjian Baru dari Allah. Di dalam Perjanjian Baru itu, kita semua diurapi dengan Roh Kudus tanpa pandang bulu, kita semua bersaudara, bersama-sama bekerja sebagai pelayan kasih karunia.


Banyak pengajar yang salah kaprah ketika mengutip kisah Perjalanan bangsa Israel keluar dari Tanah Perbudakan Mesir menuju Tanah Perjanjian. Dengan begitu sembrono, pengajar-pengajar ini telah menyamakan begitu saja kisah tersebut dengan perjalanan rohani orang kristen, keluar dari kegelapan dunia menuju Kerajaan Sorga. Dalam gambaran itu, mereka tanpa sadar telah berpikir, bahwa jemaat Tuhan sedang dalam perjalanan. Tentu saja dengan dasar seperti itu, maka sosok-sosok Musa di dalam gereja diperlukan. Itu salah, salah, salah! Dalam kisah  Perjalanan bangsa Israel, mereka memang masih berada di perjalanan. Mereka belum berada di Tanah Perjanjian. Itu sebabnya mereka membutuhkan sosok Musa. Sedangkan menurut kasih karunia Allah, sebegitu orang bertobat kepada Yesus, dalam detik yang sama, ia sudah berada dalam Kerajaan Sorga. Tidak ada perjalanan! 


Saudara pembaca, kiranya ini membuka mata kita. Kita, umat kepunyaan Yesus, tidak sedang berada dalam perjalanan menuju Kerajaan Sorga. Kita sudah ada di dalamnya oleh iman! Yang kita butuhkan adalah setia di dalamnya. Yang kita butuhkan bukan Musa, tapi Yesus, Yesus, Yesus. Dengarlah, kita digembalakan Yesus bukan di dalam perjalanan menuju Kerajaan Bapa-Nya. Kita digembalakan Yesus, ya di dalam Kerajaan BapaNya itu sendiri. Barangsiapa datang kepada Yesus, telah sampai kepada Bapa dan Kerajaan-Nya –Tanah Perjanjian kita. Tidak ada perjalanan lagi. Yang dibutuhkan ialah, tetap tinggal di dalam Yesus. 


Teokrasi Yang Benar


Satu hal yang harus kita sadari benar-benar ialah, bahwa jemaat itu milik Tuhan. Apabila ada perasaan posesif atau rasa memiliki gereja seperti aset keluarga di dalam diri seorang gembala sidang, itu adalah sebuah dosa kedagingan.


Teokrasi mencuri pemahaman yang benar akan salib Yesus Kristus, padahal terang-terangan Injil telah menyingkapkan bahwa tak seorangpun manusia pantas berada di sorga. Semua orang semestinya terkutuk dan celaka, kalau bukan karena kerelaan Yesus Kristus dibunuh bagi dunia.


Jadi Teokrasi yang benar ialah pemerintahan yang benar-benar dipegang oleh Allah, melalui Roh Kudus. Dalam prakteknya, kedaulatan dan kemuliaan Allah yang memerintah itu tidak dilimpahkan atau diwakilkan kepada salah seorang manusia di dalam gereja, melainkan tetap dipegang sendiri secara langsung oleh Tuhan. Allah tidak pernah pensiun dari keaktifan-Nya menggembalakan jemaat-Nya. Tiap detik Ia aktif. Tidak ada detik di dalam jemaat yang terlewat tanpa Allah terlibat secara langsung. 


Jawatan-jawatan yang ada di dalam jemaat bukanlah untuk mengambil alih kedaulatan Allah, seolah-olah Allah sudah lengser dan pensiun, melainkan untuk memudahkan pelaksanaan komando-Nya. Jadi kata kuncinya ialah, setiap gereja harus mencari suara Tuhan. 


Efesus  5:17
Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan.

Kita tidak hidup lagi di zaman Perjanjian Lama, dimana Roh Kudus hanya ada pada
Musa dan orang-orang tertentu saja. Di zaman ini, setelah kasih karunia dinyatakan di atas kayu salib Golgota, tabir Bait Allah sudah dikoyakkan. Semua jemaat telah menjadi imamat yang rajani dan Roh Kudus telah dicurahkan ke atas semua orang percaya, tua muda, besar kecil. Dengan demikian, setiap jemaat sesungguhnya berpotensi mendengar suara Tuhan. 


Roh Kudus tidak dapat dibatasi oleh jabatan-jabatan yang kita buat. Penganut-penganut klerikalisme berkata bahwa Roh Kudus tidak mungkin berbicara kepada orang selain gembala sidang apabila menyangkut urusan gereja. Yang benar ialah, Roh Kudus dapat berbicara lewat siapa saja, bahkan anak-anak sekali pun. Jikalau Tuhan meninggalkan pesan untuk gereja melalui jemaat biasa, berarti itulah komando dari Allah, yang harus dipatuhi, setelah diuji terlebih dahulu.


Janganlah kita biasakan menyebut diri Hamba Tuhan, sebab di zaman bercokolnya atmosfir Taurat ini, istilah itu sudah lebih beraroma pengagungan wibawa manusia menurut doktrin agama. Biarkan orang lain yang menyebut itu, atau Tuhan sendiri. Sebab ketika kita senang dengan julukan itu, sebenarnya kita tidak sedang meninggikan Tuhan, tapi membiarkan diri ditinggikan di atas yang lain. Anda mestinya tetap harus menyadari bahwa anda sudah mati, sudah tak ada lagi


Saya sendiri pernah mendengar dengan telinga saya sendiri suara dari langit yang berkata: “kau anak-Ku.” Peristiwa supranatural yang luar biasa itu terjadi tanggal 31 Desember 1998, sekitar pukul 12 siang. Kita semua sering mendengar suara Tuhan di dalam hati, tetapi apa yang saya alami kali itu sama dengan apa yang dialami Ayub yang mendengar suara Tuhan dari badai, atau Petrus ketika di atas bukit melihat Musa dan Elia datang pada Yesus. Saat itu saya ambruk lemas seperti mau mati rasanya oleh wibawa sorga-Nya yang demikian dasyat. Tetapi sesudah suara itu lenyap, saya dialiri sukacita luar biasa.


Juga pada 29 April 2014 lalu, seorang hamba Tuhan yang tinggal di Bandung mengirim sebuah pesan singkat di internet bahwa Tuhan Yesus berbicara kepadanya tentang saya: berdoalah untuknya, dia adalah prajurit-Ku di akhir zaman.”
 
Apa yang anda rasakan sekarang setelah mendengar kedua kesaksian saya itu? Apakah cara pandang anda mulai berubah akan saya? Lihatlah, di hati orang-orang yang sejak semula memandang rupa, pernyataan Tuhan itu bisa menimbulkan kekaguman akan manusia, dari sebelumya memandang sebelah mata. Tetapi orang-orang yang memandang kepada Tuhan sejak semula, akan memiliki cara pandang yang benar,  yaitu bahwa Ia memang mengasihi kita, memandang kita semua berharga, menyebut kita semua hamba-hamba-Ku dan anak-anak-Ku. Saya sendiri tak lebih dari sampah tak berharga yang harusnya dibuang ke api, kalau bukan karena Yesus rela mati untuk segala dosa saya.


Kita semua harus tetap membuang segala mahkota kebanggaan diri, seperti Daud melemparkan semua pakaian kehormatannya di dunia ini di hadapan Tabut Perjanjian Allah, dan menyadari bahwa kita ini adalah orang-orang yang mestinya celaka, yang beroleh selamat karena belas kasih-Nya semata-mata. Apapun yang Tuhan pujikan tentang kita, itu urusan Tuhan. Kita sendiri harus tetap menyangkal diri dan hanya mempermuliakan Dia. Dia berkuasa penuh atas kita dan atas gereja-Nya. Dan Ia dapat memakai orang-orang kecil sekalipun untuk menegur orang-orang besar. Itu supaya tidak ada manusia yang menganggap dirinya tinggi lalu binasa karenanya. 


I Korintus 1 : 28-29
Dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan yang tidak berarti dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah.

Runtuhlah dirimu! Runtuhlah dirimu! Jangan ada manusia yang memegahkan dirinya di dalam gereja-Nya karena kedudukan apapun! Segala kemuliaan hanya bagi Dia, Raja kita!







6.       BAHAYA ROH AGAMAWI DI BALIK SEBUTAN “GEMBALA SIDANG”


Gembala vs. Domba


Sekarang, kita akan mengulas sebuah roh agamawi yang paling kuat merasuk di dalam gereja kita di Indonesia. Lagi-lagi saya mengingatkan, ini bukanlah untuk mempermalukan, melainkan menelanjangi tipuan-tipuan iblis di dalam gereja kita, supaya kita tersadar.


Sebagian gereja kristen Indonesia, khususnya aliran pentakosta-karismatik, menggunakan istilah “gembala sidang” untuk menyebut pimpinan jemaat. Ini sebenarnya bukan masalah, apabila orang yang menduduki jabatan itu benar-benar orang yang sudah menyalibkan ego dan harga dirinya karena Injil. Akan tetapi fakta yang terjadi di lapangan ialah sebaliknya. Istilah itu banyakan justru memperbesar ego. Dulu dia rendah hati; setelah jadi gembala sidang, sudah seperti kaisar. Itu banyak terjadi.


Mengapa bisa demikian? Itu karena di dalam istilah “gembala” ada sebuah pengertian hurufiah yang berbahaya bagi manusia biasa, karena berpotensi besar memompa ego atau harga diri, lebih besar daripada istilah lain. Dan itu hanya terjadi di Indonesia. Ya, hanya di jemaat Indonesia, dan kemudian jemaat Malaysia yang juga menggunakan bahasa kita.


Jika anda memperhatikan Perjanjian Baru, sesungguhnya istilah gembala untuk menyebut pimpinan jemaat tidaklah populer. Para rasul memakai istilah Penilik Jemaat (Bishop), atau Penatua (Presbiter). Di lapisan kedua adalah pelayan-pelayan atau yang disebut diaken.


Kisah 14 : 23
Di tiap-tiap jemaat rasul-rasul itu menetapkan penatua-penatua  (presbiter-presbiter) bagi jemaat itu dan setelah berdoa dan berpuasa, mereka menyerahkan penatua-penatua itu kepada Tuhan, yang adalah sumber kepercayaan mereka.

Injil mengindikasikan dengan sangat jelas bahwa kepemimpinan di dalam jemaat bukan di tangan satu orang, melainkan beberapa orang Penatua. Lalu di antara Penatua itu, ada satu orang yang lebih dituakan, yang disebut Penilik Jemaat.

Istilah gembala sebagai sebuah jabatan dalam jemaat, hanya muncul dalam satu ayat, yaitu di Efesus 4 : 11. Ayat yang satu inilah yang menjadi dasar pertimbangan banyak gereja Indonesia untuk memakai istilah gembala sidang.


Efesus 4 : 11
Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar

Tapi perlu anda ketahui, bahwa di gereja-gereja sedunia, istilah ini tidak ada. Apa yang diterjemahkan sebagai “gembala” oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) Terjemahan Baru 1974 dalam Efesus 4 : 11 di atas, dalam versi-versi bahasa Inggris termasuk King James Version (KJV) yang sudah sangat tua dan paling luas dipakai di dunia, tidak disebut “gembala”, melainkan “pastor”.


Gembala dalam bahasa Inggris disebut “shepherd”. Tetapi dalam Efesus 4 : 11 KJV, tidak ada kata “shepherd”, melainkan “pastor”. Isi selengkapnya demikian:


Ephesians 4 : 11
And he gaves some, apostles; and some, prophets; and some, evangelists; and some, pastors and teachers.

Makna umum yang terkandung dalam kata pastor ialah “yang memimpin jemaat, yang mengkhotbahi mereka dengan firman Tuhan.” 


Adapun kata “gembala  atau shepherd” dalam versi KJV maupun versi bahasa Inggris lainnya, hanya dikenakan kepada Yesus Kristus. Jadi, di gereja-gereja kristen di dunia ini, tidak ada orang di dalam gereja yang disebut “the shepherd of church” atau gembala sidang/jemaat. Mereka pasti ketakutan memakai kata itu, sebab mereka tahu hanya ada satu The shepherd of church”, yaitu Yesus Kristus.


Itulah barangkali sebabnya dalam Efesus 4 : 11 versi Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), LAI tidak lagi memakai kata “gembala” melainkan “pemelihara jemaat”.


Dibandingkan kata “gembala”, istilah “Pemelihara jemaat” atau “Penilik Jemaat” jauh lebih kena kepada makna kata pastor.


Selain kata “gembala”, LAI TB 1974 juga memakai kata “menggembalakan” atau “gembalakan” sebagai tugas dari gembala sidang. Kata “gembalakan” ini yang paling terkenal ialah dalam Injil Yohanes, dimana Yesus tiga kali bertanya pada Petrus apakah ia mengasihi-Nya. Setelah Petrus menjawab, Tuhan lantas berkata: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”


Yohanes 21:15
Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?" Jawab Petrus kepada-Nya: "Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku."

Karena ada kata “gembalakanlah” dalam ayat itu, maka tentu kita berpikir: lumrah jika dipakai pula istilah “gembala sidang”. Persoalannya, dalam King James Version (KJV), kata itu tidak ditulis: “graze” atau “gembalakanlah”, melainkan “feed” yang artinya: “berilah makan”.

Yohanes 21 : 15
So when they had dined, Jesus saith to Simon Peter, Simon, son of Jonas, lovest thou me more than these? He saith unto him, Yea, Lord; thou knowest that I love thee. He saith unto him, Feed my lambs.

“Memberi makan” atau to feed disini kita tahu artinya adalah makanan rohani, yakni firman Tuhan. Jadi karena fungsi dari jabatan itu ialah “memberi makan”, tentu lebih dekat pemahamannya dengan “pastor” seperti KJV, atau “Pemelihara Jemaat” dalam versi BIS.


Mengapa ada bahaya roh agamawi mengintip dalam istilah Gembala Sidang? Karena lawan kata “gembala” bukanlah “saudara” melainkan “domba”. Domba vs. gembala adalah dua pihak yang berbeda hakekatnya, berbeda asal usulnya, berbeda naturnya, dengan tingkat perbedaan yang tidak bisa dijembatani. Perbedaan itu tidak sama dengan miskin vs. kaya, sebab miskin vs. kaya masih bisa dijembatani karena si miskin masih bisa menjadi kaya. Sementara domba sampai kapanpun tidak bisa menjadi gembala, karena naturnya berbeda.


Ada dua orang kristen; yang seorang adalah Pak Pendeta, yang lainnya adalah jemaat. Suatu waktu, si jemaat memperkenalkan diri mereka kepada orang lain: “Bapak ini adalah gembala saya.” Apa arti lain dari kalimat itu? Ini: “Saya adalah domba bapak ini.” Sebab ketika disebut “gembala”, maka pihak di hadapannya adalah “domba”. Itu memang konteksnya. Hanya rasa sungkan saja yang membuat si Pak Pendeta menahan lidah menamai jemaat itu: “domba saya”. Akan tetapi lawan kata itu tentu akan muncul tersembunyi di kepala, ketika kita mendengar kata “gembala”. 


Pernyataan yang tersembunyi di dalam kepala itulah yang menjadi sumber dari roh agamawi klerikalisme yang saya maksudkan mengintai di balik pemakaian istilah “gembala sidang”. Buahnya ialah rasa sungkan jemaat yang berlebihan karena terbentuknya aroma sakral dari wibawa si pendeta.


Ketika pemakaian istilah itu ditambah pula dengan paham teokrasi yang salah, kian besarlah penyelewenangan makna, tak ubahnya orang Hindu memperlakukan kaum “Brahmana” berasal dari alam yang berbeda dengan jemaah. 


Roh agamawi yang timbul itu pula yang menjadi penyebab kerap kali terdengar di kalangan kita istilah: “mencuri domba”, ketika kita sedang berbicara mengenai kasus berpindahnya jemaat dari gereja yang kita pimpin ke gereja yang lain. Kenapa ada istilah ini? Karena kita sendiri, sebagai pimpinan jemaat, telah terjebak pada roh agamawi yang ditimbulkan istilah “gembala” yang disematkan pada kita. Diam-diam kita sebenarnya mengakui bahwa kita adalah gembala mereka, dan sebagai konsekuensi logisnya, di alam roh kita sedang berkata bahwa mereka adalah domba-dombaku. Jadi ketika mereka pergi ke sesama gembala, kita pun menamainya: mencuri domba! 


Sekali lagi, ini hanya umum terjadi di gereja kita di Indonesia yang sangat kaya dengan roh agamawi ini. Inilah salah satu penyebab kenapa pendeta-pendeta dari Indonesia hampir-hampir tidak ada yang bisa dipakai Tuhan secara internasional sepenuh kuat kuasa serta kenapa gereja-gereja kita mudah terpecah belah oleh musuh yang tidak kelihatan.
Jika kita mau menundukkan pikiran kita di hadapan Dia yang sangat mengasihi kita, kita akan tahu bahwa tidak ada alasan lain mengapa Tuhan Yesus menetapkan jabatan-jabatan di dalam kumpulan jemaat-Nya, selain karena Ia ingin jemaat-Nya digembalakan di dalam kasih karunia-Nya, untuk hidup menurut apa yang dikehendaki Bapa.


Maka fokus kita saat berbicara mengenai jabatan-jabatan itu, tidak boleh tertuju kepada kemuliaan-kemuliaan yang tersembunyi dari suatu jabatan. Jika kita fokus kesitu, kita akan terjerumus ke dalam suatu perenungan mengenai kehormatan wibawa dan harga diri manusia, tidak ada bedanya dengan manusia dunia yang mengenal perbedaan kasta.  Tetapi kita harus berfokus kepada Yesus, kepada Injil-Nya, kepada tujuan-Nya datang ke dunia ini. Ia mengasihi jemaat-Nya. Ia mati supaya jemaat-Nya beroleh keselamatan, dan selama mereka tinggal di dalam dunia, Ia ingin mereka tergembala di dalam kebenaran-Nya. 


Jika kita fokus kepada hal ini, maka kita akan mengetahui bagaimana kita harus mengerjakannya, yaitu di dalam sukacita akan Kristus, di dalam rasa syukur, di dalam penyangkalan diri sampai menjadi NOL. Kita tidak akan terlalu peduli pada istilah-istilah atau nama-nama jabatan itu, dan tidak akan membual mengenai kemuliaan jabatan, yang hanya membuat kita jatuh ke dalam roh agamawi yang dari kedagingan.


Jabatan-jabatan, entah di lingkungan sekuler maupun di gereja, selalu saja mengandung resiko meningkatkan wibawa harga diri kita. Saat anda menganggap bahwa anda lebih tinggi dari jemaat karena anda gembala sidang, anda sedang membuat diri anda lebih rendah dibandingkan mereka di mata Tuhan. Buat apa kita menikmati pemuliaan itu di sini jika kita berakhir di neraka karenanya, atau kalaupun berada di sorga, berada di tempat yang paling rendah? Sekali lagi, segala doktrin yang memupuk wibawa manusia adalah lawan Injil.


Tatanan Dalam Gereja Tuhan


Sejak adanya istilah gembala sidang, maka gereja-gereja yang terjerumus dalam kesalahan paham akan istilah itu, terpolarisasi ke dalam dua pihak yang berhadap-hadapan, yaitu gembala sidang di satu pihak, dan jemaat di pihak lainnya. 


Adakah polarisasi ini terlihat dalam Perjanjian Baru? Sama sekali tidak. Di dalam Perjanjian Baru, hanya ada satu pihak di hadapan Allah, yaitu Jemaat


Efesus 1 : 23
Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu

Wahyu 3 : 22
Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat.

jadi seturut Perjanjian Baru, Kerajaan Allah hanya terdiri dari dua pihak saja. Di bawah adalah Jemaat, di atas adalah Tuhan Yesus Kristus. Jadi bukan Yesus – Gembala Sidang – Jemaat, melainkan Yesus--Jemaat. Dengan demikian, Gembala Sidang bukan saluran pengantara Tuhan dan Jemaat.
 
Kita tidak lagi hidup di zaman Taurat yang membutuhkan IMAM sebagai pengantara. Pernyataan kita: “Yesus itu Gembala Agung, sedangkan kami adalah gembala jemaat”, adalah cerminan dari pengakuan wibawa kita di hadapan jemaat. Kita membebalkan diri.


Itu cara kita untuk mempertahankan kesesatan pikiran kita, dengan cara mendorong Yesus lebih ke atas, supaya tetap ada spasi untuk kita isi di atas jemaat, sehingga gambaran yang kita berikan dari Kerajaan Tuhan adalah Gembala Agung (Yesus) – Gembala – Jemaat. Dengan kecerdikan ini, tanpa sadar kita menghidupkan kembali kedudukan IMAM dari Perjanjian Lama.


Padahal Yesus tidak pernah menyebut diri-Nya “Gembala Agung” dalam pengertian dibawah-Nya ada lagi lapisan Gembala berikutnya di atas Jemaat. Yesus menyebut diri-Nya: “Akulah Gembala Yang Baik”, bukan: “Akulah Gembala Agung Yang Baik” Memang Yesus adalah Gembala Agung kita, tetapi dalam pengertian, bahwa Dialah segala-galanya. Yesuslah Gembala Tertinggi kita, Yesus pula Gembala persis di atas kita. Dialah satu-satunya Gembala kita, tidak ada yang lain. Sungguh agunglah Dia!


Kalau begitu, dimanakah kedudukan gembala sidang itu diletakkan oleh Perjanjian Baru? Ia diletakkan di dalam jemaat, sebagai bagian yang menyatu dan tak terpisahkan dengan jemaat itu. Jadi baik nabi, rasul, penginjil, pastor (gembala sidang), maupun pengajar, bukanlah lapisan di atas jemaat, tapi bagian dari jemaat. Barangsiapa yang menganggap dirinya lebih tinggi daripada jemaat yang lain, ia akan direndahkan, kata Tuhan kita. Dan kita tahu, Yesus tak mungkin bohong.

Lukas 14 : 11a
Sebab setiap orang yang meninggikan diri akan direndahkan

Kita-kita
yang dipanggil untuk memangku jabatan tertentu didalam jemaat, oleh Alkitab dinamai Pengurus Kasih Karunia.


1 Petrus 4 : 10
Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.

Saudaraku,
Bila kita renungkan kembali pesan Tuhan kepada Petrus di Yohanes 21 : 15, yaitu: “Berilah makan”, maka kita bisa membandingkannya dengan ilustrasi berikut ini:


Ada seorang ibu hendak pergi belanja ke pasar. Ia lalu berpesan kepada anaknya yang paling besar: “Nak, Ibu mau ke pasar sekarang. Nanti kalau adik-adikmu pulang dari sekolah, jagailah mereka, uruslah mereka, berilah mereka makan.”


Kenapa tugas itu ia bebankan kepada anak tertuanya? Itu karena si anak itu lebih tua, lebih dewasa, dan lebih dekat atau sudah lebih memahami keadaan orang tuanya. Maka ia melakukannya sebagai saudara bagi adik-adiknya, bukan sebagai makhluk yang berbeda dari mereka. Ia bukan satu kelompok dengan ibunya, yaitu orangtua. Ia satu golongan dengan adik-adiknya, yaitu anak. Hanya saja, di kelompok anak itu, dia bertindak sebagai pemimpin, bukan karena ia lebih dikasihi ibunya daripada adik-adiknya, tetapi karena ia lebih dewasa dan sudah bisa diharapkan ibunya.


Sesungguhnya, seperti itulah pesan yang ditinggalkan Tuhan untuk Petrus dan para pengerja di dalam jemaat, termasuk para penilik jemaat. Tuhan mengangkat anak-anak-Nya yang lebih dewasa, lebih mengenal-Nya, dan lebih matang, untuk menuntun anak-anak-Nya yang lebih lemah, sebagai seorang saudara kepada saudara-saudaranya. Keduanya diikat oleh kasih persaudaraan, dan saling menghormati. Ayat di bawah ini berlaku untuk semua orang di dalam gereja, termasuk bagi kita yang disebut “gembala sidang”:


Filipi 2 : 3b
Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;

Jadi sekalipun Alkitab Bahasa Indonesia kita memakai istilah “gembala” dan “gembalakanlah”, sekarang kita sudah memahaminya dengan benar, sesuai tujuan Tuhan atas kita. Tuhan Yesuslah Gembala kita semua. Akan tetapi karena secara fisik Ia telah kembali ke sorga, Ia menyuruh kita yang lebih tua dan dewasa untuk memimpin “adik-adik” kita yang lebih lemah secara rohani, menurut panggilan karunia kita masing-masing. Bukan karena kita lebih mulia daripada adik-adik kita itu, atau karena kita lebih berharga di mata-Nya daripada mereka, tetapi karena kita dipandang-Nya lebih dewasa dan sudah bisa diharapkan-Nya. Sebaliknya, ketika Ia menyuruh kita merawat dan memberi makan “adik-adik” kita, bukankah itu pertanda bahwa Yesus seolah-olah lebih memikirkan mereka daripada kita? 


Menurut anda kenapa Yesus sampai tiga kali bertanya kepada Petrus di Yohanes 21? Apakah karena Ia sangat memikirkan Petrus? Bukan, bukan, bukan! Tapi justru karena Ia sangat merisaukan domba-domba-Nya. Ia sangat mengasihi mereka dan tidak rela satupun dari mereka terhilang. Itulah sebabnya Ia “menekan” Petrus supaya sungguh-sungguh melakukan tugas itu, dengan tidak membiarkan seorang pun terhilang.


Kita menjalankan tugas penggembalaan (memberi makan rohani jemaat) bukanlah karena kita segolongan dengan Gembala, melainkan karena kita dipandang-Nya mampu mengurus adik-adik kita. Kalau menurut golongan, kita tetap golongan jemaat.


Itulah sebabnya Tuhan Yesus memberi petunjuk bagaimana cara kita seharusnya menjalankan kepemimpinan itu. Caranya ialah dengan bertindak sebagai pelayan seperti kepada adik-adik sendiri, dalam koridor persaudaraan.


Matius 23 : 11
Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.

Jika kita renungkan ayat di atas dengan mengingat ilustrasi si anak tertua yang ditugaskan ibunya mengurusi adik-adiknya, kita pasti bisa menemukan apa-apa saja tanggung jawab yang harus kita lakukan atas mereka. Pertama-tama ialah memberi mereka makan (kebenaran firman Tuhan), supaya mereka sehat dan kuat; menjagai mereka agar tidak keluyuran di luar rumah (mendoakan dan mengupayakan mereka agar senantiasa bertekun dalam Tuhan); mengajar mereka supaya mengenal dan menghormati Tuhan. Ada saatnya kita menegur jika ada adik kita yang berbuat nakal (jatuh dalam dosa). Juga, memperdamaikan mereka dengan adil dan tidak memihak sebelah, jika ada adik-adik yang bertengkar; merawat mereka yang sedang sakit atau terluka. Kemudian, mencari dan menemukan mereka apabila ada adik yang sudah lama tidak nampak. Lalu, menghibur mereka, jika ada adik yang sedang berduka.


Seperti itulah pekerjaan-pekerjaan kita. Kalaupun itu tetap dinamai tugas penggembalaan, dan kita tetap disebut orang: gembala sidang, semua itu bukan lagi soal bagi kita, jika kita tidak hidup untuk diri kita lagi. Kita melakukannya dengan hati yang rela berkorban, dan tidak lagi memandang muka, entah dia kaya atau miskin. Sebab sekarang kita sudah tahu, setelah memahami Injil, setiap jiwa sama harganya di mata Bapa.


Semua itu kita kerjakan di dalam hati yang tertuju kepada Bapa kita semua; di dalam penyangkalan akan rasa bangga diri, akan gengsi, akan harga diri, akan wibawa karena jabatan; di dalam binar-binar sorot mata kasih pada saudara-saudara kita yang lebih lemah itu. Itulah yang Tuhan Yesus kehendaki, ketika Ia menamai kita pengurus-pengurus kasih karunia-Nya. Dengan demikian, kita tidak bergaya bak seorang pimpinan atas mereka, tetapi seperti pengasuh yang baik, lemah lembut, rendah hati, di dalam kasih dan pemberian teladan. Itulah yang seturut dengan Injil.


I Petrus 5 : 7
Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipecayakan kepadamu, tapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.

Marilah mencamkan perkataan Tuhan Yesus ini:

Matius 23 : 8
Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara.

Menurut anda, kepada siapakah ayat itu ditujukan? Kepada jemaat kecil? Siapa pula yang akan memanggil mereka Rabi? Bukan. Ayat itu ditujukan kepada pemimpin-pemimpin di gereja, yang disebut pendeta, atau gembala sidang. Tolong perhatikan kalimat terakhir: dan kamu semua adalah saudara, sama derajatnya, sama-sama domba-Nya, sama-sama anak-Nya.

Jadi, inilah arti ayat itu:
“Hai para pendeta, janganlah kamu disebut Pak Pendeta. Hai para gembala, janganlah kamu disebut Pak Gembala. Sebab apa? Sebab kamu semua adalah saudara sama saudara.”

Mulai hari ini, hai saudaraku pendeta, beranilah berkata kepada jemaat: “Saya adalah saudaramu, kita saudara sama saudara”. Itulah yang Tuhan ajarkan. Jika anda benar-benar ingin dinamai oleh Injil sebagai hamba dari Yesus Kristus dari Nazareth.


Mari kita kembali kepada arti gereja yang sesungguhnya. Pertama-tama, kita teguh percaya bahwa rumah Tuhan yang sesungguhnya adalah hati manusia sendiri, pribadi lepas pribadi. Kita lepaskan konsep perjanjian Lama tentang gedung gereja sebagai rumah Tuhan.


Kedua, gereja lokal adalah perkumpulan orang-orang yang mengimani kasih karunia Yesus Kristus. Yang satu datang dari sudut kota sana, yang satu dari ujung jalan sini. Mereka berkumpul sebagai saudara sama saudara, untuk saling menguatkan iman dalam Injil, saling mengasihi, saling memperhatikan, saling menghibur. Tidak ada yang lebih utama dari yang lain. Meski ada yang dinamai penilik jemaat, atau yang kita sebut pendeta atau gembala sidang, tetapi orang bersangkutan hanyalah bagian dari jemaat, yang dihormati sebagai penuntun  untuk keteguhan iman mereka di dalam Injil Kristus.


Ada satu perintah Yesus yang harus kita kerjakan sebagai kewajiban sebagai pelayan-pelayan jemaat, yaitu Lukas 17 : 10

Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.

Mari menaati semua perintah tanpa pilah-pilih. Segera setelah tugas pelayanan selesai, kita pribadi lepas pribadi, maupun secara bersama-sama, haruslah berlutut di lantai membuang segala rasa bangga dan berkata kepada Dia yang tersalib bagi dunia: “Kami hanya hamba-hamba yang tidak berguna bagi-Mu, Tuhan. Kami hanyalah sampah yang mestinya dibuang ke dalam api jikalau bukan Engkau yang mengasihi kami. Kami hanya melakukan apa yang harus kami kerjakan menurut perintah-Mu. Bagimulah segala kemuliaan dan rasa hormat. Ampunilah jika pelayanan kami tidak sempurna.”

Terapkanlah ayat ini dengan konsisten dan terus menerus, maka anda semakin berakar kuat senantiasa di dalam kebenaran Injil. Anda akan melihat perubahan besar dalam pelayanan anda.


Kembali ke Pola Gereja Mula-Mula


Jika kita memahami cara hidup jemaat mula-mula, kita akan terkejut dan malu, karena betapa cara hidup kita di zaman modern ini berbeda jauh dari mereka. Jemaat mula-mula di tiap kota dibangun oleh pekerjaan para rasul. Jemaat-jemaat itu telah menjauhan diri dari arus kehidupan masyarakat umum yang sekuler, ke dalam kehidupan baru yang berfokus pada Allah dan Kristus Yesus. Mereka tinggal sepenuhnya dalam kesadaran Injil Kasih karunia. Oleh ajaran yang berakar kuat di dalam Injil dari para rasul, mereka menyadari penuh bahwa mereka telah berbeda dari dunia. Mereka sekarang adalah anak-anak Allah, ini poin yang sangat mereka sadari. Mereka telah menjadi ahli waris Kerajaan Sorga, tinggal dalam Kerajaan Terang, karena kasih karunia Allah yang mereka percayai. Jadi, jemaat-jemaat awal ini menyesuaikan cara hidup mereka dengan iman mereka itu. Mereka tunduk pada pimpinan Roh Tuhan yang berbicara di dalam hati mereka masing-masing. 


Kesadaran sebagai anak-anak Allah yang sangat kuat ini memberikan banyak hal bagi mereka. Misalnya, mereka tidak lagi kuatir akan hal apapun juga di dunia ini, mereka dikuatkan dan dihiburkan setiap saat oleh kesadaran itu di tengah-tengah cobaan yang terjadi, juga kehidupan sekuler tidak mereka masuki. Bagaimana kesadaran itu begitu kuat, adalah melalui pengajaran-pengajaran yang mendalam dari para rasul Kristus tentang Injil. Dalam hal ibadah, umumnya mereka berkumpul setiap hari dan senantiasa memecah roti dan anggur untuk mengenang kasih karunia Allah oleh salib Yesus. Mereka saling membantu dan saling mengasihi. Kehidupan individual mereka nyaris tak bersisa, kecuali untuk urusan-urusan rumah tangga semata.


Hal berikutnya, kerohanian mereka tidak berfokus pada berkat-berkat duniawi dari Allah. Mereka tidak merenungkan bagaimana caranya menjadi pengusaha yang sukses di dalam Tuhan. Renungan mereka ialah salib Yesus yang telah mnyelamatkan mereka. Rasa syukur mereka bukan karena mereka makmur atau sembuh dari penyakit, tetapi karena Yesus telah mengorbankan diri-Nya untuk menebus mereka dari ancaman kematian kekal.


Mereka tidak berpikir tentang memperbesar organisasi gereja, melainkan memberitakan Injil Keselamatan pada siapa saja. Mereka tidak pernah bergumul atau mengumpulkan dana untuk pembangunan gedung gereja, fasilitas-fasilitas kemegahan gedung. Mereka tidak pernah membangun gedung gereja satu pun. Rasul-rasul dan penerus-penerusnya mengajar mereka di tempat-tempat umum, di rumah-rumah, di halaman-halaman terbuka. Tidak ada pendeta, tidak ada Sekolah Tinggi Teologi, tidak ada peraturan-peraturan organisasi, tidak ada ketua-ketuaan. Penatua atau penilik jemaat yang ditunjuk berasal dari tengah-tengah mereka sendiri, yang bertugas menguatkan iman mereka atas Injil Kristus, mengunjungi rumah-rumah mereka untuk pelayanan.


Mereka semua berkumpul dalam kasih saudara sama saudara, di bawah tuntunan langsung Roh Kudus. Mereka yang memiliki karunia tertentu berbicara untuk saling membangun dan menguatkan iman. Rasul-rasul dan para penatua itu sendiri tidak mencari hormat dari mereka. Tidak pula mereka memperkaya diri dari uang  jemaat. Masing-masing orang hidup oleh pekerjaannya sendiri. Jemaat mula-mula itu mengumpulkan segala persembahan bukan untuk dikuasai oleh para rasul dan penatua, melainkan untuk dibagi-bagikan kepada jemaat-jemaat miskin dan janda-janda tua yang  membutuhkan pertolongan. Mereka semua tidak pernah mengarahkan minat lagi pada pengejaran akan dunia, pada keberhasilan materi atau nama besar. Fokus hidup mereka sepenuhnya adalah pekabaran Injil. Mereka siap dianiya sampai mati, sebab jiwa mereka benar-benar tertuju pada kobaran rasa syukur akan kasih dan kebaikan Yesus bagi mereka.   


Berbeda dengan cara hidup jemaat modern seperti sekarang ini. Kita hidup dalam cara hidup yang tidak ada bedanya dengan masyarakat sekuler. Kita kompromi dengan dunia, toleran dengan dosa dan pandangan-pandangan sekuler. Dalam cara berpakaian saja, wanita-wanita modern kita antusias dengan model, tren make up terbaru, treatment-treatment terbaru dalam urusan kecantikan, yang dicitrakan oleh artis-artis selebritis. Pemuda-pemuda kita membawa musik rock dan gaya artis-artis idola. Para gadis kita terbiasa berpakaian glamor bahkan ketat dan seksi. Tentu bukan berarti ada yang haram, tetapi minat adalah petunjuk dari satu hal, yaitu fokus hati. Tidak ada penghayatan atas Injil salib Kristus. Semua orang hidup dalam rohani yang suam-suam!


Selain minat akan sekulerisme yang sama kuatnya dengan orang yang tak kenal Tuhan,  jemaat modern juga toleran dengan dunia, percaya dan kerap mengamalkan nasehat-nasehat dunia, kurang antusias pada Tuhan, tidak menyala-nyala. Dalam kehidupan pribadi, ada keasyikan-keasyikan dari dunia yang turut digandrungi. Ada kegandrungan akan games elektronik bagi remaja-remaja cowok, ada musik pop, ada hiburan-hiburan dari TV, ada macam-macam. 


Kehidupan individu sangat kuat. Itu sebabnya gampang terjadi disharmonisasi dan saling menjelekkan satu sama lain, antara individu dalam jemaat, antar pendeta dengan pendeta dari jemaat sebelah, dan antara gereja yang berbeda denominasi.


Cita-cita para remaja kita adalah untuk menjadi orang-orang hebat di dunia ini. Kebahagiaan orang tua-orang tua kita adalah jika bisa menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi hingga keluar negeri. Jika anak kita menjadi dokter, polisi, perwira militer, pejabat, manager perusahaan besar, puaslah kita di dasar hati. Apa yang memuaskan dunia, itulah yang memuaskan kita. Kita terpesona dengan hal-hal yang memesona orang dunia. Ketika orang dunia bangga jika seorang walikota bertamu ke rumahnya, kita pun berbunga-bunga saat walikota datang ke gereja kita. Kita mendudukkan mereka di depan, dan diam-diam, kita mengharapkan bantuan uang dari mereka. Mata kita benar-benar sama dengan mata dunia.


Roh kita terperangkap dalam tembok gereja kita. Yang kita sebut saudara adalah teman segereja, atau paling jauh teman satu denominasi. Orang Kristen yang menjadi jemaat gereja lain hanya kita hitung sebagai sesama Kristen saja. Jika mereka teraniaya, paling jauh kita hanya sekedar prihatin. Jika ada di antaranya yang sakit parah dan butuh pertolongan, kita tidak merasa wajib menolongnya, meski rumahnya tak jauh dari rumah kita, semata-mata karena dia jemaat gereja lain.


Kita menginjili tapi motif kita bukanlah supaya lebih banyak jiwa menerima keselamatan dari Yesus Kristus, melainkan supaya dia menjadi anggota gereja kita. Jika jiwa yang kita injili tidak menjadi jemaat gereja kita, kita merasa penginjilan itu sia-sia. Ketika kita mengutus tim penginjilan ke satu kampung, tujuan kita yang sebenarnya adalah untuk merintis cabang gereja kita disana. Jika cabang gereja itu tidak terwujud, meski jiwa yang tertuai banyak dan menjadi terang di gereja lama mereka, kita tetap merasa telah buang-buang tenaga pergi kesana. Kita ingin memiliki mereka, untuk kebesaran gereja kita.


Pergumulan tiap jemaat lokal di seantero Indonesia ini adalah rencana pembangunan gedung gereja. Ketika gedung sudah ada, pergumulan selanjutnya adalah pembangunan gedung baru yang lebih megah. Dari gedung ke gedung. Kita bergumul untuk sound system terbaik, mobil-mobil dan segala macam fasilitas kelas satu. Itulah sebabnya khotbah soal berkat melimpah, diperkaya, menjadi khotbah utama di gereja kita dimana-mana. Sebab kita membutuhkan jemaat yang kaya-kaya, untuk selanjutnya kita gerakkan menabur lebih banyak untuk diberkati lebih melimpah lagi, supaya dana pembangunan gedung bisa terwujud. Kita menyebut semua itu visi dari Tuhan. Untuk mengejar “visi dari Tuhan” itu, gereja-gereja kita menitipkan proposal bantuan kemana-mana, ke penguasa-penguasa daerah, ke pengusaha-pengusaha dan sebagainya. Ada lagi yang mengerjakan pesta penggalangan dana, lengkap dengan cara lelang-lelang, dimana orang-orang kaya mempertontonkan jumlah uang yang mereka “sumbangkan”.


Sementara kita semua sibuk bergumul dengan pembangunan gedung, dan terjebak di dalam ajaran-ajaran kemakmuran, kita tidak sadar apa yang sedang terjadi di alam roh. Kita tidak merasakan betapa berdukanya Bapa dan Anak di sorga akan keadaan gereja-Nya yang hampir seluruhnya suam-suam dan tak layak masuk dalam pengangkatan. Padahal waktu kedatangan-Nya semakin menipis, persiapan di sorga sedang sesibuk-sibuknya, sementara pengerja Injil-Nya terlalu sedikit.


Kita semua terfokus pada urusan-urusan internal di gedung gereja kita masing-masing. Yang kita sebut pelayanan adalah menjadi petugas-petugas ibadah, siapa yang menjadi pengumul kolektan, penerima tamu, penari, penyanyi, dan lan sebagainya. Kita bernyanyi pada Allah “Pakailah aku sesuai rencana-Mu”, tapi kita tidak mengerti apa sesungguhnya rencana Allah atas dunia ini, sampai Dia rela datang sebagai manusia dua ribu tahun lalu dan mati di kayu salib. Sesungguhnya rencana Allah adalah penyelamatan seluruh manusia. Itulah tujuan Yesus rela mati. Jadi yang Ia inginkan ialah Injil-Nya diberitakan kepada semua manusia, dari satu ujung bumi ke ujung bumi lainnya, supaya sekiranya ada pendengar yang percaya dan diselamatkan. Tetapi karena kita hanyut dalam urusan-urusan dalam gedung sendiri, visi dalam tembok sendiri, roh kita ditutupi selubung untuk memahami semua itu. Kita membayangkan bahwa kita akan disambut Tuhan dengan penuh senyuman manis di awan-awan permai pada hari pengangkatan, tetapi betapa akan terkejutnya kita menemukan bahwa ternyata hampir semua kita akan ditinggalkan karena cacat cela. Kita semua kedapatan suam-suam dan akan dimuntahkan. Sebab kita tidak mengenal Kerajaan Allah dengan benar. Iman kita tidak berdiri di atas pondasi Injil yang murni. Kita kedapatan agamawi dan penuh kebanggaan diri, oleh jabatan-jabatan di gereja, oleh kedekatan-kedekatan dengan para pejabat.  


Saudara, marilah membuka mata lebar-lebar. Lihatlah betapa tebalnya selubung demi selubung roh agamawi yang telah melingkupi gereja kita semua selama ini. Liturgi-liturgi kita yang bertentangan dengan firman Allah sendiri, fokus kita akan perluasan internal gereja sendiri dan bukan Kerajaan Kristus, keterikatan kita dengan aturan-aturan organisasi yang melebihi ketundukan kita pada firman Allah, fokus pencurahan energi kita untuk pembangunan gedung serta fasilitas dan bukan pekabaran Injil, roh strukturalisme, kemunafikan-kemunafikan, pembangunan solidaritas dalam tembok menggantikan persaudaraan tubuh Kristus tanpa batas tembok, dan lain sebagainya. Bagaimana kita dengan itu semua masih merasa bagian dari “Lima Gadis Bijaksana” yang turut diangkat?


Mari kita membuang semua itu sejak sekarang. Mari kembali ke pola hidup jemaat mula-mula, yang tertanam di dalam Roh Injil, berfokus kepada pekabaran Injil, yang melepaskan hati dari pengejaran akan dunia, yang menyangkal diri dan membersihkan hati ini dari kebanggaan diri atas alasan apapun. Allah Yang Maha Tinggi sendirilah yang disembelih di bukit Golgota itu –dalam tubuh manusia-Nya— untuk menebus kita dari maut karena dosa. Apa yang pantas kita banggakan lagi akan diri ini di hadapan orang lain? Kelebihan uang kita kah? Pendidikan teologi kita yang lebih tinggi kah? Pengaruh sosial kita di luar? Gelar-gelar dan jabatan kita di gereja? Apa..? 


Tak usah lagi kita bangga dengan gelar-gelaran, yang hanya membuai wibawa kita. Lima jawatan dalam gereja, yakni rasul, nabi, penginjil, penilik jemaat, pengajar, itu semua bukanlah posisi atau kedudukan menurut hirarki imamat seperti yang selama ini kita anut, melainkan fungsi tugas di dalam melayani Tuhan menurut karunia Roh Kudus sendiri. Menurut kedudukan, semua orang di dalam gereja adalah sama dan sederajat, yakni jemaat Kristus. Justru orang yang ditugaskan Allah untuk fungsi-fungsi itu, wajib menyangkal dirinya lebih lagi, untuk memberi teladan bagi semua saudara. Perintah di Lukas 17 : 10 haruslah kita kerjakan sebagai sebuah kebiasaan.


Tentang pergumulan pembangunan gedung gereja, jangan lagi menjadi perhatian utama dari sumber daya keuangan. Melayani orang-orang miskin dan terbuang, serta mendanai pekabaran Injil tanpa pamrih, itulah yang harus menjadi prioritas sumber daya setiap gereja Tuhan, sesuai dengan Rencana Agung-Nya atas dunia ini. Tak usah risaukan gedung. Pakailah gedung yang sudah ada. Jika tak ada gedung, rumah-rumah jemaat bahkan tepi sawah pun jadi, sebagaimana tempat para rasul mengajar jemaat. Yesus segera datang. 


Tak usah memimpikan terkumpulnya ribuan jemaat setiap kali ibadah di gerejamu lalu karenanya bergumul lagi dengan gedung yang lebih besar. Ingatlah satu hal, hakekat dari perkumpulan jemaat yang kita namai gereja itu adalah untuk saling menguatkan, saling membangun, saling mengasihi. Dan modal dasar untuk semua itu adalah satu saja, yakni seluruh jemaat itu haruslah saling mengenal satu sama lain. Omong kosong ada rasa persaudaraan jika jemaat tidak saling mengenal. Itu gereja yang sia-sia. Sementara itu, menurut studi psikologis, semakin banyak orang berkumpul dalam satu gedung, semakin mereka individualis, lebih memikirkan kepentingan sendiri, rawan muncul faksi atau kelompok sepergaulan, sehingga mudah terjadi perpecahan. Jadi jangan kagum dengan gereja-gereja super besar (megachurch). Persaudaraan di tempat itu jauh lebih kecil daripada persaudaraan di gereja kecil yang hanya berjumlah seratus jemaat. 

Ketika jemaat semakin banyak, alangkah lebih baik jemaat itu segera dibelah. Penilik jemaat, atau menurut istilah sekarang disebut pendeta atau gembala sidang, haruslah benar-benar menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Haruslah ia mengunjungi tiap-tiap jemaat itu, mengasihi mereka semua sebagai saudara sama saudara, mengupayakan yang perlu untuk menolong mereka yang kesusahan. Itulah tugas penilik jemaat yang sesungguhnya, yaitu menilik –berasal dari kata “tilik”—yang mengisyaratkan fungsi perkunjungan ke rumah-rumah jemaat, berjaga-jaga atas mereka seorang demi seorang, supaya tak seorang pun yang terhilang atau terjatuh tanpa diangkat kembali. Yesus sangat mengasihi satu per satu domba-Nya, tidak rela jika ada satu pun yang terhilang. Itulah sebenarnya yang Ia singkapkan di Yohanes 21 : 15-17.

Pendeta yang malas berkunjung atau hanya mengunjungi jemaat yang berpengaruh saja adalah ciri pengerja yang tidak bertanggungjawab. Cepat atau lambat, akan timbul sungut-sungut dan ketidakharmonisan di gereja itu. Jadi, kita yang dinamai pendeta harus mau instrospeksi diri. Jika ada gejolak di dalam, kita harus sedari awal sadar, bahwa itu suatu pertanda dari ketidaksempurnaan pekerjaan kita sendiri. Jangan menyalahkan jemaat atau mencari kambing hitam, supaya tidak makin besar gejolak itu. Tirulah Rasul Dua Belas yang menyalahkan diri mereka sendiri, ketika terjadi gejolak di dalam jemaat.

Kisah Para Rasul 6 : 1-2
Pada masa itu, ketika jumlah murid makin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani, karena pembagian kepada janda-janda mereka diabaikan dalam pelayanan sehari-hari. berhubung dengan itu kedua belas rasul itu memanggil semua murid berkumpul dan berkata: “Kami tidak merasa puas, karena kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja.”









7.       MERENDAHKAN DIRI

Apa artinya merendahkan diri? Banyak orang kurang mengerti arti ajaran ini. Mereka mengira merendahkan diri itu artinya perilaku-perilaku  yang merendahkan, yakni perbuatan-perbuatan tercela dan rendahan. Ini memang kelemahan bahasa Indonesia, sehingga dalam istilah “merendahkan diri” itu dapat pula diartikan sedemikian. Tetapi bukan itu yang Tuhan maksudkan. 

Dari makna kata itu sendiri, “merendahkan” sudah jelas artinya membuat menjadi rendah. Diri adalah ego, harga diri, wibawa, segala kemegahan, kegagahan, atau kemuliaan yang kita miliki. Merendahkan diri artinya kita memperlakukan diri kita sama harganya dengan orang lain –meski dia pengemis malang sekalipun-- dengan tidak memperhitungkan kemuliaan yang ada pada kita. 

Ironisnya, ajaran merendahkan diri ini banyak diselewengkan para pendeta. Mereka menekan jemaat untuk merendahkan diri di hadapan para pemimpin (tentu saja termasuk dirinya sendiri).

Tapi renungkanlah sejenak, jika seorang anak buah membungkuk di hadapan direkturnya, apakah itu yang disebut merendahkan diri oleh Tuhan? Tentu tidak. Itu adalah tindakan menyadari kerendahan. Menyadari kerendahan adalah hal yang sudah sewajarnya. Jika ada seorang dalam posisi rendah, tapi tidak menyadari kerendahan posisinya, seluruh dunia pun akan sepakat menyebut orang itu “tidak tahu diri.” 

Kebajikan dunia mengajar kita untuk merendah pada yang di atas. Itu sudah menjadi etika sopan santun dunia. Lalu apakah bedanya kita dengan dunia jika kita merendahkan diri karena memang berada dalam posisi rendah? Sama itu dengan, jika kita hanya mengasihi orang yang mengasihi kita, lalu apa bedanya kita dengan dunia ini? Bukankah seluruh dunia melakukan itu?

Jadi, yang Tuhan maksudkan merendahkan diri artinya ialah memperlakukan diri kita sama rendah dengan orang di hadapan ketika kita sebetulnya lebih tinggi dari dia. Sama seperti ketika dikatakan: “Rendahkan suara TV!”, itu artinya suara TV itu berada di volume yang besar, yang lantas direndahkan atau dikecilkan. 

Sekarang kita mengerti, ajaran merendahkan diri dari Yesus Kristus itu ditujukan kepada kita, ketika kita dalam posisi yang lebih tinggi dari orang di depan kita. Mungkin kita adalah manajernya di kantor, atau kita adalah seniornya, atau kita adalah pemimpinnya, atau gembala sidangnya, atau suaminya, atau lebih tua darinya, atau setiap posisi dimana kita ada di atasnya. Kita membuang segala kemuliaan dan wibawa kita, dan memperlakukan diri saudara sama saudara di hadapannya.

Inilah yang Yesus lakukan, dan ini pula yang Ia ajarkan. Ia yang adalah Allah, rela datang ke dunia sebagai manusia yang begitu rendah dalam segala hal. Lahir-Nya saja sudah di kandang ternak, ketika semua manusia lahir minimal di gubuk manusia. Ia tidak punya uang, sehingga ketika Ia hendak menjawab pertanyaan bolehkah membayar pajak kepada kaisar, Ia harus meminjam uang orang. Ia mati dalam cara yang sangat terhina, seperti seorang penjahat biadap, yang disalibkan dengan telanjang. Saat Ia dikubur, tak ada yang mengantar jenazah-Nya ke kuburan, kecuali satu orang saja, yang berbelas kasihan. Yesus yang adalah Yang Maha Tinggi, menjadi maha rendah oleh karena Ia merendahkan diri-Nya. Sekali lagi, itulah yang Dia ajarkan kepada kita, para pengikut-Nya. Sudahkah anda memahami Dia sekarang?
Itulah sebabnya Ia berkata: barang siapa merendahkan dirinya, ia akan ditinggikan, dan bukan berkata: barangsiapa menyadari ia lebih rendah dari orang lain, ia akan ditinggikan.

Jika demikian, benarkah kita ketika mengkhotbahi jemaat kita supaya “merendahkan diri” dengan maksud supaya mereka tunduk kepada kita? Tidak, tidak, tidak! Motif yang seperti itu adalah dari si penipu. Ajaran “merendahkan diri” itu justru ditujukan kepada golongan yang di atas, yakni kepada kita, sebagai gembala sidangnya. Juga kepada mereka, manakala mereka aslinya lebih tinggi di sebuah tempat. Ketika kita hidup dalam cara demikian, nyatalah bahwa kita sesungguhnya sudah mati, tanpa tembok ego lagi. Orang akan merasakan Yesus melalui pribadi kita.


Menghormati Pemimpin


Sebaliknya, kepada anda yang berada dalam posisi di bawah (adik), sudah seharusnyalah menghormati mereka yang memimpin. Jika tidak, itu malah berarti bahwa dunia lebih baik daripada kita. Allah menetapkan adanya fungsi kepemimpinan supaya kumpulan itu terpelihara dengan baik.

Mengapa kita menaati tukang parkir ketika dia mengatur letak mobil kita? Apakah karena dia lebih mulia daripada kita secara sosial? Bukan, tapi karena kita tahu bahwa dia memiliki otoritas untuk melakukan itu. Otoritas ialah kewenangan yang sah untuk mengatur. Dari manakah datangnya otoritas itu? Ia datang dari kehendak Allah, yang disediakan-Nya untuk memberikan kebaikan bagi kita sendiri.

Demikianlah otoritas itu diberikan Allah kepada semua pemimpin, baik pemimpin di dalam negara, masyarakat dan keluarga, maupun di dalam gereja. Karena itu, kita harus menghormati dan menaati setiap otoritas, karena Tuhan.
 
Ibrani 13 : 17
Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu, mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu.

Jadi kita menaati mereka yang menjalankan fungsi kepemimpinan, karena Tuhan. Menaati karena Tuhan artinya karena kita menaati firman Tuhan, yang diterapkan oleh mereka. 


Pertanyaan tentu timbul: bagaimana kalau si pemimpin melakukan hal yang berbeda dengan perintah Allah? Bagaimana kalau pemimpin berkata B sementara Alkitab berkata A, manakah yang harus kita ikuti? Alkitab menjawabnya: 
 
 KisahParaRasul 5 : 29
Tetapi Petrus dan rasul-rasul itu menjawab, katanya: "Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.”

Jadi jika ada pemimpin, siapapun dia, mengajarkan hal yang bertentangan dengan firman Allah, kita tidak boleh mematuhinya. Kita harus lebih takut pada Allah daripada manusia. Sebab pemimpin sedemikian adalah pemberontak kepada Allah, yang tidak menghormati kehendak-kehendak Allah Yang Maha Tinggi.

Tuhan Yesus menggembalakan jemaat-Nya dengan memakai orang-orang yang menyerahkan diri dengan sungguh-sungguh untuk Ia pakai. Sudah sepantasnya kita menghormati dan mengasihi mereka. Tetapi orang-orang ini diperintahkan untuk menyangkal diri dan taat sepenuhnya kepada Firman, supaya tidak terjadi penyimpangan arah.

Allah itu adil. Ia tidak lebih mengasihi yang satu daripada yang lain. Ketika Dia menuntut isteri menaati suami, Dia juga menuntut suami untuk mengasihi isteri seperti mengasihi diri sendiri. Ketika Dia menuntut jemaat menaati pemimpin, Dia juga menuntut pemimpin untuk merendahkan diri dan tidak bersikap memerintah jemaat. Manakala salah satu pihak tidak mengerjakan bagiannya dengan benar, akan terjadi disharmoni, yang menjadi celah bagi si jahat untuk melepaskan panah-panah perpecahan.








8.       PEMAHAMAN YANG AGAMAWI PERIHAL LAHIR BARU DAN BAPTISAN


Tentang Harus Lahir Baru: Injil Tidak Konsisten atau...?

Sekarang kita akan membicarakan satu topik yang selama ini sangat sensitif, yang telah menjadi pijakan iblis untuk melepaskan roh perpecahan kepada gereja Kristus generasi demi generasi. Kita akan telanjangi tipuan-tipuan si penipu itu disini, agar semuanya kembali terang benderang.

Saudaraku dalam Kristus,
Satu atau dua generasi sebelum kita mungkin tidak terlalu akrab dengan istilah “lahir baru”. Hal berbeda terjadi di generasi kita, dimana istilah ini begitu populer, khususnya di aliran-aliran baru. Kita membedakan umat kristen ke dalam dua kategori, yaitu kristen lahir baru dan kristen tidak lahir baru, dan percaya –sebagaimana Alkitab ajarkan-  bahwa kristen yang tidak lahir baru tidak akan selamat.

Tetapi saya harus mengingatkan saudara, bahwa secara huruf per huruf, sebenarnya tidak ada istilah lahir baru dalam Alkitab. Yohanes 3 : 3 yang menjadi acuan kita dalam memakai istilah ini, tidak pula memakai frasa itu, melainkan dilahirkan kembali. Dalam surat para rasul sendiri, istilah yang dipakai ada beberapa, yaitu ciptaan baru, manusia baru, manusia rohani dan beberapa yang lain.

Jadi secara hurufiah, istilah lahir baru itu tidak ada di Alkitab. Istilah lahir baru secara hurufiah adalah kreatifitas kita saja. Akan tetapi karena esensinya cenderung sama saja dengan dilahirkan kembali atau manusia baru sebagaimana yang dipakai Alkitab, maka istilah lahir baru itu sah-sah saja. Hanya saja, istilah dilahirkan kembali lebih jelas atau spesifik daripada istilah lahir baru. Kata Dilahirkan membuat kita mudah mengerti bahwa itu bukan hasil perbuatan kita, sebab tidak ada orang yang dilahirkan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh pihak lain. Jadi dalam frasa dilahirkan kembali, pahamnya jelas, yakni perbuatan Allah sendiri, sebuah kasih karunia. Kata lahir dalam lahir baru, kadang-kadang terjebak pada pola paham berusaha untuk lahir baru, sehingga rentan dimasuki "injil perbuatan".

Tuhan Yesus berkata, jika kita tidak dilahirkan kembali, kita tidak bisa selamat. Pernyataan tersebut Ia sampaikan di suatu kesempatan, ketika Ia berbincang-bincang dengan Nikodemus -salah seorang tokoh besar Farisi masa itu-, waktu Nikodemus datang malam-malam menjumpai Yesus.

Yohanes 3 : 3
Yesus menjawab, kata-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.”

Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa ini adalah sebuah syarat mutlak. Jika Yesus telah berkata bahwa orang yang tidak dilahirkan kembali tidak dapat selamat, kita harus berkata ya dan amen. Kita tidak mungkin mendebat-Nya. Anda mau selamat? Jika ya, anda harus dilahirkan kembali. Tidak bisa tidak.

Tapi selanjutnya, kita akan melihat berbagai kesalahan yang dianut banyak anak-anak Tuhan di seluruh dunia, yang sudah berlangsung bertahun-tahun, mengenai doktrin lahir baru ini. Doktrin ini telah dipakai sering kali oleh iblis untuk memperlebar perpecahan di dalam gereja Tuhan. Banyak gereja melabeli dirinya gereja lahir baru, dan sebagai konsekuensinya, mereka melabeli yang lain sebagai gereja bukan lahir baru. Ini adalah kalimat lain dari berkata: “mereka semua akan ke neraka”, sebab kita tahu dari ayat di atas, hanya yang lahir baru yang beroleh selamat.

Tetapi saya harus singkapkan ini demi kemurnian tubuh Kristus, bahwa pernyataan itu keluar dari kesalahan memahami arti dilahirkan kembali, dari hati yang agamawi dan sombong. Tidak ada sedikit pun kerendahan hati di hadapan Kristus terkandung dalam perkataan seperti itu. Aroma ragi Farisi yang menusuk hidung justru tercium jelas darinya. Itu sebabnya saya sarankan, lebih baik kita buang istilah lahir baru itu, kita pakai istilah Alkitab saja, dilahirkan kembali.

Salah satu roh agamawi terbesar yang masuk dan berakar kuat di dalam seluruh gereja, termasuk kita yang menamai diri “gereja lahir baru” adalah roh seremonialisme. Kesalahan itu terletak pada definisi dari lahir baru itu sendiri, dimana banyak orang menjadi seremonialis, atau berpatokan pada upacara lahiriah.

Mari kita dengarkan Nikodemus sejenak. Ketika mendengar perkataan Yesus itu, Nikodemus mengerutkan dahinya sepenuh tidak mengerti. “Dilahirkan kembali? Apakah mungkin kita yang sudah tua ini bisa masuk kembali ke rahim bunda untuk dilahirkan sekali lagi?”

Sebagai pribadi yang lemah lembut dan rendah hati, tentulah Yesus tersenyum, lalu menjelaskan:

Yohanes 3 : 5
Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.”

Oleh pernyataan Tuhan tersebut, maka kebanyakan orang akan secepat kilat menghubungkannya dengan baptisan selam. Di titik inilah roh seremonialisme seperti  mendapat pijakan kebenaran, sehingga dengan lantang kita menyimpulkan: “Jadi, barangsiapa tidak dibaptis, dia tidak selamat!”.

Saya tidak mengerti mengapa sangat banyak orang kristen zaman sekarang berkesimpulan seperti ini. Mereka berpijak pada pikiran mereka sendiri dan tidak menyelidiki pikiran Tuhan. Jika mereka memang benar, maka itu berarti Perjanjian Baru adalah sebuah buku yang kacau balau, yang penuh pertentangan satu sama lain.

Mari kita lihat beberapa kasus. Dalam Lukas 7, dikisahkan seorang perempuan berdosa –diyakini para penafsir bahwa dia seorang pelacur terkenal- datang mengurapi kaki Yesus, hal mana membangkitkan rasa risih di hati si orang Farisi yang menjadi tuan rumah. Jelas orang Farisi ini tahu bahwa perempuan itu terkenal sebagai pelacur kenamaan. Tetapi Yesus berkata pada perempuan itu:

Lukas 7 : 50
Tetapi Yesus berkata kepada perempuan itu: "Imanmu (kepada-Ku pen.) telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!"

Lihat, dalam kasus ini, Yesus memastikan pada perempuan itu bahwa dia sudah selamat, karena dia datang dan percaya kepada-Nya. Mungkinkah Yesus membohongi perempuan itu? Tidak, tidak. Perempuan itu jelas-terang sudah selamat, karena Yesus yang memastikannya. Apapun perkataan Tuhan, kita harus tetap berkata ya dan amen.

Tapi, tunggu dulu: Hei, dia tidak dibaptis…?! Hei, perempuan itu belum lahir baru!
Bukankah kepada Nikodemus, Yesus menegaskan: orang yang tidak dilahirkan kembali tidak dapat selamat, dan sesuai pemahaman kita, kaum “gereja lahir baru” ini, itu artinya tidak dibaptis selam, tidak selamat? Ah, kacau. Injil penuh pertentangan!

Kita lihat kasus lainnya. Orang yang tersalib di sebelah kanan Yesus, mungkin sempat turut menyindir Yesus karena Ia terlihat tidak melepaskan diri dari salib-Nya, sementara orang ramai yang ada di bawah penuh siutan mengejek dan menantang supaya Ia turun dari salib itu. Tetapi menjelang detik-detik kematiannya, ia menyadari bahwa Yesus tidak memiliki kesalahan apa-apa. Ia mengubah hatinya. Dan kepada Yesus ia berkata: ingatlah aku ketika Engkau datang sebagai Raja. Apa jawab Yesus?

Lukas 23 : 43
Kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”

Ah, apa-apaan sih Tuhan Yesus ini? Mengapa Ia berkata pada Nikodemus bahwa orang hanya bisa selamat jika ia lahir baru -artinya dibaptis selam? Padahal kepada penjahat di sebelah kanan-Nya itu Ia berkata bahwa dia sudah selamat? Juga kepada pelacur yang mengurapi kaki-Nya di      Lukas 7:50? Ah, mengapa Tuhan Yesus tidak konsisten?

Anda mungkin akan mulai menebak-nebak jangan-jangan perempuan pelacur dan orang tersalib di kanan Yesus itu pasti sudah lahir baru atau sudah dibaptis yang jatuh lagi dalam dosa. Hei, anda tidak memiliki bukti dengan pikiran itu.

Juga lihat apa yang Paulus tuliskan:

Roma 10 : 13
Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.

Ini juga tidak konsisten dengan pendapat kita “si kaum gereja lahir baru” mengenai arti kelahiran baru, tetapi justru konsisten dengan kedua kasus orang berdosa di atas. 


Jadi bagaimana yang sesungguhnya? Benarkah Injil yang tidak konsisten atau pikiran kita yang tersesat? Kita ini selamat karena lahir baru –maksud kita sudah baptis selam- atau karena percaya Yesus?

Suatu hari saya terlibat perbincangan terbuka di internet dengan seorang saudara, seorang penginjil, dimana perbincangan kami itu dibaca dan dikomentari banyak orang. Kami berdiskusi mengenai perbincangan Yesus dan Nikodemus tentang kelahiran baru. Ia menuliskan beberapa hal yang benar pada saya, tetapi saya terpaksa mengoreksi sepotong pernyataannya. Apa yang saya koreksi itu ialah ini:



Karena Roh Kudus itu adalah ROH BAPA dan ROH Tuhan Yeshua sendiri yang HAKEKATNYA adalah KUDUS (dipisahkan dari hal duniawi) dan SUCI (tidak bernoda-murni adanya), maka TIDAK MUNGKIN ROH itu masuk dan tinggal dalam manusia-manusia yang TIDAK mau dan tidak melakukan perintah-NYA untuk Lahir Baru (Yoh. 3 : 4-6).

Lalu saya menjelaskan kepada beliau apa yang salah dari potongan itu, yaitu potongan terakhir: tidak melakukan perintahNYA untuk Lahir Baru. Yang saudara kita itu maksudkan tentu saja ialah perintah untuk memberi diri dibaptis selam, sebab kemudian kami dan semua pemirsa justru berkutat di seputar doktrin baptisan. Saya harus berkata, tanpa mengurangi rasa kasih saya kepada beliau, bahwa jelas potongan itu berasal dari roh agamawi yang bernama seremonialisme. Jika anda jeli dan cermat, roh ini adalah cabang dari roh induk: “Kita selamat oleh perbuatan.” Ragi Farisi. Dan ada begitu banyak umat Allah di gereja-gereja kita yang menganut paham yang sama, yang telah kita buktikan di atas bahwa paham itu membuat Perjanjian Baru terlihat kacau balau atau saling bertentangan.


Pelbagai Pembaptisan

Baptisan adalah salah satu isu yang paling sensitif di antara gereja, sehingga topik ini akan ditutup-tutupi apabila ada pertemuan antar denominasi, untuk menjaga toleransi pada pendeta sebelah. Ironisnya, di dalam gereja masing-masing, tetap saja ada pencibiran atas cara baptisan gereja lain, sehingga membuat segala senyuman persaudaraan dalam pertemuan interdenominasi itu menjadi seolah-olah hanya senyum kepura-puraan.

Kita terlalu lama diperbodoh oleh pikiran-pikiran daging, yang diilhami oleh si penipu, mengenai baptisan. Topik baptisan telah menjadi salah satu pintu bagi si jahat untuk mencegah terjadinya kesatuan umat Allah. Itu semua harus dihentikan. Pengertian-pengertian baptisan yang salah dan agamawi, yang  menjadi tembok pemisah antar saudara dalam Kristus harus dirubuhkan, dengan cara kembali kepada Injil yang benar. Kita tidak menciptakan sebuah kompromi, tapi mengembalikan baptisan itu sesuai dengan Injil Kristus.

Pertama-tama mengenai cara baptisan, gereja terbelah ke dalam dua cara, yakni cara percik dan cara dibenamkan. Mungkin ada cara guyur seperti ternyata acap dilakukan di masa awal gereja, tetapi saya belum pernah mendengar di zaman sekarang masih ada lagi praktek seperti itu.

Diyakini, bahwa pada zaman jemaat mula-mula saja, paling tidak satu generasi sesudah para rasul, telah ada cara curah atau guyur selain cara penenggelaman dalam pembaptisan. Itulah sebabnya penulis Kitab Ibrani menulis frasa “pelbagai pembaptisan” (Ibrani 6 : 2), hal mana menimbulkan kesan bahwa pada waktu itu tentu telah terdapat lebih dari satu macam cara baptis. Kita bisa meyakini itu sebagai fakta karena tertulis pula di dalam sebuah kitab bernama Didache.

Didache adalah sebuah buku katekismus atau petunjuk teknis peribadatan –mungkin yang pertama sekali dibuat- yang sekalipun tidak dimasukkan sebagai kitab suci kanonik, tetapi penulisnya dipercaya adalah seorang yang berasal dari kalangan pemimpin gereja purba. Para peneliti berpendapat kitab itu ditulis antara tahun 70 – 120 masehi, atau sezaman dengan para rasul akhir atau generasi setelah mereka.  Belum dapat diketahui siapa penulisnya, tetapi karena ia banyak memakai kata “Wahai anakku”, dipercaya penulis kitab Didache tentulah seorang yang sudah berumur cukup sepuh serta dihormati. Dipastikan bahwa ia adalah salah seorang murid yang dekat dengan Rasul Dua Belas. Penulis Didache sendiri mengakuinya secara tersirat.
 
Ketika kanonisasi Alkitab terjadi pada abad 4 Masehi, kitab ini tidak dianggap suci sehingga tidak dimasukkan sebagai bagian Alkitab, karena isi buku itu lebih sebagai petunjuk teknis tatacara ibadah atau liturgi, daripada pengajaran tentang kebenaran Kristus. Dalam pasal 7 mengenai baptisan, penulis Kitab Didache berkata begini:

Didache 7: 1-3
Berkenaan dengan pembaptisan, baptislah dengan cara seperti ini: setelah apa-apa yang kami katakan terdahulu, baptislah dengan nama Tuhan Bapa, Anak dan Roh Kudus, dengan air yang mengalir. Apabila kamu tidak mendapatkan air yang mengalir, baptislah dengan air yang lain. Bila memungkinkan, dengan air dingin (sejuk), jika tidak, dengan air panas. Jika keduanya tidak kamu dapati, maka guyurkanlah air ke kepala tiga kali dengan menyebut nama Bapa, Anak dan Roh Kudus.

Pernyataan Kitab Didache ini memberi petunjuk kepada kita bahwa pada generasi-generasi pertama gereja sendiri, sudah ada cara lain untuk pembaptisan, yaitu cara diguyurkan.

Metode curah atau guyur dilakukan tentu untuk mengakali situasi-situasi atau keadaan kawasan-kawasan tertentu dimana sulit sekali ditemukan air yang cukup untuk merendam. Gambarannya seperti cara orang Indonesia mandi, yaitu mengguyur badan dengan memakai gayung. Meski cara mandi masyarakat Timur Tengah dan Eropa zaman itu lebih umum dengan berendam di kolam atau bak pemandian, sangat masuk akal bila pada saat-saat tertentu orang mandi dengan cara guyur, seperti di negeri kita.
Cara curah masih mudah diterima akal sehat sebagai salah satu cara permandian atau pembaptisan, sebab meski cara itu tidak mengesankan simbolisasi penenggelaman manusia lama, cara itu masih mengesankan pemandian atau pencucian manusia lama. Sementara cara percik, agaknya sulit untuk menggolongkannya masih termasuk dalam makna kata mandi apalagi penenggelaman.
 
Jadi, mengacu pada kata aslinya, baptizo, yang artinya membenamkan dalam air, maka metode pembaptisan yang paling tepat dengan itu jelas cara ditenggelamkan atau dibenamkan ke dalam air. Lagi pula baptisan adalah gambaran penguburan manusia lama di dalam kematian Kristus, untuk bangkit menjadi manusia baru -dilahirkan kembali- di dalam kebangkitan-Nya.

Roma 6 : 4
Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.

Tetapi memang benar bahwa kata baptizo mengalami perluasan arti sehingga bisa pula diterjemahkan memandikan, membasuh atau menyucikan dengan air. Makna intinya ialah membersihkan kotoran-kotoran dari objek dengan air sehingga benda itu menjadi bersih. Ibarat piring kotor atau bekas pakai yang dicuci dengan air sehingga kembali bersih dan siap pakai. Itulah makna yang terkandung dalam kata  baptizo. Akan tetapi seturut dengan arti yang dilambangkannya, yaitu turut dikuburkan dalam kematian Yesus Kristus, maka metode baptis yang paling tepat ialah dengan menenggelamkan, atau baptisan selam. Cara ini pula yang diteladankan Yohanes Pembaptis maupun para rasul. Yohanes Pembaptis melakukan pelayanan pembaptisannya di sungai Yordan. Tentu jika ia membaptis dengan cara guyur apalagi percik, ia bisa melakukannya di halaman rumah, tidak perlu jauh-jauh ke sungai Yordan.


Seremonialisme: Kesesatan Agamawi Mengenai Baptisan


Sekarang kita kembali kepada pernyataan Tuhan Yesus kepada Nikodemus tentang definisi “dilahirkan kembali” khususnya mengenai arti lahir dari air. Kita semua percaya dan sepakat bahwa yang dimaksud oleh-Nya dengan “air” disitu adalah baptisan.

Di ayat lain, Tuhan juga mengungkapkan siapa yang selamat, siapa yang tidak.
 
Markus 16:16
Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.

Saudara,
Ayat di atas, maupun pernyataan pada Nikodemus, telah menjadi sumber dari segala kesalahan kita –yang memakai pikiran manusia-, generasi demi generasi, mengenai baptisan. Seluruhnya berangkat dari pemahaman seremonialisme yang agamawi, yang mengatakan bahwa kelahiran kembali baru terjadi sejak pembaptisan.

Sudahkah anda tahu sejarah awal munculnya praktek pembaptisan bayi?
 
Beberapa generasi setelah para rasul berlalu, ketika gereja dimana-mana mulai dikuasai roh agamawi, muncullah pandangan seremonialisme ini.

Mengacu pada Markus 16 : 16 dan Yohanes 3 : 5, semua orang saat itu berkata bahwa jika tidak dibaptis, tidak akan selamat, karena tidak lahir baru.

Berhubung dengan doktrin dosa turunan, maka bangkitlah kegelisahan di antara jemaat, khususnya mereka yang masih memiliki anak bayi. Mereka takut bila bayi-bayi mereka tiba-tiba mati, sudah pasti masuk neraka karena tidak sempat dibaptis. Alangkah jahatnya orang tua yang mengetahui “cara untuk selamat” tetapi tidak berbuat apa-apa bagi keselamatan bayi mereka.

Jemaat-jemaat tersebut akhirnya mendesak pemimpin gereja untuk membaptis bayi-bayi mereka. Setelah usulan itu dikaji dengan mempertimbangkan Markus 16 : 16, dimana dianut pandangan bahwa tanpa baptisan tidak ada kelahiran baru (keselamatan), akhirnya gereja setuju. Sejak itu, bayi mulai dibaptis. Praktek itu segera meluas ke seluruh dunia Kristen, turun temurun, demikianlah berlangsung sampai hari ini. Tentang mengapa metode baptisnya kemudian menjadi percik dan bukan lagi selam, itu persoalan lain lagi.

Kita, yang mempraktekkan baptisan selam dan mempercayai bahwa baptisan adalah tanda pertobatan, menolak praktek baptisan bayi. Bayi tidak memiliki kehendak apa-apa, sementara pertobatan itu haruslah selalu datang dari kehendak sendiri. Dengan demikian, kita tidak menganggap baptisan bayi sebagai baptisan, sehingga sesungguhnya mereka belum pernah dibaptis, menurut definisi baptisan dalam Alkitab. Hanya semua orang yang telah mengerti yang baik dan yang jahat yang patut untuk dibaptis, yang sudah memiliki pengertian akan dosa dan penyesalan atau pertobatan.

Tetapi karena kita juga menganut roh agamawi yang bernama seremonialisme itu, tak dapat dihindarkan, kita pun terperosok ke dalam lubang yang sama. Sama seperti mereka yang membaptiskan bayi karena percaya bahwa siapapun yang tidak dibaptis tidak bisa selamat, kita juga berkata bahwa setiap orang yang tidak dibaptis, tidak lahir baru sehingga pasti tidak selamat. Sama seperti mereka, kita menganut paham bahwa kelahiran baru (keselamatan) hanya terjadi lewat baptisan. Bila ditanya apa alasannya, sama seperti mereka, kita juga akan menunjuk Yohanes 3 : 5 dan Markus 16 : 16.

Sama saja bukan? Bahkan mereka yang membaptis bayi lebih masuk akal, karena mereka tidak ingin bayi-bayi mereka masuk neraka bila tiba-tiba mati. Bagaimana dengan bayi-bayi anda yang tidak anda baptis? Konsekuensi dari pendapat kita yang berkata: tidak dibaptis, tidak selamat, maka itu artinya bayi-bayi kita yang mati sekarang ada di neraka! Wah, wah, wah...

Jadi sekarang jelas semuanya. Orang zaman dulu membaptis bayi karena percaya bahwa siapa saja yang tidak dibaptis tidak akan selamat. Mereka menganut seremonialisme –bahwa kelahiran baru terjadi sejak manusia itu menjalani upacara baptisan. Ironisnya, para penganut baptisan selam  juga berkata hal yang sama.

Oleh doktrin Tanpa Baptisan Tiada Kelahiran Baru, ditambah dengan pengetahuan bahwa seremoni baptisan yang benar ialah baptisan selam atas keputusan sendiri, kita --yang menganut roh seremonalisme ini-- menyatakan bahwa hanya gereja kita yang selamat, sekaligus memastikan bahwa orang-orang seperti Martin Luther, John Wesley, Nommensen dan ratusan juta orang Kristen yang mati mendahului kita, termasuk mereka yang mati martir bagi nama Yesus, semuanya berakhir di neraka hanya karena satu alasan: mereka tidak dibaptis selam. Betapa sesatnya penghakiman itu!

Lihatlah betapa soal seremoni baptisan ini telah mencabik-cabik roh persaudaraan di antara kita, sesama orang percaya kepada Kristus Yesus.

Seremonialisme kelahiran baru, dimana dipercaya bahwa kelahiran baru diawali dengan upacara baptisan, juga menjadi dasar teologi seorang penyesat raksasa dari Korea Selatan, Sun Myung Moon, pendiri gereja Unification Church yang pengikutnya ada di seluruh dunia. Ia mengajarkan bahwa penyucian manusia dari dosa terjadi oleh pembaptisan. Hanya mereka yang dibaptis yang beroleh keselamatan. Konsekuensi dari ajarannya itu, seolah Allah telah mengubahkan air baptisan itu sebagai sungai surgawi yang menguduskan manusia dari segala kecemaran. Ini adalah ajaran yang berakar pada mistik Timur. Mungkin anda tahu, dalam banyak agama mistik Timur, selalu ada yang disebut tempat-tempat suci, entah itu gunung suci, termasuk juga sungai suci. Di dalam agama Hindu, sungai suci mereka adalah Gangga, dan siapa mandi atau dibasuh di air sungai Gangga, ia dikuduskan dari segala dosa. Penyesat dari Korea itu telah dilhami akar mistik yang sama. Lebih lanjut, ia menyebut bahwa kematian Yesus di atas kayu salib hanya memberi separuh keselamatan saja (tidak sempurna), yang harus disempurnakan dengan perbuatan-perbuatan tertentu. Ia sendiri mengklaim dirinya adalah Kristus selanjutnya, yang menyempurnakan karya penyelamatan Yesus.
 
Bandingkan ajaran sesat di atas dengan doktrin kita yang berkata bahwa Tanpa Baptisan Tiada Kelahiran Baru. Mengapa kita terjebak di dalam roh seremonialisme yang agamawi mengenai baptisan ini? Itu karena kita lupa arti dari baptisan, atau kalaupun kita ingat, kita tidak sungguh-sungguh menerapkannya dengan konsisten.


Baptisan Tanda Pertobatan

Yesus memang berkata: lahir dari air. Kita semua sepakat bahwa itu artinya baptisan. Tapi setiap orang yang gagal mempertahankan arti baptisan sebagai tanda pertobatan di dalam pikirannya, tak paham bahwa itu adalah pernyataan alegoris atau perlambangan.

Baptisan itu sesungguhnya adalah simbolisasi dari pertobatan. Atau setelah Yohanes Pembaptis berlalu, baptisan itu adalah tanda "pertobatan kepada Yesus" atau tanda "penyerahan diri pada Yesus" atau tanda "menerima kasih karunia oleh kematian Yesus di kayu salib untuk penebusan dosa kita". Jadi setiap kali Yesus atau rasul menyebut kata “baptisan”, itu haruslah artinya pertobatan. Kita tidak boleh lebih dari situ, tak boleh kurang pula dari situ. Ini anda garis bawahi dulu: bahwa di masa Yesus, tanda orang bertobat adalah memberi diri dibaptis. Itulah arti sesungguhnya dari baptisan.

Jadi, ketika Yesus berkata: “lahir dari air”, Ia sebenarnya sedang mengatakan “bertobat”, secara simbolis. Ketika Ia berkata: “percaya dan dibaptis” di Markus 16:16, Ia sebenarnya sedang memaksudkan “percaya dan bertobat”. Kenapa? Sebab di zaman itu, sekali lagi saya nyatakan, baptisan adalah murni artinya tanda pertobatan. Mari kita lihat beberapa buktinya:

Matius 3 : 6
Lalu sambil mengaku dosanya mereka dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan.

Pelayanan baptisan bermula dari Yohanes Pembaptis, yang membaptis orang di sungai Yordan. Yohanes Pembaptis menyerukan orang Israel untuk bertobat, dan setiap orang yang mendengar seruan itu, pergi kepada Yohanes untuk bertobat dengan cara memberi diri dibaptis.


PERHATIKAN: mereka tidak bertobat hari ini, lalu dibaptis Yohanes dua atau tiga bulan kemudian setelah mereka selesai mendapat konseling atau kursus pemuridan. Bukan. Mereka datang untuk bertobat di hadapan Yohanes, dan Yohanes membaptis mereka detik itu juga. Bertobat sekarang, dibaptis sekarang! 

Sekarang coba anda jawab sendiri, sebenarnya Yohanes ini penyeru baptisan atau penyeru pertobatan? Jelas, Yohanes Pembaptis penyeru pertobatan atau penyesalan dari segala dosa. Itulah yang menjadi inti sari pelayanannya. Jadi kita tidak boleh keliru dalam memahami pelayanan Yohanes seolah-olah dia adalah penyeru sakramen baptisan. Dia penyeru pertobatan!

Sekarang kita memeriksa apa yag dilakukan para rasul Yesus Kristus.

Kisah Para Rasul 2 : 41
Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa.


 Ini adalah KKR pertama yang pernah terjadi, persis di Hari Pentakosta. Petrus berkhotbah pada kerumunan massa yang berkumpul untuk menyaksikan keanehan yang terjadi -dimana para pengikut Kristus terlihat seperti orang-orang mabuk- oleh pencurahan Roh Kudus.

Oleh urapan Roh, Petrus berhasil menggetarkan seluruh orang dengan khotbah Injil Kristus yang ia sampaikan. Dengan hati yang terharu, kerumunan itu bertanya pada Petrus apa yang harus mereka lakukan untuk beroleh anugerah keselamatan tersebut. Dan Petrus menjawab: “Bertobatlah dan beri dirimu dibaptis di dalam nama Yesus Kristus”. Kerumunan itu menurut, lalu hari itu juga mereka dibaptis sebagai tanda pertobatan mereka, dan jumlah petobat itu sebanyak tiga ribu jiwa. Hari itu juga. Bertobat sekarang, dibaptis sekarang!

Berapa lama kira-kira durasi khotbah Petrus? Melihat dari rangkuman khotbahnya, sepertinya paling lama ia berkhotbah satu jam. Sehabis berkhotbah itu, para hadirin langsung merespon untuk bertobat, dan dibaptis saat itu juga. Mengingat jumlah yang turut dibaptis sebanyak tiga ribu orang, tampaknya justru upacara baptisan itu yang makan waktu lebih dari satu jam –mungkin sampai sore, sebab lokasi Petrus berkhotbah tidak berada di tepi sungai besar, melainkan di suatu tempat di dalam kota Yerusalem. Kemungkinan besar, seremoni pembaptisan itu dilakukan di dalam kolam pemandian, sehingga barisan antrian tentu panjang. Itulah sebabnya Alkitab menerangkan dan pada hari itu juga.

Selanjutnya kita lihat apa yang dilakukan oleh Filipus.

Kisah Para Rasul 8 : 38
Lalu orang Etiopia itu menyuruh menghentikan kereta itu, dan keduanya turun ke dalam air, baik Filipus maupun sida-sida itu, dan Filipus membaptis dia.

Anda sudah tahu kisah ini. Ada seorang sida-sida dari Etiopia sedang dalam perjalanan naik kereta, sambil membaca Kitab Nabi Yesaya. Filipus –kemungkinan besar berjalan kaki- mendekati kereta itu dan mulai mengajaknya berbincang. Sida-sida itu menyuruhnya naik, dan Filipus menceritakan Injil Yesus. Sida-sida itu begitu memperhatikan dan akhirnya percaya, lalu ia meminta dibaptis (bertobat kepada Kristus Yesus) saat itu juga. Filipus melakukannya. Berapa lama Filipus memberi penjelasan? Melihat dari rangkuman khotbahnya, katakanlah satu atau dua jam. Yang pasti, upacara baptisan itu terjadi saat itu juga. Bertobat sekarang, dibaptis sekarang!
Sekarang kita lihat juga apa yang dilakukan oleh Paulus:

Kisah Para Rasul 16 : 33
Pada jam itu juga kepala penjara ituk membawa mereka dan membasuh bilur mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya memberi diri dibaptis.

Ini adalah kisah dimana Paulus dan Silas sedang terpenjara karena Injil. Malam itu mereka menyanyi memuji Tuhan, lalu terjadilah gempa bumi yang hebat, yang membuat sendi-sendi penjara itu goyah hingga semua pintu dan semua belenggu para tahanan terlepas. Kepala penjara yang terbangun oleh gempa, saat itu juga menilik keadaan penjara. Ia demikian takut melihat semuanya sudah terbuka. Ketika ia hendak bunuh diri, Paulus mencegahnya, lalu menceritakan Injil Yesus kepadanya. Dan lihat, ayat di atas berkata pada jam itu juga – yaitu jam dimana Paulus menginjilinya, dan seketika itu juga –usai Paulus selesai berbicara, ia dan keluarganya dibaptis. Bertobat sekarang, dibaptis sekarang!

Demikianlah di zaman Yesus dan para rasul, baptisan benar-benar perlambang lahiriah dari pertobatan, yang dilakukan seketika itu juga, yaitu pada saat orang memutuskan bertobat. Hal itu membuat setiap kali orang di zaman itu berkata: “Kemarin sore dia memutuskan untuk bertobat”, secara otomatis terbentuk gambaran di benak pendengar bahwa kemarin sore orang itu dibaptis. Atau sebaliknya, setiap kali orang di zaman itu berkata: “Berilah dirimu dibaptis,” secara otomatis pendengar tahu arti rohaniahnya yaitu “Bertobatlah.”

 Bandingkanlah itu dengan pernyataan berikut: “Dia sudah diwisuda”, maka sudah pasti akan terbentuk definisi di benak pendengar yaitu: “Dia sudah lulus kuliahnya.” Juga ketika orang berkata: “Dia sudah lulus kuliahnya,” maka sudah pasti orang membayangkan orang itu telah diwisuda. Wisuda adalah tanda lahiriah dari lulus kuliah.

Sekarang anda sudah mengerti, bahwa setiap kali di dalam Injil, Yesus berkata: dibaptis, itu artinya bertobat, dan setiap kali dikatakan: bertobat, itu artinya adalah dibaptis (pada saat yang bersamaan). Mari kita buat semuanya menjadi terang:

Yohanes 3 : 5
Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.”

Dengan kata lain:
Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak bertobat dan (dilahirkan dari) Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.”

Markus 16 : 16
Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.

Dengan kata lain:
Siapa yang percaya dan bertobat akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.

Akan tetapi saya harus memberitahukan sekali lagi, tanpa anda mengerti bahwa di zaman Yesus, bertobat = dibaptis, dibaptis = bertobat, yang dilakukan pada detik yang bersamaan, maka anda tidak akan sanggup menerima kenyataan itu. Kenapa? Sebab pikiran anda selama ini dikuasai oleh doktrin SEREMONIALISME.


Kesesatan  Kita: Baptisan Adalah Langkah Berikutnya Setelah Bertobat

Di masa sekarang, dimana kekristenan telah dirantai oleh sistem-sistem liturgi agamawi Gereja, yang mendegradasi ajaran Terang Kristus menjadi Sistem Agama Kristen yang termanifestasi dalam Peraturan Gereja, pertobatan telah terpisah dari baptisan. Kita menyebut baptisan itu sakramen, yang artinya seremoni sakral, entah dari kitab mana kita mengambil istilah itu. Sungguh itu hanya bisa-bisanya manusia, kreasi guru-guru Sistem Agama Kristen (ahli teologi) dari zaman yang disebut Zaman Kegelapan Gereja yang agamawi itu, dan kita mengamininya tanpa dasar, sehingga tanpa sadar kita telah menciptakan kitab suci tambahan.
 
Di satu kubu, khususnya yang mempraktekkan baptisan bayi, baptisan sudah mirip sebagai tanda inagurasi, tanda pelantikan, untuk menjadi anggota gereja, tak peduli orangnya bertobat atau tidak. Baptisan telah berubah dari pernyataan pertobatan menjadi upacara seremonial agama -dan ini menyedihkan.


Di kubu yang mempraktekkan baptisan selam, juga umumnya salah kaprah. Demi mempertahankan status sakramen tadi, baptisan bukan lagi tanda pertobatan namun telah menjadi langkah berikutnya setelah pertobatan.

Baptisan kita sebut sakramen sedangkan pertobatan bukan, sehingga dengan demikian,  kita memisahkan keduanya dan memberi definisi yang tidak alkitabiah pada baptisan. Hari ini kita mempertobatkan orang kepada Yesus, tapi baru membaptisnya beberapa bulan kemudian, menurut jadwal gereja, setelah mereka mengikuti suatu rangkaian pemuridan. Kita membuat prasyarat tambahan bagi para peserta baptisan, bukan lagi sebatas keputusan bulat untuk bertobat.

Itulah sebabnya saya katakan bahwa dalam prakteknya, baptisan selam yang kita praktekkan pun sesungguhnya bukan lagi tanda pertobatan sebagaimana Alkitab ajarkan, tetapi adalah langkah berikutnya setelah pertobatan. Bertobat sekarang, dibaptis belakangan.

Kenapa dibaptis belakangan? Karena harus menunggu jadwal kesibukan gereja dan Pak Pendeta, juga para peserta harus lebih dulu mengikuti semacam kursus pemuridan yang berminggu-minggu. Tidak dapat tidak, ini juga “alkitab tambahan”. Agamawi!

Kita membiarkan semua orang percaya menginjil dan mempetobatkan orang berdosa, tetapi tidak membiarkan mereka untuk membaptis, karena itu tadi: baptisan itu sakramen, bertobat bukan sakramen. Dari situ saja sudah jelas bahwa kita menganggap kedua peristiwa itu berbeda. Disini saja kita sudah bertentangan dengan Alkitab.

Soal menginjili dan mempertobatkan orang, kita bilang siapa saja boleh, karena itu bukan sakramen. Soal pembaptisan, kita berkata: harus oleh pendeta, yang sudah punya lisensi dari organisasi resmi gereja, punya sertifikat sebagai pendeta, karena itu sakramen.
 
Ironisnya, ketika kita telah memisahkan peristiwa bertobat dan dibaptis, kita masih saja berkata: Tanpa Baptisan, Tiada Kelahiran Baru. Tidak lahir baru, tidak selamat.
 
Kesimpulan kita, yang dibutakan roh agamawi seremonialisme ini: Jika anda tidak mengikuti seremoni baptisan selam, anda tidak akan selamat. Tanpa sadar, kita mengajarkan bahwa sumber keselamatan manusia ialah perbuatan sendiri, bukan kasih karunia dari peristiwa salib di Golgota.

Kadang kala, gereja kita hanya menjadwalkan upacara baptisan itu dua kali dalam satu tahun, supaya ramai-ramai maksudnya, sedangkan penginjilan untuk mempertobatkan silakan dilakukan jemaat-jemaat yang terpanggil setiap hari. Sementara itu mereka yang telah bertobat tadi, karena belum dibaptis, tetap kita sebut belum lahir baru.
Aneh sekali kita ini. Kita pertobatkan manusia kepada Kristus, tapi bilang: "Tunggu dulu lahir barunya lima bulan lagi, karena Pak Pendeta sibuk banget, nggak sempat membaptis." Lalu jemaat polos itu bertanya: "Tapi Pak, kalau saya keburu mati, padahal saya belum dibaptis untuk lahir baru, gimana dong? Batal dong saya masuk sorga, masuk neraka dong saya...??" Dengan gaya yang agamawi, kita bilang: "Ya makanya sebelum dibaptis jaga kesehatan dulu baik-baik, jangan sampai mati dulu. Minta Tuhan jagai!" Doktrin yang begini sudah sangat mengacaukan sekali.
Dan itu semakin kacau oleh penambahan birokrasi untuk pembaptisan ini. Ada begitu banyak gereja pada hari-hari ini mempersyaratkan orang yang ingin dibaptis supaya melampirkan surat ijin dari orang tua bahkan pula surat pengantar pindah gereja dari gerejanya yang lama. Itu sangat sulit, lebih-lebih bagi para perantau maupun mereka yang berasal dari agama seberang. Sudah begitu, gereja ini tetap saja berkata: jika tidak dibaptis selam, tidak lahir baru = tidak selamat.

Lihat, untuk beroleh keselamatan dari Kristus saja, harus memenuhi syarat-syarat birokrasi manusia. Benarkah ini yang diajarkan oleh Tuhan kita..??

Semua kesalahan itu sungguh menyedihkan dan memuakkan. Saya sangat waswas akan berakhir dimana semua orang yang agamawi di kehidupan kekal nanti. Jika anda selama ini salah satu dari mereka, dengan kasih yang sungguh saya mengharapkan anda rela bertobat.


Mari Kembalikan Pada Teladan Injil Kristus

Mestinya ketika orang bertobat, saat itu juga ia harus dibaptis, seperti yang dicontohkan para rasul, supaya tetap terpelihara makna baptisan itu sebagai tanda pertobatan. Dan ijinkan setiap orang yang menginjili petobat itu untuk membaptisnya. Artinya, kalau anda mempertobatkan seseorang, anda mestinya harus membaptisnya saat itu juga. Sayangnya, tidak akan ada gereja di Indonesia -birokrasi agamawi yang payah itu- yang akan mengakui baptisan yang anda lakukan itu. Mereka akan menuntut anda: "Atas nama gereja mana kamu baptis dia? Kamu pendeta denominasi mana, mana surat kuasamu dari pendetamu? Mana sertifikat baptisan orang ini? Baptisanmu ini baptisan liar! Kamu sesat!".
Akibatnya, banyak anak-anak Tuhan yang telah mati tidak dibaptis dengan benar di segala zaman, termasuk zaman Martin Luther, John Wesley, Nommensen, dan ratusan juta lainnya, sejak kekristenan telah berubah dari Kerajaan Allah menjadi birokrasi agama.

Oleh sebab itu, sudah semestinya pejabat-pejabat resmi gereja mulai memurnikan kembali ajaran mereka mengenai baptisan. Semua gereja harus kembali kepada makna baptisan yang alkitabiah, yakni sebagai tanda pertobatan, dan bukan ritual yang disebut sakramen, atau pun langkah berikutnya dari pertobatan, yang sama sekali tidak alkitabiah. Pemercikan bayi boleh saja tetap dijalankan, tetapi namanya harus diganti, bukan lagi baptisan melainkan acara penyerahan anak, sebagaimana kebiasaan orang Israel di masa dulu. Kita anggap saja pemercikan itu sebagai estetika kerohanian semata, sebagai sebuah cara ibadah, asalkan cara itu tidak diperlakukan sebagai keharusan agama yang tidak bisa diganti, supaya kita tidak malah menambah-nambah jumlah "Taurat Baru" di gereja yang suah begitu banyak. Anda sudah tahu kapan sebuah "liturgi gereja" berubah menjadi ajaran agama Kristen (Taurat Baru)? Yaitu ketika liturgi itu tabu untuk diubah dan jika dilanggar, dianggap "menyimpang" (dosa). Sebab toh kita tahu, dari zaman ke zaman orang mengembangkan cara ibadah. Dulu tidak ada koor, sekarang ada; dulu tidak ada band pengiring ibadah, sekarang ada; dulu tidak ada yang namanya naik sidi, sekarang ada, dan sebagainya. Tentang acara penyerahan anak, lagi pula, bukankah Tuhan juga berkata supaya kita membawa anak-anak itu kepada-Nya?

Mari membongkar rantai-rantai agamawi dari dalam gereja. Tuhan Yesus akan segera datang. Waktu tinggal tersisa sangat-sangat sedikit. Buang istilah sakramen dari benak gereja, supaya kita tidak membuat syarat-syarat agamawi tertentu menurut pangkat-pangkat manusia untuk mengakui seseorang layak membaptis atau tidak. Fokus mata Tuhan tertuju pada si petobat (peserta baptis), apakah ada hati yang sungguh atau tidak, bukan kepada layak tidaknya si pembaptis dari segi umur atau jabatan.

Jadi, biarkan setiap orang yang menginjili membaptis si petobat. Atau jika hal itu dinilai rawan kekacauan, sebarkanlah pelayan-pelayan terlatih, sebagai pengerja untuk membaptis --siapa tahu si jemaat yang menginjili itu belum terlatih membaptis-- sehingga si jemaat yang menginjili bisa segera menghubungi mereka tatkala berhasil mempetobatkan seorang jiwa secepatnya, tanpa harus menunggu penjadwalan agenda kerja gembala sidang lagi. Usahakanlah si petobat dibaptis seketika itu juga ia menyatakan bertobat. Namun jika masih sulit untuk dilakukan pada jam yang sama, berupayalah membangun kinerja gereja anda sedemikian rupa sehingga peristiwa pembaptisan sedapat-dapatnya dilangsungkan pada hari yang sama dengan pertobatan orang itu.

Buanglah diskusi-diskusi mengenai sakramen baptisan. Istilah yang tidak ada dalam Alkitab ini membuat kita terjebak pada bayangan obsesi seolah-olah baptisan adalah sebuah seremoni yang harus dilakukan dengan tatacara yang sangat agung, penuh lambang-lambang agama, penuh khusuk, jubah-jubah putih, serta urutan-urutan liturgi protokoler yang mencekam. Semua itu kesakralan palsu.

Jika anda saya minta membayangkan bagaimana suasananya saat Yohanes Pembaptis membaptis ratusan orang di sungai Yordan setiap hari, atau saat Petrus dkk. membaptis ketiga ribu petobat baru di Yerusalem itu, seperti apa anda membayangkannya?

Saya membayangkannya sangat hiruk pikuk, penuh senyuman sukacita, penuh pelukan kasih, penuh tegur sapa dan sendau gurau. Petrus pasti banyak tertawa atau tersenyum saat membenamkan orang-orang itu ke dalam air, dan orang-orang itu mungkin ada juga yang menggodai Petrus lalu berpelukan penuh kasih sukacita, dan tentu saja air mata haru. Tidak ada liturgi atau protokoler yang kaku disana, tidak ada jubah-jubah seragam –melainkan pakaian yang melekat di badan saja.

Meski keteraturan itu perlu, kesakralan tidak diukur Tuhan dari keteraturan liturgi yang dibuat manusia, melainkan dari kesungguhan hati yang Allah temukan di tempat itu. Di dalam Tuhan, segala aktivitas yang kita lakukan adalah sakramen atau aktivitas kudus. Makan adalah kudus, bersendau gurau adalah kudus, tidur adalah kudus, bernyanyi adalah kudus, berdoa adalah kudus. Sebab bukan karena kita melakukannya dengan “agung dan khikmat” menurut citarasa estetika manusia yang membuatnya menjadi kudus, tetapi karena kita melakukannya dari hati dalam hadirat Yang Maha Kudus. Hadirat Tuhanlah yang menguduskan, bukan kekhikmatan liturgi.

Jadi segala kegiatan kita di dalam Tuhan adalah sakramen, adalah sakral. Karena itu, istilah sakramen ini tidak perlu dihubung-hubungkan lagi dengan seremoni tertentu. Buang saja istilah itu sebab istilah itu menggoda jiwa agamawi kita.


Baptisan Adalah Langkah Pertama Kekristenan

Sekarang tentang kebiasaan agamawi banyak gereja, yang membaptis orang setelah orang itu menjalani masa pemuridan beberapa bulan.

Sebagaimana Alkitab katakan, baptisan itu tanda pertobatan atau penyerahan hidup kepada Tuhan Yesus, Juruselamat dunia, yang telah mengorbankan diri-Nya di kayu salib untuk pengampunan dosa manusia. Tidak lebih. Tidak kurang. Jadi jangan menganggap bahwa baptisan itu adalah anak tangga tertinggi dari kekristenan, sehingga orang harus benar-benar dipersiapkan dulu secara matang, termasuk pengetahuan Alkitabnya, barulah orang itu boleh dibaptis.

Kita sudah melihat apa yang terjadi di zaman para rasul. Sesungguh-sungguhnya, baptisan itu justru adalah anak tangga terbawah atau dasar. Baptisan, yaitu pertobatan, semestinya adalah langkah pertama orang-orang memulai perjalanan hidupnya bersama Yesus. Langkah berikutnya adalah pengajaran, pemuridan, pendewasaan, pengujian iman, ketekunan, dan seterusnya.

Para pendeta di zaman agamawi ini menahan dirinya untuk membaptis seseorang karena ia ingin orang itu matang dulu pemahamannya akan dasar-dasar teologi kekristenan. Itu salah besar. Lihat apa yang dilakukan para rasul, mereka membaptis orang di saat pertama orang itu menyatakan bersedia terima Yesus karena bertia Injil, bukan setelah mereka benar-benar telah mengerti agama kristen, atau setelah mereka membuktikan perubahan karakter.

Coba bayangkan lagi KKR Pertama Petrus di Yerusalem, atau saat Paulus membaptis sang kepala penjara dan seisi rumahnya: sedalam apa orang-orang itu telah memahami dasar teologi kekristenan? Mereka sebelumnya bahkan belum tahu apa-apa tentang Yesus, kecuali mendengar nama dan ketokohan-Nya saja. Ketika mereka dibaptis, mereka hanya mendengar khotbah Injil kurang lebih satu jam, bahkan menjadi khotbah pertama yang mereka pernah dengar tentang arti salib Yesus Kristus. Mereka belum pernah membaca ayat Injil satupun, sebab saat itu Injil belum ditulis. Bisa kita katakan, ketika mereka dibaptis oleh para rasul, pemahaman doktrin kristen mereka masih NOL. Hanya hati mereka saja yang disentuh oleh berita Injil itu. Modal mereka hanya satu, mereka percaya, mereka tergerak, mereka tersentuh, dan mau menyerahkan diri pada Yesus yang telah mengampuni mereka. Soal kedewasaan rohani ataupun pemahaman doktrin Kristen, mereka benar-benar nol. Tapi lihat, para rasul tidak menunda untuk membaptis mereka.
 
Sekarang, sebagai pengurus gereja yang selama ini telah dirantai oleh protokoler liturgi, birokrasi dan paham-paham agamawi seputar upacara baptisan, kita merasa asing dengan apa yang dilakukan para rasul itu. Saya yakin anda sendiri merasa asing dengan tindakan mereka itu. Kita melakukan hal yang jauh berbeda dengan mereka. Kita membuat syarat-syarat sendiri. Kita ditipu oleh imajinasi mistik tatkala mendengar istilah sakramen. Para rasul itukah yang tersesat atau kita? Mari kita bertanya pada Tuhan Yesus saja.


Kita tinjau kembali amanat agung Tuhan Yesus, yaitu amanat supaya kita menjangkau segala bangsa menjadi murid-Nya atau pengikut-Nya. Kita akan lihat berada di tahap mana baptisan/pertobatan itu berada.

Matius 28 : 19-20
Karena itu pergilah (= penugasan resmi kepada kita),

jadikanlah semua bangsa murid-Ku (=tujuan atau judul besar tugas kita diutus)
 dan baptislah mereka di dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (=langkah awal dari rangkaian tugas kita, yang artinya kita sudah tahu yaitu pertobatkanlah mereka),
dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu (=langkah
atau tugas kita seterusnya, yaitu memuridkan mereka).
 Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.

Dari amanat itu, kita sekarang tahu bahwa baptisan (perkara lahiriah dari pertobatan), ternyata ada di tahap dasar dari kehidupan kekristenan. Setelah orang dibaptislah baru dia diajar/dimuridkan, bukan sebaliknya.

Dengan demikian, ternyata para rasul itulah yang benar, yaitu membaptis orang sekalipun pemahaman doktrin orang itu masih NOL, semata-mata hanya karena orang itu memutuskan percaya pada berita Injil yang ia dengar, bertobat atau bersedia menerima kasih karunia Yesus Kristus. Para rasul itu membuat segalanya menjadi jelas, bahwa baptisan itu hanyalah tanda pertobatan saja, yaitu tanda diperdamaikannya orang itu dengan Allah, tanda menerima kasih karunia Allah di dalam kematian Yesus Kristus. Baptisan pertobatan itu langkah pertama mereka menjadi pengikut Kristus.

Sebaliknya kita, si penganut agamawi yang buta ini, telah membuatnya terbalik: Bertobat dulu, baptis belakangan, setelah si petobat paham dasar-dasar hukum teologi kekristenan.

Gereja yang memuridkan seseorang sebelum membaptisnya selalu beralasan: “Kami tidak ingin baptisan kudus itu menjadi murahan dan sia-sia, karena seorang petobat bisa saja berbalik pada kehidupan lama jika belum dibekali dulu dengan pemahaman yang kokoh sehingga sia-sialah baptisan itu nantinya.”

Alasan itu sama sekali tidak alkitabiah, terlalu dicari-cari. Benar bahwa petobat baru rentan kembali ke kehidupan lama. Tapi itu bukan alasan untuk menolak membaptisnya pada saat ia bertobat. Pikiran itu justru bukti bahwa anda memisahkan kedua peristiwa itu.

Jauhkan pikiran anda dari imajinasi seolah-olah baptisan adalah sebuah “peristiwa sakral dan mistis”. Orang itu sedang bertobat berhubung iman percayanya akan Yesus setelah mendengar Injil dan menerima kasih karunia pengampunan-Nya itu, dan kita melayaninya dengan cara membaptis. Cukupkan pikiran anda sampai di titik itu, supaya anda tidak terjebak pada pola pikir yang membedakan peristiwa pertobatan dengan pembaptisan yang agamawi.

Jangan bebal. Soal dia kelak jatuh dalam dosa lagi, bahkan bukankah kita sendiri –sang pembaptis- masih bisa jatuh dan binasa pada akhirnya? Itulah gunanya pemuridan dan pengajaran, yang menguatkan anak-anak Allah, serta ketekunan di dalam hadirat Tuhan, setelah mereka menerima Yesus. Satu hal percayai, Roh Kudus telah ada dalam mereka, yang akan menuntun hidup mereka sebagai Gembalanya. Roh Yesus itulah benar-benar Gembala kita, sebab Dia tidak pernah meninggalkan kita 24 jam satu hari.


Markus 16 : 16
Saya ingin membicarakan sekali lagi ayat ini, karena ayat inilah yang menjadi pegangan bagi mereka yang mempraktekkan baptisan bayi, juga pegangan mereka yang menyerukan baptisan selam. Ketika mereka membaca ayat ini, sementara mereka telah berada pada zaman dimana secara teologis baptisan telah dipisahkan dari pertobatan, mereka tetap percaya bahwa orang yang tidak dibaptis tidak akan selamat, atau baptisan itulah awal kelahiran baru.

Kita baca ayat itu:

Markus 16:16
Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.

Di atas sudah kita jelaskan bahwa makna rohani ayat itu adalah siapa percaya dan bertobat, karena sudah kita terangkan bahwa di masa itu, dibaptis benar-benar artinya tanda pertobatan: bertobat sekarang, dibaptis sekarang.

Tetapi sekalipun kita bersikeras bahwa yang dimaksud dengan "dibaptis" dalam ayat itu benar-benar adalah seremoninya, dan bukan alegori dari pertobatan, sekarang coba anda teliti sekali lagi, adakah kelompok kristen yang tidak diterangkan oleh ayat itu?

Lihat, ayat itu hanya berbicara tentang kelompok orang yang percaya dan dibaptis, serta kelompok orang yang tidak percaya.

Masih adakah kelompok lainnya dari orang kristen? Tentu saja masih, dan banyak sekali, yaitu kelompok percaya dan bertobat tapi tidak dibaptis, maupun kelompok dibaptis tapi tidak sungguh-sungguh bertobat / percaya. Markus 16:16 tidak menjelaskan nasib mereka. Tapi apakah Injil hanya terdiri dari satu ayat itu saja? Ataukah ada bagian lain dari Injil yang menjelaskannya? Ada. Untuk kelompok percaya, bertobat tapi tidak dibaptis, misalnya apa yang kita kutip tentang perempuan berdosa yang mengurapi kaki Yesus, serta orang yang tersalib di sebelah kanan-Nya.

Mengapa seorang percaya dan bertobat bisa tidak dibaptis? Ada beberapa penyebabnya:

1. Karena keadaan yang tidak memungkinkan lagi. Misalnya, orang yang tersalib di sebelah kanan Yesus.
2. Bertobat menjelang nafasnya yang terakhir tanpa sempat dibaptis. Misalnya: orang-orang sekarat di rumah sakit atau medan perang yang diinjili lalu mati setelah berdoa pertobatan.

3. Tidak ada yang membaptisnya. Misalnya seorang petobat yang tinggal di tengah-tengah kaum yang menolak Yesus, sementara ia tidak mengenal satu pun penginjil atau pendeta di daerahnya. Di daerah Arab Saudi misalnya, hanya ketahuan saja murtad dari Islam akan langsung dihukum mati, begitu juga dibanyak daerah lain di dunia ini.

4. Tidak sempat dibaptis. Misalnya, dia petobat beberapa bulan lalu, tapi tidak segera dibaptis pendeta gerejanya karena jadwal sibuk pak pendeta, lalu dia meninggal dunia.

5. Pendetanya atau pemimpin-pemimpin gerejanya tidak mempraktekkan baptisan selam sebagai tanda menerima Yesus, sehingga ia tidak mengerti atau masih dibingungkan akan doktrin mengenai baptisan, ketika ia mati. Ini yang terjadi pada zaman Martin Luther, John Wesley dan ratusan juta orang kristen di seluruh dunia yang mati sebagai orang taat bahkan mati martir oleh aniaya dari zaman ke zaman.


Dilahirkan Kembali oleh Perkara Lahiriah atau Perkara Rohaniah?

Saudara..
Alangkah alkitabiahnya jika baptisan itu bersamaan dilakukan pada saat pertobatan, sebagaimana yang Allah kehendaki, yang diamanatkan oleh Kristus, serta yang dicontohkan para rasul. Sebab keduanya adalah satu perkara yang sama, yakni pertobatan, dimana baptisan menjadi tanda lahiriahnya.Mari berpegang pada Alkitab dengan taat. Mari kita katakan pada semua pengajaran Yesus dengan "ya dan amen". Itulah yang seharusnya.

Kita sudah terlalu lama memisahkan keduanya. Sekarang, karena kita dipaksa oleh sistem agamawi gereja untuk menjalani pemisahan itu, kita harus tegas memahami, manakah yang menyelamatkan: perkara lahiriahnya atau perkara rohaniahnya?

Mari kita dapatkan jawabannya dari pertanyaan ini: ada seorang dibaptis tapi tidak benar-benar bertobat –mengerjakan perkara lahiriah tapi tidak perkara rohaniah; dan ada seorang lagi benar-benar hidup dalam pertobatan tapi tidak pernah dibaptis –mengerjakan perkara rohaniah tapi tidak perkara lahiriah. Menurut iman kristen anda, manakah dari keduanya yang selamat apabila mereka mati pada hari itu juga?

Jadi, jikapun manusia menceraikan keduanya, percayalah bahwa keselamatan kita ialah karena kita bertobat dan percaya kepada Kristus Yesus (Ingat kembali Lukas 7 : 50).
 
Baptisan hanyalah tanda lahiriah pertobatan / penyerahan diri pada Yesus untuk menerima kasih karunia-Nya, tidak lebih dan tidak kurang. Itu artinya, pertobatan adalah perkara utamanya. Seremoni baptisan adalah perkara lahiriah, sedangkan pertobatan perkara rohaniah. Orang bisa saja dibaptis berkali-kali meskipun tidak sungguh-sungguh bertobat. Tetapi pertobatan, sekalipun tidak disertai tanda lahiriahnya yaitu baptisan, tetaplah sebuah pertobatan.

Penebusan segala dosa kita oleh salib Yesus itu sempurna. Tidak ada perbuatan seremoni apapun yang bisa kita tambahkan untuk melengkapinya. Sehingga barangsiapa berbalik dan berseru kepada Yesus, dia dengan pasti diselamatkan. Ini firman Tuhan, yang "ya dan amen".
Roma 10 : 13
Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.

Baptisan bukanlah suatu perkara yang berdiri sendiri. Ia hanyalah bahasa lambang dari sesuatu. Jika yang dilambangkannya itu tidak ada, maka itu lambang yang kosong atau kamuflase. 

Sama seperti batu nisan atau bangunan makam dibuat, adalah lambang bahwa ada orang mati yang dikuburkan dibawahnya. Tetapi jika tidak ada mayat yang pernah dikuburkan dibawahnya, benarkah batu nisan dan bangunan makam itu adalah kuburan? Jelas itu hanya sebuah tipuan, sebuah kamuflase.

Tetapi, jika di dalam tanah itu benar ada mayat yang dikuburkan, namun tidak dibuatkan batu nisan dan bangunan makam, masih dapatkah tempat itu disebut kuburan? Sebenarnya masih, akan tetapi orang-orang tidak tahu menahu.
 
Jika demikian, manakah yang paling hakiki dari defenisi sebuah kuburan: ditempat itu ada orang mati dikuburkan meski tanpa batu nisan, atau ada tanda batu nisan di atas tanah tanpa ada orang mati dikuburkan di bawahnya?

Batu nisan itu adalah gambaran baptisan, tanda lahiriah. Mayat yang terkubur dalam tanah adalah gambaran pertobatan, perkara rohani yang tersembunyi di dalam hati.

Artinya, ketika gereja anda menganut pemisahan pertobatan dengan baptisan, maka ketahuilah, perkara yang menyelamatkan ialah perkara rohaniahnya, yaitu pertobatan. Yesus itulah KESELAMATAN. Barangsiapa datang kepada-Nya, ia datang pada KESELAMATAN. Barangsiapa tinggal di dalam Dia, dia sudah tinggal di dalam KESELAMATAN.

Hanya saja, tanda itu perlu, dan dikehendaki bahkan diperintahkan oleh Tuhan. Kita semua harus tunduk pada perintah. Perintah itu adalah: baptislah saat itu juga setiap orang yang bertobat. Tetapi kalaupun selama ini tanda itu belum anda dibuat, belum terlambat untk membuatnya. Jika anda telah lama bertobat dan percaya pada Yesus Kristus --setelah memahami Injil-Nya-- tetapi belum dibaptis, maka carilah seorang pelayan Injil Kristus untuk membaptis anda. Baptisan itu adalah batu nisan dan bangunan makam kita, sebagai tanda pengingat bagi semua saksi mata di alam roh bahwa kita sudah mati dan dikuburkan (sudah bertobat) bersama kematian Yesus Kristus di kayu salib yang kita imani sebagai penebusan kita dari maut.

Sekali lagi, saya menyarankan ini dengan sangat: jikalau anda mendapat kesempatan untuk dibaptis secara benar (selam) –sekalipun anda sudah bertobat- maka janganlah abaikan kesempatan itu, berilah dirimu dibaptis. Baptisan itu dikehendaki oleh Bapa dan  biarlah kita gemar mengerjakan semua kehendak-Nya, entah yang rohaniah entah yang lahiriah. Mari kita membiasakan diri menyahuti semua perkataan Yesus: ya dan amen, Tuhan!

Yesus sendiri tetap datang kepada Yohanes Pembaptis dan memintanya untuk membaptis-Nya, padahal Ia tidak membutuhkan pertobatan atau kelahiran baru –karena Dia sendirilah sumber kelahiran baru itu. Yesus melakukannya semata-mata untuk menunjukkan kepada kita bahwa tanda lahiriah kematian manusia lama itu, yaitu baptisan, memang dikehendaki oleh Bapa-Nya.

Jadi sambil kita mulai memperbaiki cara layan kita di gereja untuk semakin sesuai dengan teladan Yesus Kristus dan para rasul, orang-orang di gereja kita yang telah lama bertobat tetapi belum dibaptis, kita dorong mereka untuk turut dibaptis sekarang juga. Mari kita hentikan kebiasaan menunda-nunda pembaptisan seorang petobat, karena hal itu mengacaukan dan bertentangan dengan Alkitab. Akan tetapi sejak hari ini kita juga tidak akan menghakimi saudara-saudara kita lagi dengan naif bahwa mereka pasti binasa hanya karena belum dibaptis selam seperti kita, sebab siapa tahu mereka memang benar-benar sudah percaya dan bertobat (lahir baru, atau manusia baru). Hanya saja, sepanjang kita dapat, kita juga mendorong mereka semua untuk juga memberi diri dibaptis, menggenapi kehendak Bapa sebagaimana dijelaskan di Roma 6:3-4.

Hanya mereka yang tidak memisahkan pertobatan dengan baptisan sebagai dua perkara yang berbeda yang bisa memahami dengan benar firman yang berkata: barangsiapa percaya dan dibaptis, dia selamat. Mereka yang menganut pemisahan kedua hal itu, akan terjerumus pada kesesatan roh agamawi seremonialistik. Oleh sebab itu, mari tidak lagi memisahkan kedua perkara itu sehingga kita terbebas dari pikiran agamawi tentang baptisan ini dan dapat memahaminya dengan terang benderang. Tuhan Yesus sudah diambang pintu. Mari menuai jiwa-jiwa bagi-Nya, mengerjakan Amanat Agung-Nya dengan tak bercacat.



Lahir Baru: Dilahirkan oleh Roh 


Kembali kepada soal kelahiran baru, sudah jelas bahwa kelahiran kembali itu terjadi sejak kita percaya dan bertobat kepada Yesus. Dan alangkah alktabiahnya jika kita juga dibaptis pada waktu yang sama.


Sekarang, tampaklah jelas bahwa tidak ada pertentangan di dalam Perjanjian Baru. Orang yang tersalib di sebelah kanan Yesus, serta perempuan berdosa yang mengurapi kaki-Nya, selamat karena mereka juga telah lahir baru, sekalipun tidak dibaptis. 

Sesungguhnya banyak orang Kristen tidak pernah mengerti istilah dilahirkan kembali, tapi telah dilahirkan kembali oleh Roh Kasih Karunia, yaitu Roh Kudus. Sebaliknya, banyak yang mengaku sudah lahir baru sesungguhnya tidak benar-benar lahir baru. Semua akan terlihat dari buah.

Perhatikan kata DILAHIRKAN KEMBALI. Menurut anda, kita ini dilahirkan atau melahirkan diri sendiri? Melahirkan diri sendiri artinya hasil perbuatan kita. Sebaliknya, dilahirkan artinya orang lain yang melahirkan kita, dan kita hanya menerima kenyataan itu saja. Jadi kelahiran baru itu memang benar-benar kasih karunia saja, ketika kita percaya pada Kristus Yesus. Itu bukan hasil usahamu, bukan hasil ketekunanmu. Jangan ada lagi yang tersesat dalam hal ini.








9.       MENANGKAL ANTINOMIANISME
           Tipuan Lama Yang Menjatuhkan Adam
Selain muncul melalui pikiran-pikiran agamawi, roh penyesatan juga mendompleng pengajaran kasih karunia lalu menyimpang pada ujungnya. Antinomianisme, atau yang oleh umum  terkenal dengan istilah Hyper Grace, adalah doktrin yang berdiri di atas pondasi bahwa kita tidak mungkin kehilangan keselamatan lagi, karena kasih karunia. Antinomian berasal dari kata “anti” yang artinya melawan, dan “nomos” yang artinya hukum. Jadi antinomianisme artinya ajaran yang menganggap segala ketaatan kepada hukum adalah bentuk baru dari Taurat, menentang kasih karunia, sehingga hal itu adalah kesesatan. Jika kasih karunia masih menuntut ketaatan, bukankah itu  berarti selamat karena perbuatan juga? Demikian logika mereka.
Kaum antinomianistik secara konsisten mengekspolarasi muatan-muatan kasih karunia Allah, yang telah dinyatakan di atas kayu salib. Kematian Kristus yang satu kali saja untuk pengampunan segala dosa lantas didompleng oleh mereka untuk menyimpulkan bahwa keselamatan tidak bisa hilang. Itulah sebabnya mereka menganggap bahwa ajaran yang masih menyerukan ketaatan, adalah bentuk dari penyangkalan kemutlakan kasih karunia. Jadi sekalipun mereka mengaku tetap mempraktekkan hidup kudus, mereka tetap saja percaya bahwa andaikata pun mereka tergelincir dalam dosa lalu mati seketika, mereka tetap selamat.
Kaum agamawi dengan ekstrim bertolak belakang dengan mereka, sehingga secepat kilat, mereka “tahu” antinomian ini sesat. Maklum saja, doktrin agamawi memang berdiri di atas pondasi “Ketaatan demi mengejar keselamatan”. Kaum agamawi sangat alergi setiap kali mendengar ajaran kasih karunia. Mereka alergi setiap kali ada yang berkata: “Yesus telah menebus segala dosamu, kamu telah diampuni.” Itu menimbulkan tawa sinis di hati mereka. Itu mencabik-cabik perasaan saleh mereka. Bagi mereka, semua ajaran kasih karunia adalah hyper grace. Mereka tidak mau tahu perbedaannya. Sekali “grace, tetap hyper,” begitu kira-kira.
Tetapi kita yang percaya kepada Injil Kristus, dengan hati-hati memeriksa dimana letak kesalahan ajaran antinomianisme ini. Kita menemukan, antinomianisme itu benar-benar mendompleng seluruh kandungan kasih karunia Allah, tetapi diujungnya mereka melenceng. Antinomianisme melenceng di ujung jalan karena mereka berkata: “sekalipun kita mati dalam dosa, kita tetap selamat, karena dosa yang itupun sudah diampuni oleh Yesus.”
Sebagaimana semua orang Kristen, Antinomian juga tahu bahwa pelanggaran firman itu dosa. Tetapi mereka berpendapat, sekalipun itu dosa, kasih karunia Allah telah mengampuninya, dan keselamatannya sama sekali tidak terganggu-gugat. Dengan kata lain, perbuatan dosa bagi mereka hanyalah apa yang dikenal dalam hukum Islam sebagai “makruf”: sebaiknya jangan dilakukan, tapi kalau dilakukan pun tidak apa-apa. Itulah sebabnya mereka selalu berkata: “topik dosa sudah kadaluarsa, tidak pantas lagi dibicarakan di gereja”.
Bila kita cukup mengenali cara kerja iblis, kita akan tahu bahwa tujuan iblis adalah untuk memisahkan kita dari Bapa. Dan iblis tidak berlelah mengerjakan semua itu. Itu sebabnya Alkitab telah mengingatkan kita agar senantiasa waspada, supaya jangan seorang pun menyesatkan kita. Tetapi aneh sekali bahwa banyak saudara tidak percaya iblis masih dapat “memangsa” mereka. Mereka menerima suatu pengajaran yang salah, yang berkata: sekali bertobat, selamanya selamat. Dengan doktrin Antinomianisme ini, mereka menjadi sangat kendur  serta sanggup melanggar rupa-rupa firman Tuhan tanpa merasa bersalah.
Selain dengan mendakwa, iblis juga memiliki jurus lain untuk usahanya menjatuhkan kita. Terhadap anak-anak Tuhan yang mengejar ketaatan dan kekudusan, iblis punya jurus yaitu menjerumuskan mereka kepada pikiran-pikiran legalisme, sehingga mereka justru menyangkal kasih karunia. Tetapi jurus tertua yang pernah dipakainya memperdaya manusia, khususnya anak-anak Tuhan yang percaya kepada kasih karunia Allah, adalah membuat kita merasa benar untuk berbuat dosa.
Kita akan mencium aroma jurus tipuan itu dalam beberapa pendapat antinomianistik. Tentang makan darah, misalnya. Saya pernah membaca sebuah tulisan seorang teolog, yang sepertinya cukup berwibawa, mengenai hal itu.
Dengan terang, Perjanjian Baru melarang kita makan darah (baca Kis. 15: 29). Tapi ahli teologi ini telah menjadikannya boleh-boleh saja. Dia mengubahnya dengan argumentasi-argumentasi kurang lebih seperti ini:Kita selamat karena kasih karunia oleh iman, bukan oleh perbuatan, dijelaskan panjang lebar, dicantumkan ayatnya; Kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman, dijelaskan panjang lebar, dicantumkan ayatnya; Apa yang masuk ke dalam mulut, jatuh ke dalam jamban, dijelaskan panjang lebar, dicantumkan ayatnya; Tidak ada yang haram, dijelaskan panjang lebar, dicantumkan ayatnya; Taurat tidak menyelamatkan, dijelaskan panjang lebar, dicantumkan ayatnya; Kasih Allah tidak berkesudahan, dijelaskan panjang lebar, dicantumkan ayatnya; Kita sudah diampuni oleh salib kematian Kristus, dijelaskan panjang lebar, dicantumkan ayatnya; Dengan lidah kita mengaku, dengan hati percaya, maka kita diselamatkan, dijelaskan panjang lebar, dicantumkan ayatnya; dan sebagainya.
Berdasarkan semua argumentasi beserta kutipan-kutipan ayat yang sangat banyak tersebut, maka dibuatnyalah kesimpulannya: makan darah itu sebenarnya diperbolehkan Tuhan. Lihat, hasilnya menjadi bertolak belakang dengan yang tertulis di Kisah Para Rasul 15 : 29 itu sendiri.
Hal yang sama, misalnya, saya temukan berkali-kali di internet mengenai larangan menikah lagi bagi yang bercerai. Dengan tegas Yesus Kristus telah berkata: “Orang cerai tidak boleh menikah lagi, sebab itu zinah” (baca Lukas 16 : 19 dan I Korintus 7 : 11). Tetapi oleh para sarjana teologi tersebut, telah berubah menjadi: “Orang cerai boleh menikah lagi.” Cara mereka mengubahnya sama seperti di atas, kurang lebih seperti ini:
Allah menciptakan manusia itu berpasangan, dijelaskan panjang lebar apa artinya berpasangan, dicantumkan ayatnya; Pernikahan itu dikehendaki Allah, dijelaskan panjang lebar, disebutkan apa resikonya jika menghambat kehendak Allah, dicantumkan ayatnya; Allah tidak menghendaki terjadinya percabulan, sedangkan Ia tahu umumnya manusia tidak tahan bertarak, dijelaskan panjang lebar, dicantumkan ayatnya; Allah menghendaki manusia itu beranak cucu dan bertambah banyak, dijelaskan bagaimana caranya beranak cucu, dicantumkan ayatnya; Kita selamat karena kasih karunia oleh iman, dijelaskan apa itu kasih karunia, dijelaskan apa iman, dicantumkan ayatnya; Keselamatan bukan hasil perbuatan saleh, dijelaskan panjang lebar, dicantumkan ayatnya; Kasih Allah tak terukur dalamnya, dijelaskan panjang lebar, dicantumkan ayatnya; Allah melihat motif hati, dijelaskan panjang lebar, dicantumkan ayatnya; Yesus telah mengampun isegala dosa; dan sebagainya.
Dan melalui semua alasan-alasan penuh ayat Alkitab tersebut, keluarlah kesimpulannya: Orang cerai sebenarnya boleh-boleh saja menikah lagi. Lebih jauh, orang yang melarang diserangnya sebagai orang-orang Farisi, penganut-penganut Taurat, penyangkal-penyangkal kasih karunia.
Cara-cara yang sama dipakai kalangan antinomian untuk membenarkan aborsi, perceraian, berobat pada ‘alternatif’, memakai jasa paranormal, mencuri demi kebaikan, membenarkan hukuman mati, membenarkan masturbasi, kecanduan merokok, bahkan belakangan --khususnya di gereja-gereja Barat-- membenarkan  perkawinan sejenis, dan lain sebagainya.
Demikianlah apa yang tegas-tegas dilarang Tuhan dalam Alkitab khususnya Perjanjian Baru, telah berubah artinya menjadi diperbolehkan Tuhan, di tangan para sarjana teologi antinomian ini, sehingga Allah menjadi terlihat sebagai pembohong besar. Sungguh jelas, ketika ajaran mereka itu disampaikan kepada jemaat-jemaat awam yang polos lugu, ditopang oleh wibawa dan karisma yang besar dari sang pengkhotbah, dengan cepat jemaat tersebut akan ditelan kesesatan.
Tahukah anda? Cara seperti itulah persis yang iblis pakai untuk menipu Adam dan Hawa, maupun untuk mencobai Yesus Kristus.
Kejadian 3 : 4-5
Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu  akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.”


Perhatikan argumentasi iblis di atas. Pada dasarnya iblis sedang berkata: “Allah tidak akan membunuhmu, Dia sangat mengasihimu, Ia penuh pengampunan, dan Ia tidak sesederhana yang Ia katakan itu. Sesungguhnya, ada rahasia-rahasia kebenaran yang tersembunyi yang tidak kau tahu.” Saya percaya, seandainya saat itu Alkitab sudah ada, iblis akan mengutip begitu banyak ayat, agar Hawa dan Adam percaya kepadanya. Dengan bertamengkan kasih karunia Allah yang memang demikian besar, iblis telah berhasil membuat Adam dan Hawa berani melanggar firman.

Kita melihat contoh yang lebih jelas ketika iblis mencoba menipu daya Yesus di padang gurun.

Matius 4 : 5-6
Kemudian Iblis membawa-Nya ke Kota Suci dan menempatkan Dia di bubungan Bait Allah lalu berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu.”

Yesus tahu argumentasi iblis tersebut memang terdapat di dalam Alkitab (lihat Mazmur 91). Tetapi berbeda dengan Adam-Hawa yang tidak menyangkal dirinya sehingga mereka tertipu, Yesus menyangkal diri-Nya dan tetap teguh pada ketaatan-Nya, sehingga Ia menang.


Tentang Bercerai dan Menikahi Orang Cerai
Sub judul ini harus dibuat, karena di gereja-gerja di Indonesia, polemik yang ditimbulkan paham antinomian kebanyakan tentang masalah perceraian, berbeda dengan di Barat, dimana polemik terbesar gereja-gereja ialah isu perkawinan homoseksual. Banyak gereja di Indonesia bingung mengenai isu perceraian dan pernikahan orang cerai ini. Akibatnya, banyak yang telah melakukan kesalahan. Semoga tulisan ini dapat menolong.

Ketahuilah, Tuhan tidak mengenal perceraian. Sekali anda menjadi milik-Nya, Ia tidak akan pernah menceraikan anda. Sekalipun anda meninggalkan-Nya, Ia akan tetap memakai segala cara yang dapat Ia tempuh untuk mendapatkan anda kembali. Ia tidak pernah membenci anda, dan ketika anda berbalik kepada-Nya dari perzinahan roh, Ia akan tetap menyambut anda dengan pelukan pengampunan. Anda dikasihi seumur hidup anda, dengan kasih yang tak terukur dalamnya. Oleh karena itulah, perceraian bertentangan dengan kehendak kekal-Nya. 

Sekalipun secara faktual, manusia bisa bercerai, entah resmi secara hukum entah dengan saling menjauhi begitu saja, tetapi perlu anda ketahui rahasia ini: di mata Allah, mereka belum bercerai. Kenapa? Karena Allah kita memang tidak mengenal perceraian.
 
Jadi bagaimana status suami-isteri yang telah bercerai menurut pandangan masyarakat umum, di hadapan Allah? Ini: Allah memandang mereka tetap sebagai suami-istri, yang saling memusuhi satu sama lain dan saling menjauhi, mengingkari sumpah janji mereka --yang mereka nyatakan di hadapan-Nya dan di dalam nama-Nya, Yesus Kristus-- untuk saling setia sampai mati. 

Ada satu pertanyaan yang banyak dipertanyakan orang, yaitu anak kalimat kecuali karena zinah di Matius 19 : 9
Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."

Kita akan jelaskan dari beberapa segi atau pendekatan.

1.       Pendirian Kekal Allah
Pertama-tama, kita harus mengerti, bahwa sama seperti manusia punya pendirian, demikian juga Allah punya pendirian. Bedanya, jika pendirian kita bisa berubah, maka pendirian Allah itu kekal, Ia tidak berubah. Jadi setiap pengajaran yang menggambarkan Allah sekarang telah menjadi seperti “orang tua” yang memaklumi kelemahan manusia dan mengikuti pendirian mereka, adalah pengajaran yang salah dan menjadi sumber banyak penyesatan. Banyak orang gagal mengenali Allah Israel dan sebagai gantinya, kerap memakai standar kepribadian sendiri. Ini roh ajaran yang disebut “humanisme”. Hati-hatilah dalam hal mengajar maupun menerima ajaran. 

Kita tidak dapat menggerakkan Allah untuk berubah, apapun yang kita lakukan. Meski dua miliar orang Kristen sepakat berdoa meminta Allah untuk mengubah pendirian-Nya akan sesuatu, tidak akan ada yang terjadi. Tetapi sesuatu akan terjadi, termasuk mukjizat, apabila kita bergerak menurut pendirian Allah.

Mazmur 115:3
Allah kita di sorga; Ia melakukan apa yang dikehendaki-Nya!

Pendirian Allah ini, dalam Alkitab dinamai “kehendak Allah”. Oleh karena Dia adalah Allah, dan kita umat-Nya di dalam Yesus, maka kitalah yang HARUS tunduk kepada pendirian-Nya. Itulah sebabnya Paulus mengajar kita untuk belajar memahami kehendak-kehendak Allah dalam segala perkara, agar itu menjadi pegangan kita.

Roma 12:2
Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

1 Tesalonika 2:11-12
Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasehati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang, dan meminta dengan sangat, supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya.

Matius 3:15
Lalu Yesus menjawab, kata-Nya kepadanya: "Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah."
Jika anda menyelidiki Alkitab, lebih lagi dalam Perjanjian Baru-Nya, maka anda akan tahu pendirian Allah tentang perceraian. Inilah pendirian kekal Allah tentang perceraian: SAMA SEKALI TIDAK BOLEH.

Markus 10 : 9
Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Kita pegang dulu pendirian kekal-Nya itu dan kita berikan hati yang takut akan Dia. Jangan mengurangi atau menambahi firman Allah dengan penafsiran yang mengada-ada, karena kesesatan selalu saja dimulai dari penafsiran yang diada-adakan.

2.       Kenapa ada anak kalimat “kecuali karena zinah”
Sekarang kita masuk ke dalam pernyataan-Nya di dalam Matius. Ayat ini telah menjadi pegangan banyak pengajar/pendeta untuk menyetujui perceraian jemaatnya. Mereka tidak menyelami kedalaman hati Allah untuk menyelidiki pendirian-Nya. Dengan begitu, mereka menjadikan diri mereka memberontak kepada Allah Yang Maha Tinggi.

Pernyataan “kecuali karena zinah” itu Yesus nyatakan karena adanya pendebatan dari kaum ahli Taurat dan Farisi. Kronologinya begini: Yesus berkhotbah bahwa TIDAK BOLEH BERCERAI. Lalu datanglah ahli-ahli Taurat dan Farisi –mereka pasti banyak berkhotbah bahwa cerai itu BOLEH karena memang Taurat Musa membolehkannya. Jadi kaum Farisi ini hendak “mencobai” Yesus untuk memperoleh bukti bahwa orang ini penyesat, sebagaimana biasanya mereka lakukan pada Yesus. Lalu Yesus menjawab: Musa mengizinkan itu karena kekerashatianmu. Kalau yang sebenar-benarnya sekali, tidak boleh bercerai. Lihat, Yesus bersiteguh dengan pendirian kekal Bapa-Nya akan perceraian: Tidak boleh. Lalu Ia mengulangi pernyataan-Nya: Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, dan seterusnya.
Lalu karena anak kalimat itu, kecuali karena zinah, banyak pengajar Kristen dengan begitu menyimpangnya menyimpulkan: “o, berarti boleh cerai.” Salah, salah, salah!

Di Injil yang lain, anda tidak akan melihat anak kalimat itu dituliskan, karena memang tidak perlu. Sebab yang menjadi inti ajaran Yesus tentang perceraian memang TIDAK BOLEH. Injil yang lain hanya menuliskan intinya itu.

Adapun anak kalimat dalam Matius ini, bisa kita bandingkan dengan kehendak-Nya akan hal yang lain, misalnya tentang membunuh. Tuhan sudah menyatakan pendirian kekal-Nya tentang membunuh: TIDAK BOLEH.

Tetapi karena manusia suka berdebat, maka soal membunuh itu pun banyak didebat juga. Jika disini ada Yesus, tentu banyak juga yang mendebat-Nya soal itu: “Tuhan, bagaimana kalau begini-bagaimana kalau begitu.” Darimana timbulnya pendebatan itu? Dari hati yang legalistik. Ketika Allah menyatakan sebuah pendirian-Nya, Ia sebenarnya sedang berbicara tentang ISI HATI-Nya. Tetapi manusia yang agamawi tidak meraba hati Tuhan melainkan menginginkan detail-detail HUKUM: bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu. Pada dasarnya, ketika orang tidak sungguh-sungguh mencintai Tuhan dengan hatinya, maka dia pasti cenderung meminta Taurat, untuk dia jalankan. Seperti itu pula yang melatarbelakangi hadirnya Taurat Musa. Bangsa Israel tidak ingin bergaul intim dengan hati Tuhan, jadi mereka meminta detail-detail hukum saja.

Mari kita bawa satu detail kasus pada Tuhan tentang membunuh: “Tuhan, bagaimana kalau kami tidak sengaja menabrak orang di jalan dan orang itu mati?!”

Menurut anda, apa jawaban Tuhan? Tuhan mungkin akan mengoret-oret kembali di tanah dan berkata: “kalau kasus seperti itu, dimana KAMU TDAK SENGAJA, Aku tidak menghitungmu telah membunuh.” 

Nah, lalu apakah kita setelah itu berkhotbah kepada umat Tuhan: ‘Boleh membunuh, sebenarnya boleh membunuh!”? Jika itu yang kita beritakan, maka kita telah melenceng dari maksud hati Tuhan. Jadi, pegang intinya, pegang pendirian kekal-Nya: tidak boleh membunuh. Berhubungan dengan Tuhan bukan soal detail-detail hukum, tapi soal hati dengan hati. Anda harus mengenal hati Tuhan, supaya anda mengerti rahasia kebenaran-Nya.

Barangsiapa membunuh –kecuali karena tidak sengaja—maka dia berbuat dosa, terdengar sama dengan ayat Matius di atas: barangsiapa menceraikan istrinya –kecuali karena zinah—dia berbuat dosa. Anak kalimat itu ada karena kekerashatian kita yang gemar pada detail hukum. Pertanyaannya, setelah anak kalimat itu ada, apakah anda merasa BOLEH? 

Jadi, “kecuali karena zinah” bukanlah dimaksudkan boleh bercerai. Anak kalimat itu ada untuk memuaskan jiwa agamawi kaum Farisi yang mendebat-Nya waktu itu.


3.       Kecuali karena “zinah”
Sekarang saya fokus pada kata “zinah” dimaksud. Dalam Matius 19 : 9 terjemahan LAI (TB) ditulis: Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."

Dalam ayat itu, ada dua term yang sama-sama disebut “zinah”, yaitu kecuali karena “zinah”, dan : ia berbuat “zinah”. Tetapi dalam King James Version, kedua term itu disebutkan dengan kosa kata berbeda: yang pertama disebut “fornication” dan kata yang kedua disebut “adultery”. Dalam New KJV, dituliskan begini:

Matius 19 : 9
"And I say to you, whoever divorces his wife, except for sexual immorality, and marries another, commits adultery; and whoever marries her who is divorced commits adultery."

Lihat, New KJV memakai kosa kata “sexual immorality” untuk kata “zinah” dalam anak kalimat “kecuali karena zinah”.

Dalam Alkitab bahasa Gerika, kata zinah dalam anak kalimat “kecuali karena zinah” disebut “porneias” dan kata zinah dalam “ia berbuat zinah”, ditulis dengan “moikhasthai”.

Jadi agak lemah jika Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan kedua kata berbeda itu dengan kata yang sama, yaitu “zinah”. Zinah terlalu luas cakupannya. Mengkhayal jorok saja sudah termasuk zinah. Seorang saudara pernah berpendapat, atas pertanyaan seorang wanita yang hendak mengurus perceraian anak perempuannya dari sang menantu: “Mereka sudah boleh bercerai, karena mereka sudah terpisah jarak beberapa lama. Tidak mungkin selama berpisah jarak itu, salah satu dari mereka tidak pernah mengkhayal jorok. Bukankah mengkhayal jorok saja adalah zinah menurut Tuhan?” Saya bersyukur ada didekatnya pada waktu itu dan dapat menjelaskan lebih dalam kepadanya sehingga ia lebih mengerti. Sebab jika mengkhayal jorok saja sudah bisa dijadikan pembenar perceraian berdasarkan anak kalimat kecuali karena zinah, maka betapa gampangnya kita semua bercerai!

Sekarang, kita pahami dulu apa artinya porneias, atau fornication atau sexual immorality. Kata ini cenderung artinya penyimpangan-penyimpangan seksual, termasuk di dalamnya adalah “seorang yang cabul”. Kata fornication mengisyaratkan suatu kekacaubalauan moral. Ada orang yang karena begitu dikuasi roh cabul menjadi suka bersetubuh dengan orang lain begitu mudahnya, termasuk “suka seks yang menyimpang”. Jadi kata “zinah” disana tidaklah di level: istri saya kedapatan selingkuh. Kalau hanya karena kedapatan selingkuh, langsung main cerai, dimana ajaran pengampunan? Jadi kata “porneias, fornication atau sexual immorality” berbeda dengan sekedar “selingkuh”. Adapun selingkuh, itu bisa disebabkan karena sakit hati pada suami, kecewa pada suami, dendam pada suami, dan lain-lain. Dalam kasus semacam ini, yang ia butuhkan ialah kasih pengampunan dari suami, bukan penceraian. 

Jadi kalau istri anda marah pada anda lalu minggat, dan beberapa minggu kemudian anda mendengarnya mulai dekat dengan pria lain, itu bukan “fornication.” Yang harus anda lakukan ialah bertobat dan berdoa, dan segera mengusahakan istri anda kembali pada anda dalam perdamaian.

Tapi kalau istri anda sangat cabul, kegemarannya adalah seks dan seks dan seks, dengan binatang, dengan benda-benda mati, dan setiap ada kesempatan, ia pergi tidur dengan pemuda-pemuda misalnya, ini masuk kategori porneias atau fornication atau sexual immorality.


4.       Definisi “Bercerai”
Seperti telah disebutkan di atas, Allah kita tidak mengenal perceraian. Tidak ada kamus “bercerai” dalam pikiran Tuhan. Ini benar-benar harus anda pahami. Dalam “kamus” Tuhan, bercerai itu artinya “terpisah selamanya”, dan ini hanya dapat terjadi karena kematian. Jadi, tidak ada perceraian di mata Tuhan, kecuali diceraikan kematian. Ini pendirian Allah, yang dapat anda temukan dalam Alkitab. Dan ini itidak akan berubah sampai kekal.

Jadi kata “bercerai” atau “menceraikan” dalam Matius 19 : 9 yang kita bahas ini, hanyalah dalam paradigma manusia. Ketika kita sebut “bercerai”, di alam roh hal itu hanya berarti: saling menjauhkan diri dan tidak ingin bersama lagi.
Jadi, Matius 19 : 9, menurut definisi selengkapnya dapat diterjemahkan demikian: 

Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa MENJAUHKAN isterinya UNTUK TIDAK HIDUP BERSAMA LAGI, kecuali karena SEKS MENYIMPANG ATAU RUPA-RUPA KECABULAN, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."

Selanjutnya, apa bedanya “bercerai” dalam pandangan Tuhan dan manusia sekuler? Dalam paradigma manusia, jika ada pria bercerai dengan istrinya, maka perempuan itu bukan lagi istrinya. Dalam paradigma Allah kita, yang tidak mengenal perceraian, jika ada pria bercerai (berjauhan untuk tidak hidup bersama lagi) dengan istrinya, maka perempuan itu tetap istrinya, dan ia tetap suami dari perempuan itu, hanya saja, mereka sedang berjauhan secara persetubuhan. Hanya kematian dari salah satunya yang membuat mereka tak lagi suami-istri di hadapan Allah kita.

1 Korintus 7 : 39
Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya.

Jadi, sekalipun Tuhan tidak menganggap jahat orang yang yang menjauhi istrinya yang berperilaku seks menyimpang atau penuh kecabulan, bagaimanapun, perempuan itu tetap istrinya sampai seumur hidupnya, di mata Tuhan. Ia diperkenankan bukan supaya ia menjadi "kembali lajang" untuk bebas menikah lagi, tetapi untuk menghindari dirinya terlibat dalam dosa penyimpangan seksual. 

Itulah sebabnya, jika anda menyelidiki penjelasan Alkitab tentang “janda”, anda akan menemukan bahwa yang  disebut janda hanyalah mereka yang ditinggal mati suaminya. Perempuan cerai tidak termasuk janda dalam ajaran Tuhan kita, tetapi disebut perempuan cerai saja, sebab di mata Tuhan, mereka masih ada suaminya, meskipun tak lagi bersama-sama dengan dia. Keluar dari pengetahuan tentang definisi Alkitab mengenai janda ini, anda bisa disesatkan oleh pikiran anda sendiri yang dipengaruhi definisi masyarakat sekuler.

Jadi agar anda tidak kehilangan pemahaman akan pendirian Allah tentang perceraian, maka setiap kali anda mendengar kata “cerai”, jangan lagi anda mendefinisikannya menurut manusia sekuler, melainkan menurut definisi Allah.


5.       “Bercerai” dosa yang satu, “orang cerai nikah lagi” dosa yang lain.
“Bercerai” adalah peristiwa yang berbeda dengan “menikah lagi setelah bercerai.” Tetapi keduanya adalah terlarang bagi Tuhan. Bercerai adalah dosa.

Mengapa “menjauhkan istri sehingga tidak hidup bersama lagi” dihitung dosa oleh Allah? Oleh karena Allah itu begitu setia dan hati-Nya sangat peka oleh kasih. Ia itu adalah kasih, sehingga setiap perbuatan manusia yang menyakiti perasaan orang lain, itu memusuhi perasaan Allah.

Saat anda menceraikan istri anda, sudah pasti isteri anda tersakiti. Perasaan tersakiti ini dirasakan juga oleh Allah kita. Begitu juga saat anda –perempuan—menuntut cerai suami anda. Ah, andai kita semua mengenal hati Tuhan yang begitu lemah lembut itu, kita pasti akan mengerti banyak hal.

Atau saat anda --suami-istri— sepakat bercerai dalam suasana damai sekalipun, anda juga menyakiti hati Tuhan kita, yaitu memberontak pada pendirian-Nya. Dan bukan karena anda memutuskan sepakat “bercerai”, maka anda juga telah bercerai di mata Allah. Di mata Allah, anda berdua tetap suami – istri, sekalipun di pikiran anda –yang ditanami pikiran sekuler-- bukan lagi.

Siapakah yang mampu menceraikan perkawinan di hadapan Allah? Di hadapan manusia, kita mampu menceraikan suami - istri, tapi di hadapan Allah, kuasa apa yang kita miliki untuk menyatakan kepada-Nya: "Wahai Allah Yang Maha Tinggi, Allah Abraham, kedua orang ini telah bercerai, sudah resmi di Pengadilan Negeri, jadi Engkau patuhlah pada keputusan hukum ini!"

Sekali anda dan istri/suami anda menikah di hadapan Allah, di dalam nama-Nya yang kudus: Yesus Kristus, maka di hadapan-Nya, anda adalah SATU. Tidak ada yang dapat membuat anda bercerai di hadapan-Nya, kecuali kematian. Jika ada masalah, berdoalah dan belajarlah saling mengalah dan saling mengampuni, peliharalah terus rasa cinta dan penghargaan anda pada pasangan anda. Jika itu menyangkut kelemahan tubuh salah satu, bersabarlah dalam kasih dan terus mencari pengobatan. 

Jadi jika “bercerai” atau saling menjauhi saja adalah dosa di mata Tuhan, apalagi bila anda “menikahi” perempuan yang dijauhi (diceraikan) oleh suaminya. Meski pengadilan telah “meresmikan” perceraian mereka, tetapi di mata Tuhan, anda sedang mengawini istri orang lain. 

Jadi jika suami-istri terlanjur berpisah untuk tidak hidup bersama lagi (bercerai), apakah yang Tuhan kehendaki atas mereka? Ini: mereka harus tetap hidup sendiri sampai salah satu dari mereka mati, atau berkumpul kembali. Tidak ada pilihan yang lain.

1 Korintus 7:11a
Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya.

Mengapa demikian? Sebab seumur hidup mereka, mereka tetap suami-istri di mata Tuhan, meski dua ratus hakim dan dua juta pendeta telah mengesahkan perceraian mereka.

Banyak pendeta menganggap 1 Korintus 7 : 2 sebagai dasar pembenar untuk menikahkan kembali orang cerai. Ayat itu berkata begini: 
tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri.

Mereka mengartikan ayat itu: “Jadi Tuhan mengizinkan orang cerai itu menikah lagi, daripada mereka jatuh dalam percabulan.” Tetapi ini adalah sebuah kesesatan besar. Ayat itu tidak berbicara tentang orang cerai, melainkan tentang para lajang. Ayat itu adalah sambungan dari ayat 1. Selengkapnya seperti ini:

1 Korintus 7 : 1-2
Dan sekarang tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku. Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin (tetap melajang –pen.), tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri.

Adapun tentang orang cerai, masih di pasal yang sama, firman Tuhan berkata begini:
1 Korintus 7 : 10-11
Kepada orang-orang yang telah kawin aku–tidak, bukan aku, tetapi Tuhan—perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.

Tentu jika ayat 2 di atas termasuk juga untuk orang cerai, maka ayat 10-11 ini menjadi mubazir dan bertentangan dengan ayat 2. Masakan Alkitab, lebih lagi dalam surat bahkan pasal yang sama bisa bertentangan? Nyatalah bahwa para pengusung orang cerai boleh kawin lagi benar-benar menentang perintah Allah. Betapa ngerinya penghukuman maut bagi mereka yang melakukannya kelak, jika mereka tidak bertobat dari kesalahan itu.


Antara Kita dan Hukum Allah

Sebagaimana telah diulas di awal bab ini, kalangan antinomian menganggap bahwa setiap tuntutan ketaatan pada hukum apapun berarti keluar dari konsepsi “keselamatan karena kasih karunia semata”. Tetapi kesimpulan semacam itu adalah naïf. 

Tentu saja kita tidak menyangkal bahwa keselamatan kita memang semata karena kasih karunia Yesus Kristus, yang kita terima melalui iman dalam Dia. Bukan karena kita taat maka kita selamat, tetapi karena dibenarkan dengan cuma-cuma oleh karya salib Yesus, yang kita terima dengan iman percaya. Jadi seturut berita Injil, kita percaya teguh bahwa kita sudah selamat ketika kita percaya kepada Yesus Kristus, yaitu kegenapan kasih karunia Allah.

Oleh karena itu, hubungan kita dengan Sepuluh Perintah atau dengan segala kehendak Allah bukanlah kita menurutinya supaya kita memperoleh keselamatan. Kita sudah berbeda dengan mereka yang hidup sebelum Kristus. Mereka menaati segala perintah Allah supaya mereka selamat, tetapi kita melakukannya ialah supaya kita –sebagai orang kudus-Nya-- tidak jatuh lagi dalam dosa. Kita menaati hukum Allah karena kita sudah menjadi anak-anak-Nya.

Hubungan kita –yang tinggal di dalam kasih karunia Allah— dengan ketaatan akan pendirian-pendirian Allah, adalah sama persis dengan hubungan Adam sebelum ia jatuh dalam dosa dengan pohon larangan itu. Kita tahu, sebelum Adam jatuh dalam dosa, ia adalah seorang kudus, mulia. Kita sebut saja periode itu dengan istilah Adam Suci, untuk membedakannya dengan Adam Berdosa, yakni setelah ia berbuat dosa.

Adam Suci adalah manusia ilahi. Ia orang selamat, dalam naungan kasih karunia Allah, bahkan tinggal di Taman Tuhan. Ia adalah anak Allah, manusia sorgawi, kesukaan Allah. Jadi Adam menaati larangan Allah atas pohon terlarang itu bukan dalam rangka supaya ia selamat atau mendapat perkenanan Allah. Keselamatannya tak ada hubungannya dengan pohon itu. Keselamatannya bukan buah dari ketaatannya menjauhi pohon itu. Ia semata-mata mematuhi larangan itu supaya ia tidak jatuh dalam dosa. Jadi pohon larangan itu bukanlah Taurat bagi Adam. Sebab Taurat dan segala dogma agama dikerjakan oleh “orang berdosa yang ingin selamat”.

Demikian pula keselamatan yang kita miliki bukan karena ketaatan pada segala kehendak Bapa. Keselamatan kita bukan buah dari kerja keras kita, melainkan anugerah yang terpancar dari salib Golgota, yang masuk ke dalam kita oleh pintu iman. Oleh karena itu, segala hukum Allah bukanlah Taurat bagi kita, melainkan sejenis dengan hukum pohon larangan bagi Adam Suci. Kita menaati kehendak Bapa bukan sebagai orang berdosa yang sedang berusaha selamat, tapi sebagai orang kudus-Nya, yang telah dibenarkan dan diselamatkan. 

Jadi kita tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berdusta, tidak membunuh dan sebagainya, bukan supaya kita selamat, tapi karena kita sudah selamat, atau dengan kata lain supaya kesempurnaan kita tidak tercemar lagi oleh dosa. Kita orang-orang yang sudah ada di dalam kapal keselamatan. Kita patuhi larangan “Jangan keluar dari pagar pembatas” bukan supaya kita selamat, tapi supaya jangan jatuh ke laut dan kehilangan keselamatan. Itu sungguh jauh berbeda dengan Taurat. 

Nyatalah sudah dimana perbedaan kita dengan mereka yang menganut doktrin antinomian, maupun dengan penganut doktrin agamawi. Jika kaum antinomian menganggap rendah kehendak-kehendak Allah karena mereka percaya bahwa mereka tidak mungkin kehilangan keselamatan apapun yang mereka kerjakan di sisa hidupnya, kita menaatinya dengan penuh syukur atas kasih karunia-Nya dan memegang teguh mahkota keselamatan yang amat mahal itu. 

II Petrus 3 : 17
Tetapi kamu, saudara-saudaraku yang kekasih, kamu telah mengetahui hal ini sebelumnya. Karena itu waspadalah, supaya kamu jangan terseret ke dalam kesesatan orang-orang yang tak mengenal hukum, dan jangan kehilangan peganganmu yang teguh.


 Sebaliknya, ketika kaum agamawi menaati semua itu dengan berpikir supaya mereka memperoleh keselamatan --mereka dibutakan oleh pikirannya sendiri--, maka kita menaatinya sebagai orang-orang kudus yang percaya penuh bahwa kita telah beroleh keselamatan kekal oleh iman dalam Yesus.

Jadi kita tahu bahwa ternyata manusia masih bisa kehilangan keselamatan, yaitu apabila mereka KELUAR DARI KASIH KARUNIA Allah itu. Pada bab 2 buku ini telah kita singkapkan apa-apa saja yang disebut keluar dari kasih karunia Allah, yaitu melompat ke atas pondasi agama (doktrin selamat karena perbuatan), bersikeras tinggal dalam dosa, dan murtad.   

Oleh karena itu, kita akan tetap tinggal di dalam kasih karunia yang memerdekakan itu, dan menghirup udara kasih Bapa akan kita. Kita bertekun menantikan kedatangan Tuhan di dalam kasih karunia-Nya, yakni bertekun di dalam keselamatan yang sudah dianegerahkan kepada kita. Kita melayani Tuhan dan mengabarkan Injil, dengan terus mengarahkan mata rohani kepada pancaran sinar kasih dan kemuliaan dari salib-Nya yang ajaib itu, dan karenanya hati kita senantiasa penuh damai dan tenteram, bahkan bergelora akan Dia, serta merasakan kekuatan baru setiap hari oleh Roh Kasih Karunia-Nya.

Lagi pula mengerjakan kehendak Allah adalah natur bagi siapa saja yang telah menjadi ciptaan baru. Setiap orang yang telah dilahirkan kembali adalah orang yang telah dihuni oleh Roh Kudus. Kemauan-kemauan itu lahir dari Roh Kudus yang ada di dalam kita itu, mengalir ke hati kita. Dan ketika kita senantiasa menyangkal diri, dorongan-dorongan itu akhirnya keluar lewat hidup kita sebagai buah Roh.







10.    PENUTUP
Saudara kekasih dalam Yesus Kristus,
Anda sudah membaca buku ini, dan saya yakin tentulah banyak dari anda yang terkejut, setelah menyadari betapa berakarnya roh-roh agamawi itu selama ini di kumpulan kita tanpa kita sadari. Jadi, biarlah kita menjadi bijaksana untuk berani mengambil langkah kembali kepada ajaran Injil Kristus yang benar.
Sekali lagi saya harus menyingkapkan bahwa saya menuliskan hal-hal yang disingkapkan kepada saya ini saya tulis bukan untuk menyerang atau mempermalukan siapapun. Saya hanya ingin menelanjangi si iblis, musuh kita, yang selama ini diam-diam telah mencuri banyak hal dari kita, terutama pemahaman kita dari pondasi Injil. Sebagai manusia biasa, saya sendiri merasa cukup gentar menuliskan semua ini. Materi-materi dalam buku ini telah disingkapkan Tuhan kepada saya selama beberapa tahun, dan saya terus menunda-nunda menyelesaikannya, karena itu tadi, saya tidak ingin ada yang marah pada saya. Tetapi Tuhan terus menerus mendorong hati saya untuk terus menulis, dan saya tidak berani membantah dorongan itu.


Saya sendiri tidak tahu apa yang Tuhan rencanakan melalui buku sederhana ini. Mungkin Ia hendak memurnikan kita dan gereja-gereja kita, sejauh yang bisa dijangkau buku ini. Hanya saya menyadari, bahwa tak lama lagi Ia, Tuhan kita Yesus Kristus, akan datang. Ia ingin supaya kita semua menjadi jemaat Filadelfia, yang murni dan taat pada kebenaran firman-Nya, yang layak ikut terangkat pada hari pengangkatan itu. Jadi segala pujian dan hormat hanya bagi Dia. Kita semua hanyalah hamba yang tidak berguna. 

Percayalah, anda dan kita semua telah ditebus dari maut. Hutang-hutang kita kepada maut karena dosa telah dibayar lunas oleh Yesus Kristus, dengan darah dan nyawa-Nya sendiri. Setiap orang tinggal percaya dan datang kepada Yesus, menerima kasih karunia itu. Milikilah damai sejahtera yang dari Roh Kudus itu. Jangan lagi merasa terintimidasi, seolah-olah anda belum selamat. Sebaliknya juga, jangan lagi pernah --entah anda sadar atau tidak-- mengintimidasi iman jemaat yang anda bimbing, seolah-olah mereka belum selamat. Supaya kita semua jangan jatuh dari kasih karunia itu!

Berdirilah di atas pondasi yang benar, yaitu Injil yang murni: INJIL KESELAMATAN. Ketika anda percaya bahwa anda telah ditebus dan diampuni, telah diperdamaikan dengan Allah, telah menjadi anak Allah karena salib Yesus Kristus, maka anda pasti mulai merasakan sukacita sorgawi dan rasa syukur yang mendalam. Semakin anda merenungkan salib Yesus, semakin hati anda akan dipenuhi kasih akan Dia. Dan ketika kasih ini telah timbul, percayalah, anda pasti akan sepenuh gairah dan hati yang menyala untuk melayani di ladang Injil-Nya. Jadi lihatlah, ketaatan yang benar dan tulus itu benar-benar buah Injil, buah kasih Bapa, buah Roh Kasih Karunia!



Yesus mengasihi kita, dan Dia menginginkan kita semua benar-benar murni di hadapan-Nya, tanpa kesesatan apapun. Jika anda membaca Kitab Wahyu, khususnya pesan Tuhan kepada Ketujuh Jemaat, anda akan menyadari bahwa ternyata Yesus tidak bisa menoleransi satupun kesesatan. Semua kesesatan di dalam gereja-gereja itu Ia singkapkan. Tujuannya, agar gereja-gerejaNya itu bisa bertobat dari segala kesalahan itu dan mempersiapkan diri untuk kedatangan-Nya, seperti Jemaat Filadelfia, atau Lima Gadis Bijaksana. Kita tahu, bahwa hari ini kasih karunia itu masih ada. Masih ada waktu bagi kita untuk bertobat, dan jika itu kita lakukan, pengampunan-Nya itu masih akan kta peroleh. 


Yesus tak lama lagi datang. Waktu sudah sangat singkat. Marilah kita membuang semua kesesatan dari si penipu, dan mengobarkan pekabaran Injil-Nya ke segenap pelosok. 


Terpujilah Dia, Raja segala raja, Tuan segala tuan, Alfa dan Omega, Yesus Kristus, kekal selama-lamanya. Amen.
Maranatha!

1 komentar:

  1. Segala pujian dan hormat dan kemuliaan bagi Tuhan Yesus kristus yang telah menunjukkan kehendakNYA kepada kita. Amin.

    BalasHapus